Usulan DPR RI untuk Laksanakan Moratorium Pengadaan Kapal Bisa Rugikan Nelayan?

 

Usulan Komisi IV DPR RI agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaksanakan penghentian sementara (moratorium) pengadaan kapal ikan untuk nelayan di seluruh Indonesia pada 2018, dinilai bukan usulan yang tepat. Hal itu, karena dikhawatirkan akan mengganggu kinerja produksi perikanan nasional yang ditarget bisa mencapai 33,53 juta ton pada 2018.

Penilaian tersebut diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, usulan moratorium pada anggaran pendapatan belanja nasional (APBN) 2018 jelas harus ditolak, mengingat persediaan ikan di perairan Indonesia sedang mengalami peningkatan.

“Dibutuhkan stimulus dan intervensi pemerintahan untuk membantu nelayan dalam penyediaan sarana produksi seperti kapal dan alat tangkap ikan. Moratorium ini dikhawatirkan mengakibatkan tidak tercapainya target ekspor senilai USD8,53 miliar,” ungkap dia.

Abdi Suhufan menjelaskan, usulan DPR untuk melaksanakan moratorium pengadaan kapal dengan anggaran sebesar Rp501.204.533, didasarkan pada alasan bahwa pengadaan kapal selama ini sarat dengan masalah. Penilaian tersebut, kata dia, jelas merupakan penilaian yang tidak proporsional.

Menurut Abdi Suhufan, sebelum memberikan penilaian seperti itu, sebaiknya DPR RI melihat permasalahan secara holistik. Dengan kata lain, penilaian bukan dari sisi administrasi pengadaan saja, melainkan juga dilihat dari tujuan strategis program pengadaan kapal tersebut.

“Bahwa ada kelemahan dalam sisi adminsitrasi pengadaan kapal selama ini, mestinya DPR mendorong dan menyarankan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memperkuat pengawasan internal dan manajemen resiko KKP agar berfungsi dengan baik,” tutur dia.

“Selanjutnya, jika ditemukan masalah, mesti dilakukan langkah penyelesaian secara proporsional, bukan dengan menjatuhkan vonis pembatalan program secara keseluruhan,” tambah dia.

Lebih lanjut Abdi Suhufan mengungkapkan, jika moratorium pengadaan kapal jadi dilaksanakan pada 2018, maka itu akan mengakibatkan rencana pengadaan kapal berukuran 3-28 gros ton (GT) sebanyak 484 unit dengan nilai Rp196,6 miliar menjadi batal dilaksanakan. Padahal, kata dia, kapal dengan ukuran tersebut sangat dibutuhkan oleh nelayan-nelayan di Indonesia bagian timur yang kini merasakan melimpahnya ikan di perairan mereka.

“Nelayan kecil butuh fasilitasi dan perlindungan pemerintah dan hal tersebut sejalan dengan amanah UU 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, sehingga seharusnya jangan ada keraguan dari DPR dan pemerintah untuk mengalokasikan program dan anggaran untuk nelayan,” papar dia.

 

Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

 

Dengan fakta tersebut, Abdi Suhufan mendesak kepada DPR RI dan KKP untuk meninjau ulang moratorium kapal ikan yang dilakukan secara menyeluruh. Menurut dia, moratorium bisa dilakukan hanya pada pengadaan kapal yang berpotensi bermasalah berkaitan dengan pelaksanaan anggaran secara multiyears.

“Dimana sejumlah persyaratannya belum dipenuhi oleh KKP. Menteri Kelautan dan Perikanaan juga perlu memperkuat sistem pengawasan internal, memperbaiki mekanisme perencanaan pengadaan kapal dan melakukan manajemen resiko agar potensi permasalahan pengadaan kapal dapat dideteksi dan antisipasi sejak awal.

Secara proporsional, Abdi Suhufan menegaskan, pengadaan kapal pada 2018 mesti dilakukan pada awal tahun. Dengan maksud, agar proses pembuatan, distribusi dan operasional oleh nelayan dapat diterima lebih awal dan digunakan untuk melaut. Itu berarti, prosesnya tidak selalu menunggu akhir tahun atau mungkin lewat tahun untuk diserahkan pada nelayan.

 

Alasan Moratorium

Pada Senin (30/10/2017), Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono membenarkan bahwa pihaknya sudah memberikan usulan moratorium untuk proyek pengadaan kapal ikan pada 2018. Usulan yang diungkapkan dalam rapat kerja (Raker) antara Komisi IV dengan KKP pada pekan lalu itu, didasarkan pada temuan-temuan yang dikumpulkan Komisi IV di lapangan.

