Kurangi Konsumsi Kayu Bakar dengan Ketel Uap, Efektifkah?

 

Setelah sampai di rumah di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah usai dari Pasar Segamas, Purbalingga, Casan (45) memanggil Waryo (48) salah seorang pekerjanya di tempat usaha pembuatan tahu. Waryo diminta untuk mempersiapkan kedelai sebagai bahan dan peralatan pembuatan tahu.

Pada ruangan dengan luas sekitar 6 x10 meter tersebut, mereka mulai bekerja. Ternyata tempat pembuatan tahu di rumah Casan telah berbeda dengan perajin-perajin lainnya. Selain relatif bersih karena tidak ada bekas kayu bakar, juga asapnya jauh berkurang.

“Paling asap berasal dari air yang mendidih saja. Udaranya tidak panas serta tidak pengap karena asap,” ungkap Waryo. Ia menceritakan sekitar tiga pekan terakhir di dapur tempat kerja pembuatan tahu milik Casan relatif bersih jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Sehingga bekerja lebih santai karena udaranya dan suasana lebih “adem”.

Mengapa bisa berubah? Casan lalu memberikan jawaban. Pada awal Oktober lalu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memberikan bantuan ketel uap untuk Kelompok Sari Delai di Desa Kalisari, Cilongok sebanyak dua unit. Saat memberikan bantuan Gubernur berharap bahwa ketel uap yang merupakan inovasi dari SMK Negeri 2 Purwokerto akan mampu menurunkan konsumsi kayu bakar. “Dengan teknik merebus dengan ketel uap maka akan lebih cepat dan tidak berbau, sehingga tidak ada limbah atau zero waste. Dengan adanya inovasi tersebut akan membantu pemerintah mengatasi persoalan yang dialami perajin tahu,” ujar Gubernur ketika memberikan bantuan.

Lalu benarkah ketel uap tersebut bisa mengurangi konsumsi kayu bakar? “Benar,” kata Casan yang menjadi anggota salah satu Kelompok Sari Delai, Desa Kalisari. Menurutnya, sebelum ada ketel uap kebutuhan bahan bakar yang merupakan serbuk kayu atau serutan limbah kayu membutuhkan 20 kantong.

“Tetapi setelah menggunakan ketel uap, maka bisa menghemat dua kantong. Kini, setiap harinya untuk memasak 160 kilogram (kg) kedelai hanya membutuhkan 18 kantong serbuk kayu. Lumayan ada penghematan dua kantong,” jelas Casan.

Keuntungan lainnya adalah, dapur untuk pembuatan tahu lebih bersih jika dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab, ketel uap tersebut dipanaskan dengan limbah kayu di luar dapur. Dari ketel itulah, uap dialirkan masuk ke dalam dapur dengan pipa besi. “Jadi, uap untuk memanaskan air langsung berada di dalam wajan. Sehingga tidak ada sisa kayu bakar atau asap di dalam dapur. Lebih bersih dan asap tidak ada,”ujarnya.

 

Perajin tengah mengecek ketel uap yang dipakai untuk industri kecil tahu di Desa Kalisari, Cilongok, Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan oleh Casan, setiap kantong  serutan kayu harganya Rp6 ribu, sehingga setiap harinya mampu berhemat Rp12 ribu. “Namun demikian, masih ada beberapa kendala. Di antaranya adalah untuk memasak air hingga mendidih, membutuhkan waktu lebih lama. Kalau sebelumnya, dengan kayu bakar atau serutan yang dibakar di bawah wajan, membutuhkan waktu hanya setengah jam, namun dengan ketel uap membutuhkan waktu 1,5 jam,”katanya.

Casan mengakui kalau ketel uap tersebut memang belum sempurna, tetapi inovasi tersebut merupakan terobosan bagus bagi para perajin. “Saya menyambut baik dengan adanya penemuan itu. Ini akan sangat membantu perajin, karena lebih berhemat dan mengurangi konsumsi bahan bakar kayu. Mudah-mudahan ke depan, ketel uap tersebut akan disempurnakan lagi sehingga hematnya bakal lebih meningkat,”ujarnya.

