Konsumsi Daging Paus Mati Terdampar? Ahli: Berpotensi Bawa Penyakit

 

Sebuah akun Facebook bernama Tarcius Dianto Saogo mengunggah video paus terdampar di wilayah pantai Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (26/10/17). Dalam video itu terlihat sisa tubuh paus tinggal sebagian di kelilingi puluhan warga yang terlihat berebut memotong-motong daging satwa ini.

Video jadi viral itu diunggah pemilik akun sekira pukul 00.36 dan sampai Rabu (1/11/17) sudah ditonton 15.000 kali dan dibagikan 188 kali oleh para pengguna Facebook.

Video dengan durasi 2.12 detik ini mengundang berbagai komentar dari netizen. Ada yang berisi ungkapan terkejut, adapula yang memberikan saran dan masukan agar masyarakat segera mengubur bangkai paus ini.

Saat dikonfirmasi kepada pemilik akun, Tarcius mengatakan, paus pertama kali dilihat warga Masukot yang sedang mencari lobster. Paus terus menepi ke arah pantai.

“Menurut keterangan, Senin sore paus masih hidup, ada salah seorang warga Masokut pergi menyelam cari udang. Paus itu terus menepi hingga membuat warga takut dan meninggalkan lokasi.”

Keesokan hari, katanya, dia kembali ke pantai dan paus sudah mati di atas batu karang. “Sore hari, datanglah warga beramai-ramai dari Desa Masokut, Beriulou dan Desa Bosua termasuk Dusun Katiet, Mongan Bosua dan Sao, mengambil daging paus itu dengan pisau dan peralatan dapur lain,” katanya pada Mongabay.

Dalam video terlihat puluhan orang sedang memotong-motong daging paus yang mati itu, mereka terlihat membawa keranjang yang dipakai untuk membawa daging paus. “Ada sekitar 20 meter berat tiga ton,” kata Tarci.

Lopedrian Ariston,  Staf Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, yang melakukan pengecekan mengatakan,  paus ini terdampar Senin malam (23/10/17) dengan kondisi sirip terluka di dekat Pantai Dusun Masokut, Desa Bosua, Sipora Selatan.

Saat kedatangan BPSPL Padang (2/10/17),  tim mengecek tubuh paus, dan terlihat kondisi mulai membusuk dengan perut terbuka.

“Paus sudah kode tiga, mengalami pembusukan tingkat lanjut,” katanya seraya bilang, yang terdampar diperkirakan paus biru tanpa gigi dengan panjang 18 meter lebar sirip empat meter.

Kondisi paus sudah membusuk dan lokasi terdampar cukup jauh dari pemukiman warga,  akhirnya paus dibiarkan di pantai. “Kami keterbatasan tenaga dan alat, jadi paus ditinggalkan saja. Sebelumnya, sudah kami beritahu warga agar tak mendekati bangkai paus apalagi memakannya.”

Terdamparnya paus di Pantai Mentawai,  tepatnya di Pulau Sipora merupakan kejadian kedua. Sebelumnya, 2 Januari 2017 di Dusun Jati, Desa Tuapeijat, Sipora Utara paus mati terdampar dan membusuk.

Untuk penanganan, saat itu BPBD Mentawai bersama warga menyeret paus ke pulau tak berpenghuni dan membiarkan membusuk.

Dwi Suprapti, Marine Species Conservation Coordinator-WWF Indonesia mengatakan,  berdasarkan analisis foto dan video yang beredar di sosial media, satwa yang terdampar merupakan baleen whale (paus sikat) atau paus tak bergigi.

“Ini diketahui dari ada otot rahang bawah berbentuk garis-garis atau biasa disebut ventral grooves. Ventral grooves hanya dimiliki paus baleen dimana ia berfungsi sebagai otot fleksibel dan dapat menggembung seperti balon saat paus sedang makan.”

Grooves inilah yang memperkuat identifikasi mengarah kepada paus baleen.”

