Yafet Ikari: Upaya Menjaga Kelestarian Kampung Kalpataru di Papua

Letaknya di pesisir lautan Pasifik. Di bagian belakangnya, tegak menjulang pegunungan Cyclops. Masyarakatnya hidup dari bercocok tanam dan sebagai nelayan. Kampung ini berjarak 2-3 jam dari kota Jayapura dengan ber-speedboat.

Nama kampung itu, Ormu Wari, satu dari empat kampung yang terletak di Distrik Raveni Rara, Kabupaten Jayapura. Kampung ini bukan kampung biasa. Pada tahun 1983, kampung kecil ini mendapat penghargaan Kalpataru. Pertama untuk kampung masyarakat adat yang ada di Papua.

“Menteri Lingkungan Hidup saat itu, Emil Salim, datang langsung ke tempat ini. Kalpataru itu yang pertama di Papua. Karena masyarakatnya menjaga lingkungan dengan baik,” cerita Yafet Ikari, seorang ondoafi atau pemimpin adat tertinggi di Ormu Wari. Dia juga menjabat sebagai kepala kampung sekaligus pendeta setempat.

Kampung Ormu Wari terbentuk dari dua sub suku besar yaitu Trong dan Yowari, terdiri dari keret atau marga Nari, Yakadewa, dan Ikari, dengan hak otoritas kepemimpinan adat tetap berada di bawah suku masing-masing.

Masyarakat di Ormu Wari memanfaatkan berbagai macam jenis flora sebagai tumbuhan obat-obatan, sekaligus sebagai identitas adat dan budaya bagi masyarakat pemilik hak ulayat. Sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan dan berkebun. Jika laut sedang musim angin dan berombak, mereka beralih kerja ke kebun yang berada di lereng perbukitan Cyclops.

Kampung ini juga terkenal sebagai tempat penghasil tomako batu atau kapak batu. Tomako batu digunakan sebagai alat pembayaran denda adat. Beberapa warganya terkenal piawai sebagai pengrajin kapak batu.

Yafet, pria kelahiran 20 Januari 1971 itu, termasuk muda jika melihat usianya. Namun, dia harus mengemban amanah yang tidaklah mudah. Dia dituntut untuk menyelaraskan semua harapan yang diberikan masyarakat untuk mengatur kampung, agar semakin baik lagi kedepannya.

“Untuk itu, kita perlu mengatur agar tidak ada lagi yang mengambil secara sembarangan dari alam, khususnya dari pegunungan Cyclops,” ungkap Yafet Ikari kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.

Di setiap kesempatan, Yafet tak henti-hentinya memberikan penyadartahuan kepada masyarakatnya untuk melindungi dan melestarikan pegunungan Cyclops. Sebagai pendeta, dalam setiap khotbahnya dia sering menyertakan pentingnya penyelamatan lingkungan dari sisi teologis.

“Dulu kita dengan mudah melihat cendrawasih pagi-pagi terbang di kampung, tapi sekarang tidak ada lagi cendrawasih karena ulah kita sendiri. Saya menyampaikan pesan-pesan pentingnya menjaga alam ini lewat gereja,” jelasnya.

Perihal alam harus dijaga, bukannya tanpa alasan. Sambil mengingat peristiwa masa silam, Yafet menyebut di suatu siang hari tahun 1989, enam tahun setelah mendapat penghargaan Kalpatru, banjir besar menghantam Ormu Wari.

Rumah-rumah hancur diterjang banjir, area pemakaman terbuka. Beruntung tak ada korban jiwa waktu itu.

“Penyebabnya karena ada yang membuka lahan dan mengacuhkan begitu saja aturan adat yang sudah disampaikan sejak jaman leluhur nenek moyang,” jelasnya.

Beberapa warga waktu itu tidak mengindahkan aturan untuk tidak menebang pohon sembarangan dan membangun kebun di pinggiran sungai. “Mereka asal buka lahan. Hasilnya terjadi banjir besar,” ungkap Yafet.

 

Masyarakat Ormu Wari, membahas peraturan kampung adat tentang pengelolaan sumber daya alam beberapa waktu lalu. Foto: Ronald Kapisa.

 

Belajar dari kejadian di masa lalu tersebut agar tidak berulang, Yafet pun lalu duduk bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat di Ormu Wari. Menurutnya, selama ini aturan adat yang ada hanya sekedar lisan dan hanya diketahui oleh para orangtua saja.

Dia pun mendorong agar aturan adat dan nilai-nilai kearifan leluhur dilakukan secara tertulis. Jika ada yang melanggar akan diberikan sanksi adat oleh lembaga adat. Saat ini aturan tertulis yang dibuat telah selesai, tinggal menunggu pengesahan.

“Untuk sanksi secara adat akan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dibuat dan berdasarkan proses kesepakatan dewan adat yang ada,” kata Yafet. Pembentukan dewan adat ini sejalan dengan pembuatan peraturan kampung adat tentang pengelolaan sumber daya alam dan juga perlindungan Cyclops.

Yafet menampik jika peraturan adat hanya dengan melibatkan sedikit elit kampung. Menurutnya semua lapisan masyarakat harus terlibat, sehingga model yang dibangun partisipatif.

Untuk mereka yang hidup di luar kampung, Yafet pun mengirimkan surat kepada mereka turut menyepakati aturan yang dibuat. “Agar mereka tidak kehilangan akarnya, meski mereka hidup terpisah jauh dengan kami,” tutupnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,