Fokus Liputan Saumlaki : Dari Pulau Yamdena, Rumput Laut Menyebar ke Seluruh Dunia (Bagian 2)

 

Potensi perikanan dan kelautan di Indonesia Timur sudah lama dikenal sangat berlimpah. Salah satu daerah yang dianugerahi kekayaan tersebut, adalah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) di Provinsi Maluku. Keberadaan daerah tersebut, juga sangat strategis karena berada di garda terdepan kepulauan Nusantara dan berbatasan langsung dengan Australia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Saumlaki di Kabupaten MTB sebagai salah satu daerah yang akan dibangun menjadi  Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT).

Pada pertengahan Oktober 2017, Mongabay Indonesia datang langsung ke MTB untuk melihat kondisi perikanan disana dan perkembangan pembangunan Saumlaki sebagai SKPT. Ini adalah tulisan kedua hasil peliputan tersebut.

Tulisan pertama berjudul “Pesona Saumlaki, Sekaya Laut, Semakmur Darat” bisa dibaca disini.

***

Yohanes Miru dan Fredi Rangkorata terlihat kompak menarik tali temali tambang yang ada di hadapan mereka. Tak ada rasa lelah, ataupun bosan, meski tali yang sedang ditarik panjangnya membentang sekitar 20 meter. Tali tersebut adalah tali pengikat untuk tanaman rumput laut yang dibesarkan di dalam air di pesisir desa tersebut.

Dua pria berbadan tegap tersebut yang ditemui Mongabay di Desa Lermatang, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Provinsi Maluku, pada pertengahan Oktober lalu, mengaku sudah cinta mati dengan pekerjaannya sekarang sebagai petani rumput laut. Mereka bertekad akan terus memelihara profesinya tersebut sampai mereka tak mampu lagi.

Setidaknya, kesimpulan itu diisyaratkan Yohanes, pria berusia 58 tahun yang lahir dan besar di Lermatang. Dia bercerita, awal mula keterlibatan dirinya dalam usaha budidaya rumput laut, dimulai pada lima tahun lalu, saat ada sekelompok orang yang memberikan kampanye tentang budidaya rumput laut.

Kelompok yang dimaksud tersebut, tidak lain adalah para penyuluh perikanan dari Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Kabupaten MTB. Saat itu, kata dia, mereka memberikan pemaparan tentang usaha budidaya rumput laut. Kampanye tersebut, merupakan bagian dari upaya Pemkab MTB dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menyebarluaskan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia.

“Saat itu, saya mendapat penjelasan bersama warga desa. Kita semua diberikan pemahaman lengkap tentang budidaya rumput laut. Saya pun tertarik, dan kemudian memutuskan untuk mencobanya,” ucap Yohanes.

 

Petani rumput laut di Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, NTT. Sebagai komoditas andalan kabupaten, para petani lokal mendapatkan hasil yang bagus dari usaha budidaya rumput laut. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, keputusan untuk mencoba peruntungan menjadi pembudidaya rumput laut, tidak lain karena saat itu penjelasan yang diberikan para penyuluh sangatlah meyakinkan. Dari penjelasan mereka saat itu, dia tahu kalau usaha budidaya rumput laut sangatlah menjanjikan. Jika ditekuni dengan serius, dia tahu usaha tersebut akan mendatangkan rupiah yang tidak sedikit.

Akhirnya, dengan tekad yang kuat dan bulat, Yohanes memutuskan untuk banting setir menjadi petani rumput laut. Dia mengaku berani meninggalkan profesi lamanya sebagai petani di kebun, karena tergiur dengan pendapatan dari rumput laut.

“Kebetulan, saat awal mau memulai (budidaya) rumput laut, kita mendapat bantuan bibit dari Dinas Perikanan di sini. Jadi, kita lebih mudah untuk memulai karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan bibit,” jelas pria yang mengaku usaha rumput lautnya dibantu anak, istri dan menantu.

(baca : Rumput Laut Semakin Dilirik Investor Asing. Ada Apa?)

Awal saat memulai profesi baru, Yohanes mengaku merasakan kesulitan yang cukup dalam. Hal itu dirasakan, karena pada awal memulai, dia masih belum mendapatkan gambaran secara pasti seperti apa. Padahal, dia mengakui kalau secara teori sudah diberikan penjelasan dengan lengkap dari penyuluh.

Kesulitan yang dimaksud, adalah mengukur seberapa bagus rumput laut siap dipanen. Kemudian, seperti apa perawatan rumput laut yang sedang dibudidayakan. Masalah-masalah teknis tersebut, diakui Yohanes, cukup menyulitkan dan membuatnya kewalahan.

