Mereka yang Setia Mempertahankan Kearifan Lokalnya

 

 

Inilah potret masyarakat pedesaan yang kokoh mempertahankan tradisinya di tengah perubahan zaman. Di Kampung Batuloceng, Desa Sutenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, segenap warganya coba kenalkan kembali permainan lawas mereka yang selaras dengan alam. Kadaplak, nama permainan menuruni bukit menggunakan alat seperti motor beroda tiga dari kayu itu.

Gunawan, penggagas kadaplak menjelaskan, sejarah permainan ini awalnya sebagai hiburan rakyat yang berkerja di perkebunan Belanda. Asal-usulnya, belum ada keterangan pasti. Yang jelas, kadaplak merupakan warisan budaya yang dimainkan usai panen raya. “Di setiap perhelatannya disambut suka cita.”

Namun siapa sangka, masyarakat yang tinggal di kampung ini ternyata, hasil relokasi Pemerintah Belanda. Saat itu, masyarakat Kampung Batuloceng, tinggal di sekitar daerah aliran sungai (DAS) hulu Cikapundung. Dengan pertimbangan fungsi dan pemanfaatan Sungai Cikapundung yang lebih optimal dari hulu ke hilir, relokasi dilakukan. Bukan karena mengedepankan unsur estetika semata.

Ayat Sulaiman, tokoh masyarakat setempat menerangkan, sekitar 1907, Belanda memerintahkan warga untuk pindah. Belanda yang memiliki perkebunan, menyediakan lahan baru untuk masyarakat sekaligus mempekerjakan mereka sebagai juru cocok tanam.

“Kampung ini hasil relokasi. Waktu itu Belanda beralasan, relokasi untuk melindungi sumber mata air. Selain itu, mempertimbangkan daya guna lahan dan produktivitas tanah,” katanya.

Kaitan tradisi dengan kearifan lokal setempat sangatlah erat, terlebih di lokasi yang sama terdapat Situs Batuloceng. Kearifan bermula dari perkebunan kopi Jawa Preanger (Java Preanger Coffee). Jenis kopi yang dikembangkan di areal pegunungan Priangan yang juga disebut “Parahyangan” dan “de Preanger” di ketinggian 800-1.700 m dpl ini, salah satu lokasinya berada di Kabupaten Bandung Barat. Cita rasa kopi ini terkenal spesifik, aroma kuat dengan rasa manis rempah dan ukuran biji sedang (moderat).

“Di sini juga ada kawasan bernama Baru Kopi. Sepengetahuan saya dari kolot bahuela (orang tua dulu), lokasi tersebut tempat kopi pertama yang ditanam Belanda,” ucapnya.

Namun seiring waktu, kata dia, akibat serangan hama dan penyakit, khususnya penyakit karat daun dan nematoda parasit, produksi kopi jenis arabika ini redup. “Harga anjlok pisan. Pohon kopi banyak ditebang, digantikan jeruk dan sayuran yang dianggap lebih menguntungkan. Namun kini, masyarakat kembali tanam kopi.”

Ayat berharap, kasus serupa tidak terulang. Sebab, kopi sudah menjadi tumpuan, biji-bijinya memberikan penghasilan cukup bagi masyarakat dan lingkungan terjaga. Hal lain yang mendasari niatan kami melestarikan kadaplak adalah agar generasi muda paham betapa berharganya tradisi ini yang berpadu padan dengan kelestarian alam.

“Kami bertanggung jawab memperkenalkan tradisi baheula (lama) ke generasi berikutnya. Melalui kadaplak, kami ingin menyampaikan pesan bahwa nilai-nilai luhur budaya jangan sampai hilang,” kata Gunawan.

 

Permainan kadaplak awalnya dibuat sebagai hiburan rakyat yang bertujuan untuk selalu menjaga alam. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hubungan alam

Berjarak 73 kilometer ke arah Selatan, tepatnya di Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, masyarakat di sini juga berupaya merawat tradisi sembari menyesuaikan diri dengan ritme perubahan sosial.

