Hutan Adat Masyarakat Depati Nyato Dalam Keterancaman (Bagian I)

 

 

Memasuki ujung jalan menuju dua Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak,  Kecamatan Bukit Kerman,  Kabupaten Kerinci, sekeliling bulir padi menguning. Jalan aspal tepat bersebelahan dengan pematang sawah yang tersusun rapi dan saluran irigasi mengitari sawah-sawah itu.

Dari gerbang masuk desa, harus melalui jalan kecil beraspal sekitar 400 meter untuk sampai ke pemukiman penduduk. Jejeran rumah panggung dengan posisi bertumpuk di satu lokasi, Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak– dulu satu desa, yakni Talang Kemuning.

Pada 2010, desa mengalami pemekaran. Meskipun demikian kedua desa ini tetap dalam satu lembaga adat: Depati Nyato. Dua desa ini memiliki kekerabatan sangat dekat. Banyak perkawinan antarwarga satu desa dan satu kekerabatan.

Uniknya,  kedua desa ini hanya terpisah jalan setapak, hingga interaksi antarwarga terjalin akrab. Keberadaan desa hanyalah administratif.

Munir adalah Kepala Desa Talang Kemuning sekaligus Depati Sengado, merupakan pecahan salah satu dari tiga kelompok keluarga besar yang disebut kalbu, yaitu Kalbu Depati Mudo, Depati Reno dan Depati Sengado.

Munir mengatakan, tak pernah menyangka kasus jual beli lahan adat Depati Nyato sejak akhir tahun lalu mengubah segalanya, termasuk tatanan sosial masyarakat.

“Kami sekarang rusak tatanan sosial di masyarakat. Kakak dengan adik dak bertegur sapo lagi. Paman dengan keponakan putus silaturahmi. Ini bukan konflik antardua desa tapi ini konflik antarsaudara,” ceritanya dengan raut sedih.

Bermula dari praktik jual beli lahan adat oleh oknum Kepala Desa Bintang Marak dan perangkatnya kepada Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang eksplorasi di wilayah adat itu. Mongabay berusaha mengkonfirmasi soal jual beli lahan adat ini kepada Halwati, Kades Bintang Marak, namun, sampai berita ini turun dia tak mau memberikan keterangan.

Padahal, lahan masyarakat sebagai wilayah adat berdasarkan keputusan rapat lembaga adat yang menetapkan Bukit Sungai Kering, Bukit Seruk dan Rawa Sijang seluas 760 hektar sebagai Hutan Adat Depati Nyato.

Proses pengusulan sudah sejak 2015, bahan-bahan telah diverifikasi dan memenuhi persayaratan. Tak diduga, tiga hari sebelum pengukuhan, Bupati Kerinci membatalkan pengukuhan wilayah adat itu. Tentu saja,  ini membuat pertanyaan besar dan kekecewaan masyarakat adat.

Hamdani, Sekretaris Lembaga Adat Depati Nyato mengaku sampai saat ini masih mempertanyakan pembatalan pengukuhan wilayah adat itu. “ Setelah dibatalkan, kami mendapati PGE sudah melakukan penebangan si Cluster H, di wilayah adat kami. PGE mengaku telah mendapatkan surat jual beli lahan dari oknum Desa Bintang Marak,” katanya.

Pasca pembatalan pengukuhan wilayah adat, masyarakat adat Depati Nyato merasa terlangkahi dengan sikap semena-mena oknum yang memperjualbelikan wilayah adat ini. Karena areal adat juga memiliki arti penting bagi masyarakat di dua desa tu.

Wilayah adat Depati Nyato merupakan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) juga hulu air DAS Grao Sikai dan DAS Sungai Jujun. Kalau kawasan terjaga akan memberikan manfaat langsung bagi kedua desa dan beberapa desa tetangga. Sumber air sebagai penopang kehidupan dan menghindari longsor maupun kekeringan.

Perlindungan daerah tangkapan air juga penting, katanya, untuk menjaga pasokan air sungai sebagai sumber irigasi utama masyarakat desa sekaligus buat keperluan sehari-hari.

“Mayoritas masyarakat bekerja dan mengandalkan hidup dari bersawah, kebutuhan air satu-satunya dari Sungai Grao Sikai, hulu pada kawasan hutan itu.”

Kalau sampai Bukit Sungai Kering, Bukit Seruk dan Rawa Sijang rusak, kata Hamdani, ancaman bagi kehidupan dan generasi penerus.

 

Kerbau sebagai alat membajak sawah. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Sejak dulu masyarakat adat Depati Nyato mengelola hutan dengan arif sesuai aturan adat mereka. Mereka ini masyarakat yang turut menjaga TNKS teruang dalam Kesepakatan Konservasi Desa sejak 2001. Hal ini terbukti dengan tutupan hutan adat sangat rapat dan kondisi baik.

Perubahan alih fungsi kawasan pada 2013. Ternyata, setelah cek ulang hutan adat mereka tak masuk zona TNKS. Lembaga adat khawatir agar tak terjadi perebutan lahan antarwarga mereka mengusulkan pengukuhan hutan adat melalui SK bupati.

Menurut Munir, kesalahan oknum Kepala Desa Bintang Marak dengan menerbitkan surat kepemilikan tanah (SKT) di wilayah adat itu khawatir memicu kecemburuan sosial bagi masyarakat lain.

“Lahan empat hektar yang dijual dan diklaim milik perorangan ini membuat kami khawatir. Jika semua warga mengaku seperti itu, apa yang harus kami lakukan untuk mengamankan kawasan itu?” katanya.

Meskipun hanya seluas empat hektar,  kata Hamdani, hutan adat yang diperjualbelikan kepada PGE di lokasi tengah. Mereka khawatir bakal melebar ke seluruh hutan adat. “PGE akan pembuatan titik pengeboran baru lagi. Ini kami khawatirkan akan memasuki hutan adat kami.”

 

Pembiaran

Meski berulang kali mengadu ke Bupati Kerinci, masyarakat tidak mendapatkan kepastian apapun. Baik penindakan tegas pelaku penjualan hingga pengukuhan wilayah adat.

Ketidakpercayaan masyarakat makin memuncak, ketika salah satu anggota kelompok adat Depati Nyato harus mendekam di penjara karena laporan perusahaan melakukan tindakan kekerasan.

Asmardi, Ketua Adat Depati Nyato mengatakan, mereka malah tak boleh lagi masuk kawasan adat, dan berujung dengan bentrok warga dengan keamanan perusahaan. “Yang menyebabkan anggota kami ditahan,” katanya.

Asmardi bersama pemuka adat dan masyarakat sanksi sosial terhadap panjual tanah. Asmardi bilang, sudah memberikan sanksi adat sebagai hukuman berat pelaku penjualan. ”Tidak dianggap dalam kehidupan bermasyarakat. Jika ada acara ataupun sedekah tidak diajak. Kalau dia ada hajatan kami tidak datang atau tidak mau tahu lagi. Itu untuk hukuman berat bagi pelanggar adat.”

Hingga kini, masyarakat adat Depati Nyato masih menunggu kebijakan bupati untuk pengukuhan hutan adat mereka. Mereka berharap,  konflik sosial masyarakat teratasi dengan pengukuhan kawasan adat itu. (Bersambung)

 

Tempat pemandian umum di Desa Talang Kemuning. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Idonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,