Apa yang Bisa Diharapkan dari Konferensi Perubahan Iklim COP-23?

 

Konferensi tahunan perubahan iklim dari para pihak (Conference of Parties/COP) ke-23 dari Badan Dunia untuk Konvensi Kerangka Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) resmi dimulai pada Senin (06/11/2017) kemarin selama dua minggu di Bonn, Jerman.

Dalam acara pembukaan konferensi perubahan iklim COP 23 pada Senin pagi waktu Bonn, Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, yang merupakan Presiden COP-23 mengatakan saat ini bumi mengalami cuaca ekstrem karena perubahan iklim yang menyebabkan berbagai bencana alam seperti badai yang merusak, kebakaran, banjir, kekeringan, daratan es yang mencair. Hal itu mempengaruhi sektor pertanian yang menekan ketahanan pangan global.

Oleh karena itu, dikutip dari website UNFCCC, Bainimarama mengingatkan kembali kepada semua pihak untuk tidak mundur dari komitmen bersama dari Paris Agreement untuk memenuhi target menjaga agar tidak terjadi kenaikan temperatur 1,5 derajat celcius dibanding jaman pre-industri.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Patricia Espinosa menjelaskan saat ini merupakan era implementasi untuk penanganan perubahan iklim setelah 169 negara dari 197 negara anggota UNFCCC telah meratifikasi perjanjian Paris Agreement.

Oleh karena itu, Espinosa mengharapkan perundingan COP-23 menjadi langkah penting berikutnya yang memastikan bahwa struktur Paris Agreement selesai, dampaknya diperkuat, dan tercapainya tujuan bersama.

“Kita juga perlu maju untuk memenuhi komitmen yang akan jatuh tempo pada tahun 2020. Dalam hal ini, janji pendanaan dan mitigasi sangat penting. Saya telah menggarisbawahi pentingnya tugas kita, urgensi yang dengannya kita perlu menyelesaikannya, dan meningkatnya ambisi yang kita butuhkan dari Anda semua,” katanya seperti dikutip dari website UNFCCC.

 

 

Sedangkan perkembangan terakhir dari COP23 pada Selasa (07/11/2017), seperti dikutip dari Guardian, Suriah telah memutuskan untuk menandatangani Paris Agreement. Keputusan mengejutkan tersebut, yang diambil di tengah perang saudara yang berkecamuk di Suriah, akan menjadikan Amerika Serikat seperti keinginan Presiden Donald Trump, menjadi satu-satunya negara yang menarik diri dari Paris Agreement

Padahal, Amerika Serikat merupakan negara kedua setelah China sebagai negara pengemisi karbon terbesar di dunia.

Sementara 13 badan federal yang diberi mandat oleh Konggres Amerika telah merilis laporan berjudul 4th National Climate Assesment pada 3 November 2017, yang menyimpulkan suhu global berada pada tingkat tertinggi dalam sejarah manusia, dan akan meningkat.

Laporan tersebut bersama dengan laporan dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) dan UN Environment menegaskan tentang kondisi dunia yang makin memburuk karena dampak perubahan iklim, dan menjadi peringatan bagi pemerintahan Amerika dibawah Donald Trump bila bersikukuh untuk keluar dari Paris Agreement.

Dan berbeda dari keinginan Presiden Trump, perwakilan dari 15 negara bagian Amerika, dan lebih dari 300 walikota Amerika dan lebih dari 150 pimpinan bisnis Amerika justru berada di Bonn mengikuti COP23 untuk menunjukkan komitmen berkelanjutan Amerika terhadap Paris Agreement.

(baca : COP23: Trump, U.S. govt. seen as irrelevant to global climate action)

 

Salah satu sesi perundingan COP 23 pada November 2017di Bonn, Jerman. Foto : Justin Catanoso/Mongabay

 

Kesenjangan Target Emisi

Espinosa dalam pidato pembukaan COP23 menyebutkan Laporan Kesenjangan Emisi ke-8 dari UN Environment yang menyatakan bahwa total komitmen pengurangan emisi seluruh negara lewat NDC sesuai Paris Agreement hanya memenuhi sepertiga dari target pengurangan emisi pada 2030.

