Kala Kukang Jawa dan Owa Makin Terancam

 

 

Di Pasar Hewan “Pasti” Yogyakarta, Yoga Himawan bertanya harga kukang Jawa, pada seorang pedagang. Satu kukang Rp300.000, tergantung umur. Satwa dilindungi ini, tak dipajang terbuka seperti burung, kucing dan satwa lain. Ia dikeluarkan ketika pembeli menyepakati harga. Pedagang sadar, kukang Jawa dilindungi.

“Itu satwa dilingungi. Pedagang tak berani jual terbuka, pasti ditangkap,” kata Udin, pedagang satwa, Kamis (2/11/17).

Muhammad Ali Imron, pakar konservasi satwa liar Universitas Gajah Mada mengatakan, kukang Jawa (Nycticebus javanicus)  merupakan jenis terancam punah karena perburuan.

Kukang Jawa salah dilindungi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 7/1999 soal pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Bahkan, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan satwa ini dalam kategori kritis atau terancam punah (critically endangered).

“Perburuan kukang cukup tinggi untuk diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan hingga populasi di alam terus menurun,” kata Imron.

Peneliti yang juga melakukan kajian kukang Jawa di Hutan Kemuning Jawa Tengah ini menjelaskan,  kukang Jawa satu langkah lagi menuju kepunahan di alam apabila tak terkelola baik.

Perdagangan ilegal baik konvensional maupun online, katanya, jadi penyebab utama penurunan populasi kukang.

“Pemeliharaan jadika jual beli satwa terus berlangsung dan memicu orang lain turut melakukan hal serupa,” katanya.

Penurunan populasi kukang, katanya, karena habitat hilang akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan. Hutan terfragmentasi juga berkontribusi terhadap keterancaman satwa ini.

Imron menekankan,  penting meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan kukang yang terancam punah. Masyarakat,  diharapkan berkontribusi dalam menyelamatkan dan melestarikan kukang di alam dengan cara tak jadi hewan peliharaan.

Angelina Pane, Program Manager Animal Friends Jogja (AFJ) kepada Mongabay mengatakan, perburuan dan perdagangan kukang Jawa dan satwa lain marak sangat memprihatinkan.

Perdagangan untuk pemeliharaan, katanya,  memegang peran besar dalam mendorong kepunahan kukang.

Laporan masuk ke AFJ tentang perdagangan satwa liar dilindungi baik di pasar burung atau hewan maupun online terus bertambah. Ia mengindikasikan kesadaran masyarakat meningkat.

Sisi lain, kalau memantau media sosial terutama forum jual beli satwa online, masyarakat sadar pelestarian  masih kalah jauh dengan para penjual satwa dilindungi itu.

Data Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (Yiari) 2016, terhadap 50 grup jual beli hewan di media sosial Facebook, ada 625 kukang didipamerkan untuk dijual. Masih ada ratusan grup jual beli hewan lain. Sekitar 200-250 kukang ditawarkan di tujuh pasar di empat kota besar setiap tahun.

Sekitar 400 kukang dipelihara pemilik media sosial yang terpantau. Jika 30% kukang mati dalam siklus perdagangan, artinya ada 794 sudah diambil dari alam selama 2015.

Dalam beroperasi, kata Ina, pedagang satwa liar, memanfaatkan celah hukum dan pergerakan mereka makin terorganisir.

Dia contohkan, dengan memanfaatkan anak di bawah umur untuk jadi penadah satwa liar dilindungi. Pedagang mengelabuhi aparat hukum dengan mempunyai rekening bersama untuk transaksi online dan sistem bertemu langsung. Mereka juga meminta calon pembeli mengirimkan salinan kartu tanda penduduk sebelum transaksi dilanjutkan.

“Penegakan hukum terkait praktik-praktik ini juga masih sangat lemah. Sanksi jelas kurang berat. Sanksi ringan tak akan memberikan efek jera, apalagi  pelaku bisnis dengan modal berskala internasional,” katanya.

AFJ juga menemukan fakta, perdagangan satwa liar dilindungi ilegal juga marak dilakukan oknum justru mempunyai izin sebagai lembaga konservasi (LK) seperti kebun binatang.

Praktik perdagangan satwa liar terorganisir banyak melibatkan para pejabat pemerintahan dan pemodal dan ingin memiliki satwa liar dilindungi sebagai peliharaan.

 

Peran penting kukang

Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature, kukang Jawa termasuk kategori kritis atau terancam punah. Kukang Sumatera dan Kalimantan termasuk kategori rentan punah.

