Ketika Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Mentawai Ketok Palu

 

 

Rapat paripurna DPRD Kepulauan Mentawai akhirnya mengesahkan Peraturan daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (PPUMHA), Jumat (10/11/17).

Sidang paripurna dipimpin Ketua DPRD Mentawai, Yosep Sarogdok didampingi Wakil Ketua DPRD Mentawai, Jakop Saguruk dan Nikanor Saguruk mengetok palu pengesahan. Seluruh anggota DPRD Mentawai menyatakan setuju Ranperda PPUMHA disahkan jadi perda.

Baca juga:  Eksploitasi Hutan Picu Beragam Masalah, Koalisi Tolak Perusahaan HTI Masuk Mentawai

Lima fraksi yang hadir menyampaikan pandangan mereka masing-masing, terdiri dari fraksi PDIP, Nasdem, Golkar, Hanura Demokrat (Hadem) dan Gerakan Bintang Nasional (GBN).

“Apakah Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat kita sepakati jadi perda?” tanya pimpinan sidang.

“Setuju,” jawab anggota sidang.

Sidang paripurna hari itu mengesahkan dua perda, yaitu Perda PPUMHA dan Perda Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Baca juga: Kala Wilayah Kelola Warga Mentawai Makin Menyempit

Pengesahan Perda PPUMHA jadi agenda tutup tahun yang manis bagi masyarakat Mentawai yang menanti sejak 2015.

Menanggapi pengesahan itu, Rapot Pardamuan, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai, menyambut baik dan mengapresiasi DPRD dan Pemerintah Mentawai.

Setelah ini, selanjutnya, kata Rapot, mengawal perda teimplementasi, seperti mendorong penetapan uma-uma di Mentawai sebagai masyarakat adat (subyek hukum) dan hak-hak mereka (obyek).

Masyarakat adat, katanya, ada beberapa unsur pembentuk, ada uma (kesatuan masyarakat adat), aturan adat, wilayah adat, harta kekayaan uma, dan lembaga adat yang akan pelaksanaan aturan serta hal lain dalam kehidupan sosial dan hubungan dengan masyarakat adat lain.

Wilayah adat berupa tanah dan sumber alam uma secara turun-temurun, katanya, perlu ada data spasial dan data sosial hingga memudahkan panitia masyarakat adat —yang akan dibentuk bupati– melakukan identifikasi dan verifikasi masyarakat dan hak mereka.

 

 

Saat ini, AMAN Mentawai menyiapkan 14 peta wilayah adat dan data sosial. Lima sudah siap verifikasi Pemda Mentawai untuk penetapan SK Bupati, lalu diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk penetapan hutan hak.

“Sembilan peta lain segera kita selesaikan data sosial dan spasialnya,” ucap Rapot.

Penetapan perda, katanya, tentu berimplikasi pada pengalokasian anggaran daerah. Anggaran ini untuk pelaksanaan perda di lapangan. “Anggaran yang kita ajukan seperti penetapan uma sebagai masyarakat hukum adat dengan SK Bupati dan wilayah adat, kajian etnografi, pemetaan, wilayah adat, peningkatan kapasitas masyarakat adat di lingkungan hidup dan kehutanan,” katanya.

Kerja-kerja lain, katanya, seperti peningkatan ekonomi kreatif di wilayah adat, mengusulkan pembangunan uma (fisik), museum agar nilai-nilai adat Mentawai terserap generasi muda dan program-program lain.

“Kita mengusulkan berdasarkan visi misi bupati yang tertuang dalam RPJMD Mentawai 2017-2022. Juga keselarasan dengan RPJMN Sumbar.”

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), juga mengapresiasi pengesahan perda ini. Mentawai, katanya, telah meletakkan dasar kuat bagi perwujudan hak-hak masyarakat adat.

“Tantangan ke depan, bagaimana substansi perda berjalan terutama oleh pemerintah daerah, agar pengakuan ini bisa memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah lakukan pemberdayaan baik dengan program maupun anggaran. Kebijakan pemerintah pusat dan provinsi harus sejalan dengan perda.”

Masyarakat Mentawai, katanya, harus memanfaatkan perda untuk mempertahankan dan memperoleh hak-hak adat mereka dalam penguasaan sepihak pemerintah maupun korporasi.

 

Masyarakat adat Mentawai, gigih menjaga hutan dan alam mereka…Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat adat, harus pro-aktif mulai menuliskan sejarah, mendokumentasikan aturan adat dan merevitalisasi fungsi kelembagaan adat.

Buat dunia usaha, katanya, harus betul-betul menghormati hak-hak adat masyarakat Mentawai dalam setiap rencana usaha mereka. Persetujuan tanpa paksaan berdasarkan informasi cukup di awal kepada masyarakat harus dilakukan korporasi maupun pemerintah dalam setiap rencana usaha di lahan adat.

“Organisasi masyarakat sipil harus ambil peran membantu komunitas adat memetakan dan mengajukan penetapan wilayah serta mengelola secara adil dan berkelanjutan.”

Saibi Samukop Surkino Sanenek, tokoh adat Mentawai mengatakan, pengesahan perda ini sudah lama ditunggu agar masyarakat adat Mentawai benar-benar terlindungi.

Dengan perda, katanya, dapat membentengi masyarakat adat secara hukum. Selama ini, orang luar datang ke Mentawai dan pergi begitu saja. “Padahal kita punya adat kuat. Kita sangat yakin ketika perda ini sudah sah, masa depan Mentawai lebih baik. Secara ekonomi bisa maju,” katanya.

Dari Sikabaluan, Siberut Utara, Sikebbukat Uma Sikaraja, Tunduken Sikaraj juga menyambut baik penetapan perda ini. Aturan ini baginya dapat menguatkan posisi tawar dalam mengatur, menjaga dan mengelola tanah leluhur mereka.

Polak punu teteu buik tak suku masi jago ibailui kabaraijat purimanuaijat kabagat suku),” katanya. (“Tanah leluhur mesti dikuasai sepenuhnya oleh suku dan dikelola dengan baik oleh suku demi keberlangsungan hidup anggota suku. Bukan ditentukan siapa-siapa termasuk negara).

Bagi orang Mentawai, kata Saibi, tanah merupakan jati diri suku hingga tak sembarang diberikan kepada orang lain. “Apalagi itu polak punuteteu.”

Dengan perda, kuasa masyarakat mengelola tanah makin kuat. “Tidak ada lagi mereka bilang itu tanah negara, ini tanah pemerintah. Suku yang mengelola,” katanya, seraya bilang dalam suku, biasa ada musyawarah bila mau membahas soal tanah.

 

Para perempuan adat Mentawai. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,