Ono Surono menyebutkan, dengan adanya temuan-temuan tersebut, semakin terkuak fakta bahwa ada permasalahan dalam pengadaan kapal ikan yang dilaksanakan KKP sekarang. Dengan kata lain, permasalahan yang muncul ke permukaan, ternyata bukan saja permasalahan disclaimer dari badan pemeriksa keuangan (BPK) RI yang diberikan untuk KKP karena adanya ketiakjelasan sejumlah proyek.

“Sejak awal, Komisi IV sudah sepakat dengan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa untuk menunjang dan mendukung kesejahteraan nelayan, kita setuju untuk mengalokasikan anggaran untuk pembuatan kapal sebanyak 3.450 unit,” ucap dia.

Keluarnya kata sepakat untuk memberikan alokasi anggaran pengadaan kapal ikan, menurut Ono, tidak lain karena saat itu KKP meyakinkan Komisi IV bahwa proyek tersebut dilakukan melalui perencanaan yang matang dan disusun sebelumnya oleh Menteri dan jajarannya.

Setelah mendapat persetujuan dan kucuran anggaran, Ono menjelaskan, KKP kemudian merevisi jumlah kapal yang akan dibangun untuk dibagikan kepada nelayan di Nusantara. Jika pada awal KKP mengajukan jumlah 3.450 unit, maka saat raker yang dilaksanakan pekan lalu, KKP menyebut bahwa jumlah kapal yang dibangun menjadi 1.354 unit.

“Itu pun, jumlahnya menyusut dari revisi sebelumnya yang dipatok di angka 1.719 unit. Angka tersebut dievaluasi sendiri oleh KKP,” kata dia.

 

Sebanyak 142 nelayan dari Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Makassar, Sulsel memperingati HUT ke-72 Indonesia tahun 2017 dengan menggunakan perahu tradisional jolloro membentuk formasi 17, 8, 17 (2017) dan 72 di Pantai Losari, Makassar. Foto: Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar/Mongabay Indonesia

 

Sebelum raker digelar pada pekan lalu, Ono mengaku, Komisi IV sudah mengumpulkan temuan-temuan yang ada di lapangan. Di antarana, adalah temuan tentang keterlambatan kontrak pembangunan kapal ikan. Permasalahan tersebut diperparah, karena pada saat yang sama, KKP masih berkutat pada permasalahan verifikasi sejumlah galangan kapal yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Kita kemudian dapat informasi jika sekitar 200 galangan kapal telah siap untuk melakukan kontrak pembuatan kapal yang juga disebutkan sebagai mitra kerja dari PT PAL di Surabaya,” jelas dia.

Akan tetapi, Ono menyebut, dari 200-an galangan kapal yang diinformasikan sudah siap tersebut, dari hasil penelusuran pihaknya di lapangan, ternyata baru 20-an galangan kapal yang benar-benar siap untuk melaksanakan pembangunan kapal ikan. Namun, 20-an galangan tersebut juga tak bisa bekerja maksimal, mengingat waktu yang semakin terbatas untuk melaksanakan pembangunan.

Tak hanya masalah tersebut, Ono menambahkan, BPK RI sebelumnya sudah memberikan penilaian disclaimer kepada KKP atas pelaksanaan sejumlah program kerja. Di antaranya, adalah penemuan dugaan perubahan dokumen lelang dan juga perubahan pola skema lelang.

Kata Ono, perubahan dokumen lelang itu, awalnya menggunakan sistem e-katalog dan turn key, tetapi kemudian berubah menjadi lelang biasa dan pa by progress atau pembayaran sesuai kinerja. Perubahan sistem tersebut, diduga kuat menjadi penyebab terjadinya keterlambatan pekerjaan di KKP.

Keterlambatan yang dimaksud Ono, adalah karena batas waktu pembangunan kapal ikan untuk tahun anggaran 2016 maksimal pada 23 Desember 2016. Akan tetapi, diduga karena dilakukan perubahan sistem, banyak kapal yang melewati batas waktu tersebut dan masih belum selesai pengerjaannya.

“Kecuali 48 kapal saja dan lalu sisanya dibagi dalam dua kategori pekerjaan, yakni antara pekerjaan yang masih di bawah 50 persen dan sudah diatas 50 persen. Untuk yang sudah di atas itu berlanjut dan di bawah itu dibatalkan kontraknya,” jelas dia.

Untuk kapal yang pengerjaannya menjelang akhir 2016, kata Ono, jumlahnya mencapai 600 unit lebih. Sementara, sisanya atau sebanyak 758 unit kapal dilanjutkan pembangunannya namun dengan catatan khusus.

“Mengingat batas akhir pembayaran itu 23 Desember, akhirnya bank mengeluarkan garansi sesuai kesepakatan dengan para pemenang tender. Namun, bank yang mengeluarkan garansi tersebut, para perkembangannya banak yang tidak memenuhi kewajiban. Akhirnya, garansi bank kembali ke kas negara dan perusahaan-perusahaan akhirnya belum juga dibayar,” tandas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,