“Hanya proses waktu saja yang kemudian bisa memperbaikinya. Setelah itu, saya mulai menemukan cara yang pas dan aman untuk membesarkan rumput laut,” tutur pria yang mengaku hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) saja itu.

 

Proses Pengeringan

Selain proses tersebut, Yohanes menceritakan pengalamannya, kesulitan lain yang dirasakan rutin muncul, adalah mengeringkan rumput laut yang selesai dipanen. Proses yang terbilang sederhana karena tinggal menjemurnya di bawah sinar matahari, namun pada praktiknya tidak sesederhana itu.

Menurut dia, kegiatan mengeringkan rumput laut akan semakin sulit jika musim hujan sedang datang. Biasanya, untuk mengeringkan rumput laut yang siap dijual, dibutuhkan proses pengeringan di bawah sinar matahari hingga berhari-hari.

“Kalau sedang musim kemarau, pengeringannya cepat. Bisa sehari saja jika sedang terik. Tapi, kalau sedang musim hujan, bisa tiga sampai empat hari proses pengeringannya dilakukan,” jelas dia.

Akibat proses pengeringan yang sulit, rumput laut yang siap dijual ke penampung jumlahnya sedikit. Padahal, menurut pengakuan Yohanes, di saat musim hujan, produksi rumput laut selalu mengalami kenaikan.

“Tapi mau bagaimana lagi, itu memang susah untuk disiasati. Kalau hujan, ya seperti itu. Tapi bagaimanapun, kita tetap bersyukur, karena walau hujan menurun hasilnya, tapi secara keseluruhan pendapatan jauh lebih baik dibandingkan saat masih berkebun,” ungkap dia.

 

Istri nelayan pembudidaya di Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), NTT sedang mengeringkan panenan rumput lautnya. Usaha budidaya rumput laut di Kabupaten MTB biasanya didukung penuh oleh keluarga. Hampir semua anggota keluarga terlibat aktif dari proses produksi hingga pengeringan. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Dengan segala kesulitan yang ada, ditambah perlunya ketekunan sangat tinggi, Yohanes menyebut, produksi rumput laut di Lermatang terus menurun dari waktu ke waktu. Padahal, saat memulai usaha dulu, hampir semua warga desa, terutama di kampungnya, bersama-sama memulai usaha budidaya rumput laut.

“Tapi sekarang semakin sedikit warga yang tetap menekuninya. Dibandingkan dengan kawasan lain di MTB yang menghasilkan rumput laut, di sini termasuk sedikit. Itu karena, petaninya malas-malas. Kami sekeluarga fokus, karena sudah merasakan hasilnya,” ucapnya diamini keluarganya yang ada di samping dia.

Fredi Rangkorata, rekan sesama petani rumput laut Yohanes, membenarkan semua yang dibicarakan temannya tersebut. Menurut dia, dalam sebulan, pendapatan dari bertani rumput laut ada dikisaran Rp4 juta. Jumlah tersebut, dihitung dari rerata panen per bulan yang mencapai kisaran 200-300 kilogram dengan harga per kg mencapai Rp12.500.

Semua rumput laut yang sudah dikeringkan tersebut, Fredi menjelaskan, biasanya dijual ke penampung besar di pusat kota Saumlaki. Dari sekian banyak, biasanya petani menjualnya ke Haji Onjong atau biasa dipanggil dengan sebutan Pak Haji oleh para petani.

Menurut Fredi, meski pendapatan dia dan juga petani lainnya ada di kisaran Rp4 juta per bulan, namun dia tak menampik jika pendapatan per bulan bisa saja kurang dari kisaran tersebut. Kondisi seperti itu, biasanya terjadi jika harga rumput laut turun ke kisaran Rp6.000 per kg. Penurunan harga tersebut bisa terjadi, karena produksi melimpah sementara kualitas menurun.

“Untuk penurunan kualitas, salah satunya karena pengeringan yang tidak sempurna,” tutur dia.

Baik Fredi ataupun Yohanes, mengaku sama-sama melakukan panen sebulan sekali dengan rumput laut yang dipanen sekitar 7-8 depa atau sekitar 500 meter panjangnya. Untuk lahan yang menjadi tempat pembesaran, keduanya mengaku melakukannya tak jauh dari bibir pantai atau sekitar 10 meter dari bibir pantai.