Dikutip dari websitenya, UN Environment merilis Laporan ke-8 Kesenjangan Emisi (gap emission) pada 31 Oktober 2017 atau seminggu sebelum COP-23, yang menemukan bahwa komitmen total emisi semua negara hanya memenuhi sepertiga dari target penurunan emisi pada 2030. Oleh karena itu butuh kontribusi nyata dari sektor swasta dan pemerintah daerah (sub-nasional) di semua negara untuk menutupi kekurangan target emisi tersebut.

Paris Agreement mensyaratkan pembatasan kenaikan pemanasan global di bawah 2 derajat celcius, dengan tujuan yang lebih ambisius yaitu pembatasan kenaikan temperatur dibawah 1,5 derajat celcius. Memenuhi target ini akan mengurangi dampak perubahan iklim yang memicu bencana alam ekstrim, yang mempengaruhi kesehatan, mata pencaharian dan ekonomi manusia di seluruh dunia.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa total komitmen emisi (NDC) saat ini berdasar Paris Agreement mencapai 11 sampai 13,5 gigaton setara karbon dioksida (GtCO2e) pada 2030, dan jumlah itu di atas tingkat yang diperlukan untuk memenuhi target 2 derajat celcius. Sedangkan satu gigaton kira-kira setara dengan satu tahun emisi transportasi di Uni Eropa (termasuk penerbangan).

Kekurangan target pengurangan emisi bila menginginkan kenaikan suhu dibawah 1,5 derajat celcius adalah sebesar 16 sampai 19 GtCO2e, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya berdasar studi terbaru.

Melihat hal tersebut, UN Environment menegaskan meski total komitmen negara (Nationally Determined Contributions/NDC) diimplementasikan penuh, akan mengakibatkan kenaikan suhu minimal 3 derajat celcius pada tahun 2100. Oleh karena itu dibutuhkan komitmen penurunan emisi dari semua negara yang lebih kuat saat nantinya komitmen direvisi pada tahun 2020.

 

Tabel tingkat emisi gas rumah kaca global dari negara-negara dunia. Sumber : Laporan ke-8 Gap Emission UN Environment 2017

 

Dan bila Amerika Serikat –sebagai negara emiter kedua terbesar di dunia– tetap berkeinginan keluar dari Paris Agreement, prediksi kondisi dunia akan lebih mengerikan.

Namun, laporan tersebut menghasilkan cara-cara praktis untuk mengurangi emisi melalui tindakan mitigasi berdasarkan pilihan yang ada di sektor pertanian, bangunan, energi, kehutanan, industri dan transportasi.

 

Harapan dari COP23

Dengan melihat hasil laporan tentang kondisi bumi dan situasi perundingan, apa yang bisa diharapkan sebagai hasil COP23?

Seperti dikatakan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Patricia Espinosa, ke depan merupakan tahun-tahun implementasi penanganan perubahan iklim, sehingga perundingan COP-23 diharapkan dapat menyepakati tahapan berbagai hal seperti mitigasi dan adaptasi agar Paris Agreement dilaksanakan segera oleh semua pihak.

Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainibility, Ari Mochammad, yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Selasa (07/11/2017) mengatakan COP-23 diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan tentang kerangka kerja, modalitas, prosedur dan pedoman implementasi Paris Agreement.

“Dalam konteks adaptasi misalnya, menyiapkan instrumen enabling environment untuk mendukung aksi adaptasi yang sudah disiapkan. Sebagaimana timbulnya optimisme dari negara berkembang dengan disiapkannya national adaptation plan yang bakal didanai melalui instrumen pendanaan Badan Dunia,” kata Ari.

Dari janji negara maju untuk pendanaan yang telah disepakati pada COP sebelumnya, banyak negara berkembang kemudian menyiapkan rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan nasionalnya. “Bagaimana implementasinya (aksi mitigasi dan adaptasi itu), perlu pendanaan yang kongkrit. Apa dimungkinkan strategi adaptasi dibangun dari mekanisme aturan yang sudah berhasil, seperti mekanisme pasar, “ lanjut Governance Advisor Adaptasi Proyek Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) USAID Indonesia itu.

Selain itu, lanjut Ari, perlu diterjemahkan dukungan dan langkah nyata dari pihak swasta yang notebene punya dana dalam membantu pelaksanaan ketangguhan perubahan iklim, termasuk bantuan teknologi dan transfer teknologinya.

