Generasi Muda Enggan Bertani. Ini Solusinya..

 

Indonesia sedang krisis petani. Dalam satu dekade terakhir terdapat indikasi penurunan minat masyarakat, khususnya generasi muda, untuk terjun dalam sektor pertanian. Sensus Pertanian 2003 misalnya, menunjukkan Rumah Tangga Petani yang semula berjumlah 31,23 juta RTP, menurun menjadi 26,13 juta RTP atau turun 16,3 persen pada tahun 2013.

Data BPS juga menunjukkan hanya 12 persen dari total yang ada saat ini yang berusia dibawah 35 tahun. Sisanya merupakan petani tua berusia di atas 45 tahun. Data lain menunjukkan hanya tiga persen anak petani yang melanjutkan kiprah orang tuanya sebagai petani.

Untuk Sulawesi Selatan, jumlah rumah tangga usaha pertanian juga mengalami penurunan yang cukup siginifikan, mencapai 9,36 persen. Jika pada tahun 2003 jumlahnya sebanyak 1.082.251 rumah tangga menurun menjadi 980.946 rumah tangga di tahun 2013.

Kondisi ini yang kemudian mendorong PT Mars Symbioscience Indonesia (MSI) menyelenggarakan seminar dan workshop bertajuk “Jadilah petani Millenial” di Aula Prof Mattulada, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, pada awal November 2017 lalu.

Indah Putri Indriani, Bupati Luwu Utara, dalam paparannya mengajak generasi muda untuk tidak malu menjadi petani, karena menjadi petani kakao itu justru pekerjaan yang keren dan menguntungkan secara finansial. Kelebihan pertanaman kakao karena tidak mempunyai musim tertentu, beda dengan durian dan rambutan, sehingga bisa cepat menghasilkan uang.

“Jika tujuan kita kerja adalah untuk mencari uang, maka jadilah petani kakao. Kakao mudah dipasarkan. Saat ini kakao adalah urutan pertama untuk ekspor dan investasi. Jadi potensinya sangat besar. Ketika negara ini menghadapi krisis, petani kakao justru tidak merasakannya,” katanya.

Tanaman kakao sendiri memang termasuk tanaman yang cepat berbuah, paling lama dua tahun sudah bisa produksi dimana satu pohon bisa menghasilkan minimal 40 kg kakao kering.

Menurut Indah, di Kabupaten Luwu Utara sendiri sudah menghasilkan berbagai ladang untuk pertanaman kakao ini. Hulunya juga sudah siapkan.

“Ini menjadi tantangan, adakah petani milenial di sini yang mau mencoba? Ayo ke Luwu Utara. Di sana misalnya ada Desa Batu Alang yang menjadi kampung kakao. Ada juga warkop kakao dan Desa Tarobok dimana kampung ini menjadi tempat belajar menanam kakao. Learning by doing,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa secara nasional, Sulsel menyumbang 14,44 persen untuk lahan dan 22,42 persen untuk produksi. Sementara Kabupaten Luwu Utara menyumbang 14,47 persen lahan dan 15,56 persen produksi kakao untuk skala Sulawesi Selatan dengan produktifitas sekitar 0,61 ton per hektar.

“Jadi memang sangat potensial sehingga kita kemudian berupaya untuk bisa kerjasama dengan industri, universitas, dan masyarakat untuk meningkatkan produksi.“

 

Kakao adalah salah satu komoditas unggulan Sulsel dengan potensi pengembangan yang cukup besar. Berbeda dengan komoditas pertanian lain, kakao cenderung tidak mengenal musim, dengan produksi mulai umur dua tahun dan satu pohon bisa menghasilkan minimal 40 kg kakao kering. Foto: PT MSI/Khomeini/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, untuk mendorong peningkatan produktivitas kakao di daerahnya, pemerintah antara lain telah memastikan komoditas ini menjadi bagian dari rencana strategis dalam RPJMN. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian, Kabupaten Luwu Utara juga ditetapkan sebagai kawasan pengembangan kakao nasional.

“Jadi harus dipastikan bahwa ini harus berada dalam skema pemerintah dan kami sedang merencanakan untuk program kakao masuk sekolah. Di Luwu Utara kini sudah ada satu SMK yang bergerak di sektor pengolahan kakao dan sudah sejak awal bekerja sama dengan PT. Mars Indonesia,” tambahnya.

Nurhady Sirimorok, peneliti dari INSIST, menjelaskan semakin jauhnya generasi muda dari pertanian di beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi penelitiannya.

“Pekerjaan saya setiap hari dari desa ke desa berdiskusi dengan para petani. Saya baru saja dari sebuah desa di Kabupaten Soppeng, menghitung sejak kapan anak-anak muda di sana meninggalkan daerahnya untuk menanam kakao di daerah lain,” katanya.