Biasanya, setelah panen dilaksanakan, semua petani di Lermatang akan menjualnya ke Saumlaki melalui jalur laut menggunakan perahu ketinting. Waktu tempuh melalui air dipilih, karena selain lebih cepat, juga ongkosnya lebih murah. Jika melalui darat, waktu tempuh minimal butuh sejam atau lebih, maka kalau melalui laut cukup 30 menit saja sudah sampai di Saumlaki.

 

Andalan Maluku

Tentang komoditas rumput laut yang menjadi primadona di tingkat nasional dan Kabupaten MTB menjadi penghasil terbesar ketiga di Provinsi Maluku, Fredi dan Yohanes mengaku tidak mengetahuinya. Bagi mereka, yang terpenting adalah bagaimana membesarkan rumput laut hingga bisa dijual dengan harga yang tinggi.

Di Maluku Tenggara Barat, menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan, produksi rumput laut kering bisa mencapai 10.714 ton dengan nilai Rp96 miliar. Kekayaan laut ini, tutur dia, berbanding terbalik dengan jumlah orang miskin di Maluku Tenggara Barat yang mencapai 28,58 persen.

Menurut dia, komoditas rumput laut yang berasal dari MTB, memang menjadi yang terbesar ketiga di Provinsi Maluku setelah Kota Tual dan Kab Maluku Barat Daya. Dengan potensi seperti itu, dia mendesak dilakukan intervensi rumput laut melalui sinergi dengan Kementerian Desa yang mulai tahun ini melaksanakan program aquaculture estate dengan anggaran Rp16 miliar untuk mengembangkan rumput laut.

(baca : Pengusaha: Pembatasan Ekspor Rumput Laut Bisa Hancurkan Petani)

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebelumnya pernah menyebut kalau komoditas rumput laut merupakan komoditas andalan Indonesia untuk sektor perikanan budidaya. Dengan keunggulan tersebut, dia ingin agar komoditas tersebut bisa diolah menjadi produk bernilai tinggi sebelum dilakukan ekspor.

“Ekspor rumput laut mentah (raw material) ditargetkan sudah tidak dilakukan Indonesia lagi. Sebagai gantinya, ekspor akan difokuskan pada produk rumput laut olahan yang dibuat dalam berbagai bentuk,” jelas dia.

Untuk mencapai target tersebut, KKP meminta kepada para pengusaha dan pelaku industri rumput laut untuk mulai mengurangi ekspor dalam bentuk mentah. Proses bertahap tersebut, diharapkan sudah siap pada 2020 mendatang saat ekspor bukan bentuk mentah lagi.

 

Anak-anak pembudidaya rumput laut di Pulau Yamdena, Maluku Tenggara Barat memilih bermain di dermaga Lermatang saat siang hari. Meski menguntungkan dari rumput laut, karena lokasi, tidak semua anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susi, tujuan dikuranginya ekspor rumput laut mentah, dimaksudkan agar Indonesia bisa berubah menjadi negara manufaktur dalam industri rumput laut. Dengan menjadi negara produsen, itu juga bermanfaat banyak untuk para pelaku usaha dalam industri rumput laut nasional.

“Dengan diolah dulu menjadi produk, maka nilai jual rumput laut juga akan meningkat berkali lipat. Nanti kan pasti kebagian untung juga. Itu positif. Pengusaha dan petani untung, negara juga diuntungkan,” tutur Susi.

“Kalau tidak, harga di kalangan petani tidak bisa lebih baik karena kita ekspornya mentah terus. Kalau tidak kami stop ekspor bahan mentah, kita seumur hidup akan jadi pemasok raw material,” sambung dia.

(baca : KKP: 2020, Tak Ada Lagi Ekspor Mentah Rumput Laut)

Susi menyebutkan, potensi lahan rumput laut yang dimilikli Indonesia saat ini, luasnya mencapai 12,1 juta hektare. Namun, karena berbagai hal, lahan yang sudah dimanfaatkan luasnya baru mencapai 2,68 persen atau 352.825 hektare.

“Dengan fakta tersebut, rumput laut berpotensi besar untuk menghasilkan nilai yang lebih besar. Karenanya, kita mulai atur ekspor dalam bentuk mentah. Semuanya, bertujuan untuk mencapai kesejahteraan untuk pelaku usaha dan juga pembudidaya,” cetus dia.

Susi mengungkapkan, Pemerintah Indonesia juga menilai ada peluang yang besar dalam industri rumput laut sekarang. Karenanya, Pemerintah memfokuskan pengembangan rumput laut yang bagus dan diolah menjadi kosmetika, sabun, obat dan makanan.