Paus baleen dari famili Balaenopteridae terdiri dari enam spesies,  yaitu paus bungkuk (humpback whale), paus biru (blue whale), paus sirip (fin whale), paus sei (sei whale) dan paus minke (minke whale). Karena posisi kepala bagian atas tak terlihat jelas pada foto dan video, serta bagian tubuh terpotong-potong, katanya, jadi sulit mengidentifikasi spesiesnya.

 

Berpotensi bawa penyakit

Seharusnya, kata Dwi,  perlu nekropsi (bedah bangkai) terhadap paus mati terdampar ini oleh dokter hewan ahli untuk mengetahui penyebab kematian, apakah faktor alam atau penyakit. Kalau mati karena penyakit, tentu saja sangat berbahaya bagi manusia yang kontak atau mengkonsumsi.

Paus, katanya,  merupakan hewan penjelajah dan berumur panjang hingga kemungkinan membawa berbagai penyakit baik bakteri, parasit, virus sampai akumulasi zat-zat kimia berbahaya. Hal ini, berpotensi menyebabkan penularan penyakit kepada manusia ataupun mikroba dan zat kimia itu dapat berpindah atau mengendap di tubuh manusia yang kontak atau mengkonsumsi.

 

Foto: Facebook Tarcius Dianto Saogo

 

Menurut Dwi, reaksi umum biasa terjadi bagi yang kontak maupun mengkonsumsi, seperti alergi atau rasa gatal, keracunan, dan diare.  Terkadang ada juga yang tak menunjukkan gejala namun mikrobial, dan parasit perlahan menyerang organ tubuh.

Sebaiknya, kata Dwi,  jika ada kejadian serupa jangan kontak langsung, gunakan pelindung diri saat kontak (pakai masker, sarung tangan dan jas plastik), kemudian musnahkan bangkai dengan cara dikubur, ditenggelamkan atau dibakar.

“Mengingat kita tidak pernah tau riwayat kehidupan paus dan adanya potensi zoonosis (penularan penyakit dari hewan ke manusia-red).”

Maulid Dio Suhendro, salah satu tim medik veteriner, mahasiswa pasca sarjana Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Udayana mengatakan,  ada beberapa cara penanganan paus terdampar mati,  dan tergantung besar tubuh. “Seperti baleen sebaiknya ditanam di tanah dengan memperhatikan air pasang tertinggi pada pantai itu. Ini sering saya rekomendasikan karena bisa memberikan beberapa informasi lanjutan, misal untuk pembelajaran osteologi dibuatkan museum paus,” katanya seraya bilang, melakukan itu, memerlukan beberapa alat berat.

Metode lain, menghilangkan bangkai dengan menenggelamkan, tetapi harus ada pemberat dan mengeluarkan gas di dalam tubuh paus. “Ini jarang saya rekomendasikan karena butuh tenaga ahli guna meminimalisir cemaran dari paus ke observer di lapangan.”

Cara lain, dengan membakar tetapi daging paus yang terbakar bakal mengeluarkan bau tak sedap dan proses lama agar hancur. Bisa juga dengan  meledakkan. Dia paling tidak merekomendasikan cara ini.

Berbicara soal dampak lingkungan, katanya,  paus terpotong-potong ini sangat berbahaya, bisa berupa cemaran, infeksi baik bakteri/virus maupun parasit.

Dia bilang, banyak penyakit zoonosis menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Biasanya,  pada tubuh hewan mati membawa pesan terhadap kerusakan yang mungkin karena beberapa faktor seperti internal baik bakteri, virus dan parasit. Bakteri, katanya,  cukup banyak seperti mycobacterium (TBC), salmonellabrucellaerysipelas rhusiopathiaedan lain-lain. Virus, katanya,bisa influenza/orthomyxo, papillomavirus dan parasit seperti pseudo terra dan anisakis.

Sebenarnya,  Mentawai sudah beberapa kali mendapatkan sosialisasi atau penyadartahuan terkait penanganan mamalia laut terdampar oleh Whale Strandings Indonesia (WSI) yang bekerja sama dengan LIPI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

WSI merumuskan beberapa faktor penyebab mamalia laut terdampar, seperti gempa bawah laut, tertabrak kapal, polusi– bisa minyak, merkuri, dan logam berat–,   maupun gangguan sonar kapal selam.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,