Di Kabupaten Soppeng, tambahnya, mereka yang kelahiran 1983 ke bawah cenderung meninggalkan kampung. Sejak akhir 1990-an produktifitas sudah mulai menurun. Selain kurangnya petani, salah satu alasannya adalah siklus produksi alami yang mulai menurun.

Di Kabupaten Luwu Utara sendiri, tambahnya, kebanyakan generasi muda enggan menjadi petani dan lebih memilih menjadi pelaut. Sebabnya, mereka tumbuh ketika produktifitas kakao itu sudah surut, sehingga komoditas ini dianggap tidak menjanjikan.

Menurut Nurhadi, keengganan generasi muda untuk bertani juga dipicu oleh faktor lain, yaitu lingkungan pendidikan di keluarga dan sekolah.

“Kalau kita tanyakan lebih dalam lagi, sebenarnya ada faktor yang sangat mempengaruhi keinginan untuk menghasilkan petani yang unggul. Di rumah, yang ada hanya instruksi dan hukuman kalau bersalah, tidak ada diskusi. Hal yang sama juga terjadi di sekolah. Nah, apa yang terjadi, mereka ini tidak mampu mengeluarkan idenya.”

Menurutnya, selama ini yang berminat jadi petani adalah anak-anak yang tidak berpeluang sekolah lebih tinggi. Itupun menjadi pilihan terakhir, ketika tidak ada lagi pekerjaan lain yang bisa didapatkan.

“Itu karena di sekolah memutus hubungan antara anak dan tanah. Jadi kebanyakan bilang bahwa kalau kita belajar fisika dan biologi tidak diperlihatkan di alam sekitar. Mereka tidak diajarkan untuk prakarsa, sehingga ketika mereka diharapkan menyelesaikan masalah di lingkungan mereka, justru lebih memilih pergi,” tambahnya.

Nurhadi selanjutnya menyarankan agar dibuat wadah-wadah yang bisa membuat anak-anak muda untuk bisa berdiskusi dan berprakarsa secara bebas.

“Di salah satu kabupaten malah, semua orang yang saya tanyakan, lembaga LKMD itu tidak penting. Padahal ini adalah lembaga yang sangat penting untuk meningkatkan prakarsa anak muda.”

 

Pembelajaran pertanian kakao di lahan milik Nahrul, salah seorang petani di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara bisa menghasilkan keuntungan hingga Rp70-an juta hanya dari usaha pembibitan saja. Foto: Jumardi Lanta/Mongabay Indonesia

 

Nahrul, salah seorang Cocoa Doctor dampingan PT MSI, menceritakan pengalaman dan cerita sukses sebagai petani kakao di daerahnya, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Cocoa Doctor atau Dokter Kakao sendiri adalah alumni Akademi Kakao yang tugasnya membantu petani kakao untuk merehabilitasi kebun mereka agar mampu memproduksi kakao 2 ton per hektar.

“Untuk menjadi seorang petani, menikmati sesuap nasi, itu tidak perlu yang mewah. Lebih nikmat rasanya menyantap makanan di alam bebas dengan suara burung-burung sekitar dibanding suara musik,” katanya.

Dalam setahun, ia bisa memperoleh pendapatan hingga hingga Rp72 juta, hanya dari hasil penjualan bibit kakao dan pupuk. Belum termasuk hasil penjualan biji kakao, dalam bentuk basah dan kering. Ia bahkan telah memiliki kendaraan roda empat dari hasil usahanya tersebut.

“Saya bisa membuktikan bahwa bertani itu jika ingin sukses tidak hanya mengandalkan otot saja, tetapi juga otak. Saran saya bagi anak muda, kalau kalian betul-betul ini menjadi petani maka harus ditanamkan jiwa untuk fokus, tidak main-main. Dan jangan segan mengeluarkan modal yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih besar pula,” tambahnya.

Menurut Arie Noval Iskandar, Director Corporate Affairs PT MSI, untuk mendorong kembali gairah generasi muda untuk bertani dilakukan berbagai upaya literasi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Salah satunya melalui kerjasama dengan 2 SMK pertanian di Sulawesi.

“Kita juga bekerja sama dengan pakar dari Australia yang akan membantu memasukkan best practice yang akan kita masukan ke dalam kurikulum dan basic-nya adalah mahasiswa. Inilah yang akan kita coba lakukan, bagaimana meningkatkan kemampuan petani, bukan hanya sekedar petani namun juga menjadi petani pengusaha. Ini masih panjang sebenarnya, namun itulah yang kami inginkan dari Mars,” ujarnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,