Adalah tradisi nyaeut. Dalam Bahasa Sunda berasal dari kata nyandeutkeun, yang berarti mendekatkan atau merekatkan. Tradisi ini merupakan kebiasaan minum teh hijau khas Garut, teh kejek, yang masih dalam Bahasa Sunda artinya diinjak.

Pada prosesnya, daun teh diolah manual, diinjak-injak. Tujuannya menyempurnaan pengeluaran getah sehingga hasil fermentasinya bagus. Nyaneut biasanya digelar sebelum berangkat ke huma (ladang) dan usai kerja. Ada aspek sosial pada tradisi ini. Nyaeut menjunjung tinggi adat istiadat Sunda, silih asah, silih asih, silih asuh atau saling tenggang rasa.

Pengiat budaya asal Garut, Dasep Badrusalam mengatakan, nyaneut tidak hanya bicara soal kenikmatan teh, tetapi juga sarana silaturahim. “Sebetulnya, nyaneut atau minum teh ini digelar setiap hari. Kalau masyarakat sini biasanya disajikan dengan singkon dan gula aren,” ucapnya.

Mengenai sejarah teh kejek sendiri, belum ada kepastian data. Namun, diperkirakan pembuatannya muncul seiring berjalanya usaha perkebunan teh Waspada di Cigedug dan Cikajang sekitar 1900-an.

 

Semua bergembira saat permainan kadaplak dilakukan. Permainan yang selalu mengingatkan masyarakat setempat untuk hidup selaras dengan alam. Foto: Donny IqbalMongabay Indonesia

 

Perkebunan teh Waspada dirintis oleh Karel Frederik Holle, seorang kebangsaan Belanda yang tertarik mengembangkan potensi perkebunan. Saat menginjakkan kaki di Garut, Holle tertarik pada kebudayaan Sunda, dan mulai membuat literasi untuk membangkitkan kembali Bahasa Sunda sebagai bahasa yang melambangkan kebudayaan.

Holle merekrut warga sekitar untuk diajarkan menulis. Dia juga menunjukkan tata cara bertani yang benar dan mengajarkan proses budidaya dan mengolah teh siap seduh. Holle begitu dekat dengan masyarakat sekitar, sehingga dirinya dikenal dengan julukan Tuan Hola.

Namun, perkembangan komoditas teh tidak bertahan lama. Minimnya harga jual berdampak pada menurunya kemampuan mempertahankan kualitas dan usaha. “Perlahan, tradisi minum teh ditinggalkan, sebagian masyarakat pun mungkin lupa. Padahal, dari nyaneut keselarasan sosial dan alam tercipta,” ujar Dasep.

Akibatnya, usaha teh yang sudah dirintis jadi tak karuan. Banyak petani menelantarkan kebun dan memilih sayuran yang dianggap lebih menguntungkan sebagai pengganti. Kegiatan ini, ternyata berimbas terhadap alih fungsi lahan di Gunung Cikuray. Ternyata, lahan perkebunan teh yang beralih menjadi kebun sayur banyak disoroti. Sebab, dari sisi konservasi, tanaman teh lebih ramah lingkungan karena sanggup menyerap air dibandingkan sayur.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Jawa Barat 2015, luas kebun teh rakyat tempat Holle pernah berkarya di Garut menurun tajam. Di Cikajang, dari 800 hektar pada 1996 kini hanya menyisakan 148 hektar pada 2015. Di Cigedug, luasan lahan 450 hektar juga merosot drastis menjadi 55,4 hektar.

Pelestarian budaya dan kearifan lokal sudah semestinya beriringan. Keduanya merupakan falasafah dari tatanan kehidupan masyarakat. Menjernihkan, sekaligus mengajarkan kita bahwa kini dan nanti kearifan lokal adalah perantara hubungan antara manusia dengan alam.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,