Namun berbeda dengan yang alami oleh perajin lainnya Tarno (48). Menurutnya, ketel uap bantuan pada awal Oktober lalu masih belum maksimal fungsinya. Sebab, untuk merebus kedelai, masih harus dibantu dengan kayu bakar. “Secara teori, seharusnya uap yang berasal dari ketel uap mampu merebus kedelai. Namun ternyata masih belum maksimal, sehingga harus ada tambahan kayu bakar untuk memasaknya. Tetapi memang dengan adanya ketel uap tersebut lebih menghemat konsumsi kayu bakar. Namun, saya belum menghitung secara rinci berapa penghematannya,” kata Tarno.

Sementara Kepala Desa Kalisari Aziz Masruri mengatakan ketel uap sebetulnya merupakan salah satu solusi atas konsumsi kayu bakar. Ia mengakui, seluruh perajin tahu di Desa Kalisari yang berjumlah sekitar 240 masih menggunakan kayu bakar untuk memasak kedelai menjadi tahu. “Yang jadi persoalan adalah stok kayu bakar semakin lama kan kian menipis. Sehingga perlu ada pemikiran, bagaimana caranya untuk mengurangi konsumsi kayu bakar atau menggantinya dengan energi terbarukan yang lain,” ujar Aziz.

Menurutnya, sebetulnya sudah ada alternatif yakni mengolah limbah tahu menjadi biogas. Bahkan, sampai sekarang telah terbangun lima unit instalasi pengolah limbah di berbagai lokasi, bahkan tahun ini ada tambahan satu unit lagi.

“Tahun ini ada tambahan satu unit instalasi biogas yang merupakan bantuan dari Pemkab Banyumas dengan nilai Rp700 juta. Tetapi, karena anggaran terbatas maka tahun ini baru dialokasikan Rp500 juta dan tahun depan Rp200 juta. Sampai sekarang ada 210 rumah yang teraliri biogas dari pengolahan limbah 142 unit usaha. Tahun ini, nanti ada tambahan enam rumah lagi yang teraliri biogas,”katanya.

Namun demikian, lanjut Aziz, biogas dari pengolahan limbah tahu tidak kuat untuk memasak kedelai menjadi tahu. “Biogas hasil pengolahan limbah sudah dapat dimanfaatkan oleh warga. Namun demikian bukan untuk skala industri pengolahan tahu. Biogas yang dihasilkan hanya sebatas untuk memasak. Memang, pengolahan limbah jelas membuat lingkungan semakin baik, namun biogas yang diproduksi belum mampu menggantikan kayu bakar,” ujarnya.

 

Seorang perajin tahu tengah memanaskan ketel uap dengan bahan bakar limbah kayu atau serutan kayu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Karena itulah, dengan adanya inovasi teknologi berua ketel uap tersebut, sangat disambut baik oleh para perajin. “Sebetulnya inilah yang kami cari, sebab seluruh perajin tahu di Kalisari masih bertumpu pada kayu bakar. Ketika ada bantuan ketel uap tersebut sangat diharapkan mampu mengurangi kayu bakar. Kami belum dapat berbicara banyak, karena bantuan baru awal Oktober lalu. Namun, jika dalam praktiknya ternyata mampu mengurangi kayu bakar dan menghemat ongkos produksi, tentu saja akan banyak diikuti oleh perajin. Tetapi perajin pasti berhitung dengan ongkos pembuatan ketel uap, apakah sesuai atau tidak perhitungannya,” jelas Aziz.

Pihak Desa Kalisari bakal terus mendorong agar perajin tahu mengurangi konsumsi bahan bakar. Tetapi harus ada pengganti kayu bakar yang lebih efisien dan efektif, apalagi kalau merupakan energi terbarukan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,