Selain itu, Susi menjelaskan, Pemerintah ingin mengembangkan bursa di daerah potensi dengan penyebaran pabrik pengolahan di dekat daerah produsen. Cara tersebut, menurut Susi, dinilai sangat efektif untuk merangsang pertumbuhan sentra rumput laut menjadi lebih bagus lagi.

 

Kultur Jaringan

Untuk menggenjot produksi rumput laut di tingkat nasional, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto mengatakan, Pemerintah menggunakan teknik kultur jaringan dalam proses produksi. Teknik tersebut dikembangkan, karena hasilnya bisa lebih baik dari teknik konvensional yang sudah digunakan para petani rumput laut nasional.

“Teknik kultur jaringan sangat baik dikembangkan, karena menuai hasil produksi yang positif. Kita ingin semua bibit rumput laut yang ada di Indonesia diganti dengan bibit rumput laut hasil teknik kultur jaringan,” ungkap dia.

Menurut Slamet, kebutuhan bibit rumput laut berbasis kultur jaringan mencapai 1,1 juta ton dengan luasan kebun rumput laut sekitar 6.000 hektar. Namun, dari angka tersebut, ketersediaan kebun rumput laut kultur jaringan masih seluas 2.000 hektar. Itu berarti, masih perlu sekitar 4.000 hektare lagi untuk kebun bibit rumput laut kultur jaringan.

“Kekurangan tersebut akan kita kerjasamakan saja kepada pihak lain. Dengan demikian, kebutuhan kebun bibit bisa tercapai,” tutur dia.

(baca : 2017, Budidaya Rumput Laut Gunakan Teknik Kultur Jaringan. Apa itu?)

Kerja sama dengan pihak lain tersebut, menurut Slamet, adalah dengan menggandeng Seameo Biotrop (Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology) untuk penyediaan lahan dan juga bibit rumput laut berbasis kultur jaringan. Dengan demikian, diharapkan permasalahan keterbatasan lahan dan bibit bisa teratasi segera.

Saat ini, Slamet memaparkan, pihaknya sudah membuat laboratorium untuk mengembangkan rumput laut dengan teknik kulttur jaringan. Laboratorium tersebut lokasinya saat ini ada di enam balai penelitian yang tersebar di sejumlah daerah.

“Sudah ada hasilnya dan kita ingin semua daerah memakai bibit kultur jaringan ini untuk kebun rumput laut mereka,” ungkap dia.

Secara keseluruhan, Slamet menjelaskan, di Indonesia saat ini terdapat 185 kawasan kebun bibit rumput laut yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 27 kawasan diantaranya merupakan kawasan pengadaan pusat yang tersebar di pesisir.

Adapun, 27 kawasan tersebut, adalah Kabupaten Simelue, Kabupaten Natuna, Kabuputan Nunukan, Kabupaten Kaur, Kabupaten Jepara, Kabupaten Lembata, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Kupang, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kota Tual, Kabupaten Kepulauan Sulua, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Minahasa Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Talaud.

“Setiap kawasan kebun itu terdiri dari 10 unit kebun, dan setiap kebun itu berukuran 25×50 meter persegi. Meski sudah ada 185 kawasan, namun jumlahnya jelas harus ditambah lagi,” jelas dia.

Direktur Seameo Biotrop Irdika Mansur menjelaskan, rumput laut dengan teknik kultur jaringan memiliki keunggulan dibanding dengan bibit biasa. Keunggulan tersebut, karena bibit teknik kultur jaringan bisa menghasilkan jumlah lebih banyak dari bibit biasa.

“Perhitungannya adalah, bibit kultur jaringan bisa dipanen dua hingga tiga kali dalam setahun. Itu beda dibandingkan dengan bibit biasa,” ungkap dia.

Tak hanya itu, Irdika memaparkan, bibit kultur jaringan juga lebih tahan banting saat cuaca sedang buruk. Biasanya, jika cuaca sedang tidak bagus, bibit konvensional akan terbawa ombak. Sementara, jika menggunakan bibit kultur jaringan, hal itu tidak terjadi.

Untuk diketahui, Indonesia menargetkan produksi rumput laut pada 2017 sebanyak 13,4 juta ton. Dari data KKP, per September 2017, volume produksi rumput laut nasional mengalami kenaikan rerata 22,3 persen per tahun. Sementara, nilai produksi mengalami kenaikan rerata 11,8 peersen per tahun.

Komoditas tersebut diekspor ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Denmark, Jerman, Filipina, dan Vietnam. Pada 2016, volume pengapalan ekspor rumput laut mencapai 188,3 juta ton dengan nilai US$161,8 juta. Volume tersebut menempatkan rumput laut sebagai komoditas primadona ekspor kedua setelah setelah udang.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,