Peran penting kukang dalam habitat adalah sebagai penyeimbang ekosistem alam. Jika kukang tak ada, katanya, habitat akan terganggu hingga ekosistem juga menjadi timpang dan rusak. Kukang sendiri di alam sebagai pemakan serangga (hama tanaman).

“Kukang juga berperan penting dalam penyerbukan dan penyebaran tumbuhan di alam,” katanya

 

Owa berada di kandang sempit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Owa di Sumatera

Tak hanya kukang. Kehidupan owa pun terancam. Owa, disebut juga ungko wau-wau, adalah kelompok primata suku hylobatidae. Kelompok kera berlengan panjang ini, disebut gibbon dalam bahasa Inggris, hanya bisa ditemukan di hutan hujan tropis di seluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Sumatera, Kalimantan dan Jawa.

“Kondisi owa cukup memprihatinkan karena perburuan dan perdagangan ilegal tinggi,” kata Rudianto Sembiring, Direktur Eksekutive Indonesian Species Conservation Program (ISCP), kepada Mongabay, Selasa (24/10/17), bertepatan dengan Hari Owa Internasional.

Kelompok primata ini juga sering disebut lesser ape (kera kecil), merujuk pada perawakan yang tak berekor, dan jadi ciri khas kera, termasuk ukuran lebih kecil dari kera-kera lain di dunia, seperti orangutan, simpanse dan gorila.

Di Indonesia, setidaknya tujuh jenis owa, tersebar di beberapa hutan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Untuk Sumatera, khusus Sumatera Utara, ada tiga jenis yaitu owa dataran tinggi (Hylobates agilis agilis), owa dataran rendah (Hylobates lar) dan siamang (Hylobates symphalangus syndactyus).

Penyebaran mereka, ada di dataran tinggi Karo, dataran tinggi dan rendah Bukit Barisan, sekitar Danau Toba, hutan Batang Toru–Tapanuli Selatan (Tapsel), Tapanuli Utara (Taput), dan Tapanuli Tengah (Tapteng).

Owa juga ada di hutan Labuhan Batu, Rantau Parapat dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Langkat, Sumut. “Umumnya,  owa menyebar dari Sumatera baik dari Aceh sampai Lampung, ” katanya.

Dia bilang, perdagangan ilegal owa di Sumut secara tertutup, baik di pasar gelap, sosial media, dan langsung dari pemburu dan pengepul.

Berdasarkan IUCN, owa masuk status endangered (terancam punah). Satwa ini juga dilindungi berdasarkan UU Konnservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Untuk populasi owa ini, katanya, belum ada terdata pasti. Berdasarkan perkiraan atau estimasi, ada sekitar 10.000-30.000 owa. Angka ini dipastikan terus turun karena perburuan dan perusakan habitat.

Menurut dia, perburuan dan keinginan memelihara owa dan satwa liar lain masih tinggi, antara lain karena penegakan hukum lemah, kurang penyadartahuan. Lalu, kondisi ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan dan permintaan satwa di pasar gelap tinggi. Ada juga yang memelihara owa demi kesenangan pribadi, karena dianggap lucu.

Dia memberikan masukan agar perburuan dan perdagangan satwa owa bisa ditekan, antara lain, menguatkan patroli hutan, penegakan hukum tegas, efisien tanpa kompromi.

Terpenting lagi, katanya, segera revisi sanksi hukum dalam UU Nomor 5/1990 yang terlalu ringan. “Hukuman bagi yang memelihara, membeli, dan menjual satwa dilindungi, harus lebih berat lagi, denda yang tinggi,” katanya.

 

Perawatan di pusat penyelamatan

Rudianto, pernah menjadi perawat primata, terutama owa di Medan Zoo pada 2006 -2015. Pengalaman soal spesies unik ini begitu luas, termasuk mengatasi satwa jika stres dan tak mau makan.

Mengenai perawatan owa baik di pusat penyelamatan satwa atau kebun binatang, katanya, harus memiliki tempat, paling tidak 50% menyerupai habitat alami. Dalam kan, yaitu harus banyak pengayaan diri dalam kandang, seperti dedaunan dan ranting-ranting serta pohon.

Mengenai penyakit umum yang bisa ditularkan owa ke manusia dan manusia ke owa, katanya, seperti hepatitis, TBC, rabies, herpes, dan cacingan.

“Penyakit ini sangat berbahaya apabila tertular ke manusia juga sebaliknya manusia ke owa. Dalam penanganan harus dilakukan dokter hewan berpengalaman. Jika berdekatan,  wajib pakai sarung tangan dan masker agar tak terjadi penularan.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,