Aceh Siap Hadapi Tantangan Perubahan Iklim, Caranya?

 

 

Aceh merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki hutan luas nan alami. Diperkirakan, luasnya, baik itu Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) maupun wilayah Ulu Masen mencapai 3.029.256 hektar.

Pentingnya penyelamatan Aceh disorot langsung dalam Conference of the Parties (COP 23) Fiji, di Bonn, Jerman, 6-17 November 2017 yang dihadiri perwakilian 200 negara. Falevi Kirani, perwakilan Aceh dalam pertemuan tersebut mengatakan, sejumlah pihak seperti UNDCF, Green Climate Fund (GCF), dan delegasi Uni Eropa meminta Aceh melakukan upaya mitigasi dan adaptasi Perubahan iklim di tingkat subnasional.

“Sejak 2007, Aceh telah menetapkan kebijakan strategis sebagai upaya pengendalian perubahan iklim. Terutama yang bersumber dari hutan dan lahan,” sebutnya.

 

Baca: Dua Mega Proyek PLTA Ini Dikhawatirkan Mengancam Kelestarian Leuser

 

Falevi mengatakan, kebijakan tersebut seperti perberlakuan moratorium logging serta perbaikan tata kelola kehutanan dan perizinan. Kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Aceh ini untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan yang menjadi faktor penting dalam perubahan iklim.

“Hutan Aceh menjadi harapan Indonesia guna memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca, seperti yang telah di sampaikan sebagai komitmen nasional di Nationally Determined Contribution (NDC),” jelasnya dalam keterangan tertulis akhir pekan ini.

Delegasi lainnya, Tarmizi mengungkapkan, Gubernur Irwandi Yusuf menaruh perhatian besar terhadap isu lingkungan, termasuk perubahan iklim. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) yang sedang dirampungkan, Pemerintah Aceh menuangkan rencana pengembangan skema insentif wilayah hulu yang memberikan jasa lingkungan bagi hilir.

“Tahapan pembangunan jangka panjang Aceh saat ini menghadapi tekanan kebutuhan pembukaan lahan,” terangnya.

Tarmizi mengatakan, Aceh berkomitmen mendukung target NDC. Dukungan terlihat sebagaimana Aceh menjadi salah satu founding members atau anggota pendiri Governors Climate and Forest Task Force (GCF). “Aceh ditunjuk sebagai salah satu executive committee forum komunikasi tingkat provinsi atau negara bagian untuk agenda perubahan iklim dan kehutanan.”

 

Hutan Soraya di Kota Subulussalam, Aceh ini, bagian dari Ekosistem Leuser yang indah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kautsar Muhammad Yus yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengatakan, parlemen Aceh, telah memiliki Kaukus Pembangunan Berkelanjutan. Yaitu, platform komunikasi antara anggota parlemen Aceh dengan para pemangku kepentingan dan masyarakat umum yang membahas topik khusus yang telah disusun.

“Kita menyambut tantangan ini dan sesunguhnya tanpa diminta, Aceh berencana melakukan konsolidasi intens terkait isu pembangunan berkelanjutan, khususnya perubahan iklim di 2018,” ujarnya.

 

Baca juga: Aceh Siapkan Aturan Soal Perubahan Iklim. Seperti Apa Fokusnya?

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan Indonesia sangat serius mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal tersebut tercermin dari partisipasi aktif Indonesia pada Conference of the Parties (COP 23) Fiji.

Indonesia juga berkomitmen melaksanakan Paris Agreement melalui beberapa strategi kunci. Sebut saja, penyusunan kerangka transparansi nasional, percepatan implementasi perhutanan sosial termasuk skema hutan adat, restorasi gambut seluas dua juta hektar, dan ratifikasi konvensi minamata.

“Pengurangan 70% sampah plastik dan mendukung upaya pengendalian perubahan iklim kepada negara berkembang lainnya adalah hal penting yang akan terus dilakukan,” terangnya.

Pada sesi penutupan Pavilliun Indonesia, Menteri Siti Nurbaya juga menekankan pelaksanaan Paris Agreement harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan dan institusi. “Termasuk parlemen, masyarakat sipil, swasta, dan komunitas internasional,” jelasnya.

 

Kupu-kupu yang hidp damai di Stasiun Riset Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kerja keras

Usaha Pemerintah Aceh untuk mengurangi degradasi hutan di Kawasan Ekosistem Leuser maupun Ulu Masen, tidak lah mudah. Meskipun berbagai kebijakan telah dikeluarkan seperti Moratorium Logging dan Moratorium Tambang, namun luas tutupan hutan Aceh terus menyusut.

Data citra satelit yang dikeluarkan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) menyebutkan, pada 2016, luas tutupan Aceh yang hilang mencapai 21 ribu hektar. Hal yang sama terjadi di 2015.

“Pada 2015, luas tutupan hutan Aceh mencapai 3.050.316 hektar, namun pada 2016, luasnya berkurang menjadi 3.029.256 hektar,” sebut Manager Geographic Information System (GIS) HaKA, Agung Dwinurcahya.

 

Tutupan hutan Aceh yang hilang. Sumber: HaKA

 

Agung mengatakan, khusus untuk KEL, di Aceh yang luasnya mencapai 2.255.577 hektar, dari 2014- 2016, tutupannya hilang mencapai 24.052 atau rata-rata laju deforestasi sekitar 12.026 hektar setiap tahun.

Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan juga meminta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menghentikan atau membatalkan rencana pembangunan embangkit listrik tenaga air (PLTA). Yaitu PLTA Tampur 1 di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Timur, serta Aceh Tamiang, dan rencana pembangunan PLTA Kluet di Kabupaten Aceh Selatan.

Dua mega proyek tersebut dikhawatirkan merusak atau menghancurkan KEL dan mengancam keselamatan masyarakat akibat pembukaan kawasan hutan yang cukup luas.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,