Tambrauw: Ketika Kedaulatan Wilayah Adat Didorong di Kabupaten Konservasi

Matahari yang terik tiba-tiba berubah mendung. Dalam hitungan menit hujan deras mengguyur. Perahu cepat dengan mesin tempel 15 PK melaju dengan kencang, berkejaran melawan ombak. Pengemudinya Yafet Yesnath, seorang warga lokal. Sesekali mesin perahu motor berhenti karena terkena batang kayu. Namun perahu bisa melaju hingga dua jam lebih mencapai kampung Saubeba, Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat.

Saubeba, kampung kecil ini merupakan satu dari beberapa kampung di pesisir pantai Distrik Abun. Wilayah ini sekaligus merupakan habitat tempat bertelurnya penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Kebanyakan warganya berasal dari suku Abun.

Meski hujan mengguyur deras, setibanya di kampung, Yafet pun segera mengumpulkan warga dan tokoh-tokoh masyarakat. Ia ditemani Kundrat Yeudi, anggota Marwas Nath, kelompok pemuda adat di Tambrauw.

Saat berkumpul, warga menyampaikan uneg-uneg mereka. Mulai dari persoalan batas hak ulayat antar marga, kehadiran perusahaan kayu, hingga penetapan kabupaten konservasi yang membuat mereka bingung.

“Banyak masyarakat di sini yang belum paham apa itu artinya konservasi. Namanya asing [bagi kami]. Tapi kalau konservasi itu artinya jaga dan lindungi hutan, sejak nenek moyang kami juga sudah lakukan itu konservasi.” Bernadus Yewen seorang warga berkata. Penegasannya diamini warga lain yang hadir. Menurut Bernardus, sejak pertama adanya pemekaran kabupaten, sejak itu pula istilah kabupaten konservasi mulai mereka dengar.

Istilah Kabupaten Konservasi sendiri mulai didengungkan oleh Gabriel Assem, saat terpilih menjadi Bupati Tambrauw pada tahun 2011. Sebagai satu kabupaten hasil pemekaran di daerah “Kepala Burung” Papua, Tambrauw yang luasnya sekitar 1,1 juta hektar, 80 persennya adalah hutan dengan fungsi lindung dan konservasi. 

Masyarakat, jelas Bernardus, sangat mendukung program kabupaten konservasi, karena mereka masih hidup tergantung kepada alam. Namun dia pun menyoroti fakta di lapangan yang jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi. Misalnya, pemerintah membangun jalan, ternyata dibelakangnya ada alat berat perusahaan yang ikut menerobos hutan yang dilindungi.

Bernardus menegaskan agar hak-hak masyarakat tidak dirugikan dengan jargon konservasi. “Karena, hutan itu bagian tanah adat dari marga yang ada di sini,” ungkapnya.

Dia menyebut, sebagai contoh kehadiran perusahaan kayu PT Multi Wahana Wijaya (PT MWW) yang ada di Kabupaten Tambrauw sejak tahun 2004. Perusahaan itu beroperasi di wilayah kampung Saubeba. Meski telah mengantongi izin dari pemerintah pusat dan daerah, sebutnya perlu ada kesepakatan dengan marga pemilik hak ulayat.

“Perusahaan ini mengambil kayu merbau dan dibawa keluar daerah, bahkan ke luar negeri.”

Saat mendengar ini, Wakil Bupati Kabupaten Tambrauw, Mesak Yekwam, -yang ikut dalam rombongan, berjanji untuk mengumpulkan informasi yang jelas dan lengkap. Dia menduga, perusahaan memiliki izin perusahaan namun di lapangan diam-diam bermain menambah-nambahi wilayah operasinya.

Dia menjelaskan, bisa saja pemda menutup perusahaan jika terbukti melanggar dan tidak menampik operasi perusahaan ditutup sebagai opsi pilihan, jika perusahaan itu tidak memberi dampak positif kepada masyarakat dan pemkab. “Kita kembalikan ke pemilik hak ulayat. Kalau misalkan pemerintah tutup perusahaan, apa yang pemerintah bisa beri ke masyarakat?” ungkapnya balik bertanya.