“Sebelumnya ada solusi south-south cooperation (kerjasama regional negara selatan-selatan), misal China. Tapi bagaimana konteks itu dibangun lebih kuat dan lebih resmi dibawah Paris Agreement, “ tambahnya.

Masalah lainnya adalah perlu dibangun sebuah sistem yang menjawab berbagai hal seperti koordinasi, akses informasi, knowledge management untuk menjadi  hasil perundingan COP-23. “Data dan informasi beragam pelaku di level nasional (negara) bisa diakses sehingga memudahkan untuk mengukur capaian aksi mitigasi dan adptasi yang telah dilakukan,” katanya.

 

Asap pekat dari kebakaran hutan dan lahan di Kalteng. Kebakaran lahan dan hutan yang sudah menghanguskan lebih dari 1,5 juta hektar, menjadi pelepas emisi karbon besar dan mendorong percepatan perubahan iklim. Foto: Jenito/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana Indonesia?

Sebelumnya, Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan Indonesia dinilai masih belum ambisius dalam membuat rencana aksi penurunan emisi sebagai komitmen terhadap Paris Agreement. Semestinya aturan maupun kebijakan di negeri ini menyesuaikan dengan dokumen nationally determined contributions (NDC) agar komitmen kontribusi nasional tercapai.

Dia mengatakan, seharusnya NDC bisa menjadi dasar menyusun rencana pembangunan nasional ke depan, baik  rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pusat dan daerah 2019-2024, untuk semua sektor termasuk rencana umum energi nasional (RUEN) 2030.

“Ini yang harus mulai dilihat, NDC tak melihat apa yang kita punya saat ini, tapi dasar perencanaan ke depan,” tambahnya.

(baca : Rencana Aksi Penurunan Emisi Indonesia Dinilai Belum Ambisius)

Sejak dibubarkannya Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada awal 2015 oleh pemerintahan Joko Widodo, pelaksanaan penanganan perubahan iklim di Indonesia terlihat tidak padu dan terarusutamakan dalam pembangunan.

Selama keberadaannya, DNPI bertugas sebagai fokal point nasional yang mengkoordinasikan dan mengarahkan lembaga dan kementerian termasuk pihak swasta serta pihak non pemerintah dalam isu perubahan iklim.

Meskipun kemudian dibentuk Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim sebagai bagian  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ternyata tidak cukup untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan penanganan perubahan iklim di Indonesia.

Secara sederhana, hal itu tercermin sebelum dimulainya perundingan COP-23 ini, pemerintah melalui Delegasi RI kurang mensosialisasikan tentang posisi dan standing point Indonesia termasuk update tentang NDC-nya.

Tidak adanya lembaga negara yang kuat dan tegas posisinya untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan isu perubahan iklim ini dirasakan dampaknya saat ini. Hal ini tentu menjadi tantangan dalam pelaksanaan NDC Indonesia.

“Koordinasi pemerintah pusat dan daerah dan stakeholder menjadi tantangan dalam pelaksanaan NDC secara serius. Di beberapa daerah, ada komplain dengan rencana aksi rumah kaca (RAN GRK). Misalnya, bagaimana kewenangan Pemda untuk melaksanakan RAN GRK dari sektor kehutanan dan energi, agar ditarik kembali. Belum ada arahan dari pemerintah pusat untuk ini. Apa RAN GRK dievaluasi lagi? Belum ngomong tentang sistematika program yang lebih jelas dan yang disepakati bersama menjadi komitmen tiap kementerian,” kata Ari Mochamad.

Ari melihat selama ini koordinasi dijawab dengan komunikasi yang konvensional seperti telepon. “Padahal kordinasi semestinya diwujudkan dengan sebuah sistem dengan esensi korodinasi yang bersifat aktif dan terbuka, yang bisa diakses semua pihak. Baik itu pendanaan, program dan informasi. Sehingga bisa dihindari duplikasi, tumpang tindih program, bukan hanya oleh kementerian, tetapi juga lembaga donor, LSM dan sebagainya sehingga terjadi distribusi (program dan sektor penanganan perubahan iklim) yang merata,” tambahnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,