Jalankan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Perlu Terobosan Baru

 

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, berulang kali menyatakan, reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) jadi agenda prioritas. Sayangnya, dalam pelaksanaan berjalan lambat. Dalam Konferensi Tenurial 2017, diharapkan muncul peta jalan (roadmap) atau terobosan baru yang akan jadi panduan mengejar ketertinggalan implementasi RAPS.

“Semangat reforma agraria dan perhutanan sosial adalah bagaimana lahan, bagaimana hutan, merupakan bagian dari sumber alam Indonesia dapat diakses rakyat, dan menghadirkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat,” kata Presiden Joko Widodo saat membuka Konferensi Tenurial 2017 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/10/17).

Jokowi berharap, melalui konferensi ini lahir rumusan dan peta jalan yang dapat diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, dan para pelaku usaha dalam mempercepat reforma agraria.

”Terutama peta jalan yang dapat menunjukkan arah pasti dan berkelanjutan untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada rakyat,” katanya.

Pemberian akses legal kepada masyarakat jadi langkah mutlak dalam pemerataan ekonomi dan kesenjangan pembangunan yang terjadi. Itulah alasan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mencanangkan perhutanan sosial 12,7 juta hektar dan reforma agraria melalui program tanah obyek reforma agraria (Tora) seluas 9 juta hektar hingga 2019.

 

Target realistis

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan,   dari 12,7 juta hektar yang dicita-citakan dalam Nawa Cita untuk periode 2015-2019, target secara realistis seluas 4,38 juta hektar.

Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, realisasi alokasi lahan bagi masyarakat melalui perhutanan sosial baru 1.079.569,08 hektar–terhitung dari pra kabinet kerja sebesar 449.104, 09 hektar dari 2007-Oktober 2014–  hingga Oktober 2017.

Rinciannya, 509.565,67 hektar berupa hutan desa/nagari, dan hutan adat, 255.741,67 hektar hutan kemasyarakatan,  236.906,9 hektar hutan tanaman rakyat, kemitraan 76.353,44 hektar, dan 4.674,90 hektar I izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial PHPS).  Seluas 960.000 hektar dalam proses.

Alokasi reforma agraria dari 4,1 target juta hektar dari kawasan hutan, hingga Juli 2017 seluas 750.123 hektar telah dilepaskan. Luasan itu bersumber dari 20% pelepasan 167 usaha perkebunan atau 375.123 hektar dari 62 pemukiman dan fasum fasos transmigrasi 50.708 hektar, pemukiman dan lahan garapan masyarakat 205.004 hektar. Lalu, pelepasan melalui revisi tata ruang karena alokasi pemukiman 54.163 hektar (NTT) dan 65.125,32 hektar (Riau).

Darmin Nasution, Menko Perekonomian mengatakan, kebijakan RAPS ini tak hanya membagi lahan pada masayarakat tetapi turut mendampingi, membantu dalam penyiapan offtaker, penyiapan sarana dan prasarana dan pembibitan.

 

Komisi khusus

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM, mengatakan, dalam masa peralihan dari pemerintah otoriter ke demokratis ada yang perlu diperbaiki. Indonesia, misal, jadi punya badan macam KPK, Komisi Yudisial dan lain-lain.

Untuk masalah lahan atau agraria, juga perlu komisi khusus untuk merestitusi hak rakyat karena di masa lalu banyak terjadi pelanggaran HAM, seperti perampasan lahan. “[Komisi ini] tempat warga buat pelaporan perampasan lahan. Ada kesempatan korban buat laporan. Ini yang hilang, macam semua sudah baik,” katanya dalam diskusi di Konferensi Tenurial di Jakarta.

Kalau tak ada komisi khusus, katanya, bikin beragam programpun akan berjalan lambat. “Karena korban masif, ada di mana-mana.”

Peraturan di Indonesia, katanya, mensyaratkan pengakuan dari pemerintah daerah lewat peraturan daerah (perda) tetapi akan sulit berjalan karena lahan-lahan itu sudah banyak izin-izin dari hutan tanaman industri, sawit, pertambangan dan lain-lain.

“Selama negara belum mengakui ada kesalahan masa lalu yang belum dikoreksi , ini akan jadi hambatan bapak dan ibu menteri [dalam menjalankan reforma agraria],” katanya.

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Sandra, usulan serupa sudah sampai ke kantor presiden. Sayangnya, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara, kala itu, menyatakan, tak perlu bentuk lembaga baru karena bisa diselesaikan DPR. Alhasil, hingga kini, urusan reforma agraria, berjalan tertatih.

Kini, pemerintah sedang jalankan program RAPS dengan pembentukan kelompok-kelompok kerja di Kementerian ATR, Kementerian Desa dan KLHK dengan koordinator di bawah Kemenko Perekonomian.

Pandangan juga datang dari Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB. Dia mengatakan, kunci percepatan pemerintah dalam implementasi hutan adat, reforma agraria dan perhutanan sosial ini perlu beberapa catatan, seperti bagaimana inovasi kelembagaan baik di pusat maupun daerah.

”Dalam melihat instrumen dan regulasi, inovasi kelembagaan itu perlu dalam beberapa hal di lapangan,” katanya.

Pada internal pemerintahan, dan lembaga pendamping juga perlu sinergi yang kuat. ”Kupasan situasi lapangan jadi sangat penting sesungguhnya,  selain evaluasi seperti syarat-syarat pengakuan hukum adat seperti perda termasuk terobosan hukum yang dilakukan dalam konteks ini,” katanya.

Dia menilai, banyak regulasi soal pengakuan masyarakat adat, tetapi masih banyak terjadi kriminalisasi. Dari kondisi ini, katanya, memperlihatkan, tak hanya berbicara teks perundangan juga kelembagaan dan sosial politik di lapangan.

”Perluasan bantuan hukum, misal, pendidikan dan penyampaian informasi kepada kepolisian dan lain-lain, sangat urgen.”

Hadir dalam diskusi itu, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya; Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia; Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN. Juga Laode Muhammad Syarif Wakil Ketua KPK dan Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan serta beberapa perwakilan kementerian lain.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,