 

Perlu Pemetaan

Permasalahan bagi warga di kampung Saubeba adalah posisi tawar mereka yang lemah jika berhadapan dengan pihak luar yang masuk wilayah ulayat mereka. Tidak adanya batas wilayah membuat pengakuan keberadaan hak tanah adat menjadi lemah.

“Selama ini kami hanya bisa bilang kalau ini batas wilayah marga A, itu batas wilayah marga B. Tapi tidak ada bukti tertulis,” ungkap Bernardus.

Menurutnya, pemetaaan hak adat menjadi hal amat penting untuk warga di kampung. Selain untuk mengetahui batas wilayah, peta pun dapat mengidentifikasi lokasi-lokasi penting milik komunitas. Semisal, lokasi sagu dan habitat penting satwa. “Dalam pemetaan itu pun memasukkan struktur adat, batas marga, silsilah, dan sebagainya,” jelas Kundrat Yeudi, salah satu tokoh pemuda menambahkan.

Selama ini diantara marga, jika timbul masalah batas wilayah akan diselesaikan lewat musyawarah adat. Dalam pertemuan ini biasanya diatur sejumlah larangan dan sanksi-sanksi adat. “Beruntungnya kami di Subeba, hingga saat ini belum ada klaim antar marga. Berbeda dengan kampung lain yang saling klaim bahwa mereka yang punya hak ulayat,” ungkap Bernadus lagi.

Yowel Yesnath, Kepala Kampung Saubeba pun mengaku pentingnya pemetaan wilayah. “Kami berharap ada lembaga yang bisa bantu kami. Kami siap bekerjasama antar suku dan antar marga, agar wilayah kami bisa terlindungi,” ujarnya.

 

Tokoh masyarakat kampung Saubeba ketika berdiskusi tentang rencana pemetaan wilayah adat. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Permufakatan Adat

Inisiatif mendorong munculnya peta adat telah dilakukan secara simultan. Pada Oktober 2016 lalu, kelompok pemuda adat Marwas Nath bekerjasama dengan Aka Wuon, -sebuah LSM, memfasilitasi sidang adat yang menghadirkan 180 orang dari delapan perwakilan marga adat suku Abun dan Mpur.

Secara adat terdapat 5 suku asli yang memiliki hak atas tanah di Tambrauw, yaitu: Abun, Miyah, Mpur, Ireres dan Moi. Didalam semua suku tersebut, kekuatan otonom adat di dalam marga. Selain suku-suku asli Tambrauw, di pesisir pantai terdapat suku Byak yang kehadirannya telah ada di sana sejak ratusan tahun lalu. Adapun, berdasarkan riset yang dilakukan Aka Wuon, terdapat sekitar 156 marga yang menjadi bagian dari Suku Abun, Mpur, Ireres dan Miyah.

Sidang Adat itu lalu melahirkan beberapa rekomendasi dan rencana tindak lanjut. Termasuk resolusi agar marga-marga yang masih berkonflik lahan, -lewat mediasi kepala suku atau ketua adat, dapat menyepakati batas-batas hak wilayah adatnya.

Mesak Yekwan mendukung hasil pertemuan ini. Baginya, hal ini sesuai dengan visi pemkab yang ingin mendorong proses pemetaan dan kesepakatan adat untuk mewujudkan arah pembangunan Kabupaten Tambrauw yang berorientasi sosial dan bermanfaat bagi masyarakat lokal. Dia menyebut Pemkab Tambrauw siap mendengarkan suara dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang sudah dibentuk.

Meski demikian Mesak menyebut masih adanya kendala yang dihadapi hingga saat ini. “Kelemahannya pada pola komunikasi di tataran struktur adat. Sehingga beberapa persoalan sengketa tanah adat diantara marga belum terselesaikan. Kedepannya hal-hal seperti ini perlu kita benahi bersama.” Jika tidak diselesaikan, maka menurutnya hal ini akan kontraproduktif dengan rencana pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. 

Di sisi lain Mesak mengatakan saat ini pemkab bersama-sama DPRD Tambrauw sedang menyiapkan raperda tentang Kabupaten Konservasi dan raperda Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Tambrauw. Untuk itu pemkab pun, -lewat pengadaan anggaran untuk distrik, amat getol mendorong diskusi, pendataan dan penataan hak-hak yang berhubungan dengan ruang kelola masyarakat adat. Dia berharap di tahun depan hal ini dapat diwujudkan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,