Sudahkah Indonesia Manfaatkan Potensi Perairan Lepas untuk Tuna?

 

Potensi tangkapan tuna Indonesia di laut lepas hingga saat ini masih kurang dimanfaatkan dengan baik. Penyebabnya, karena Indonesia tidak mengoperasikan kapal longline di Samudera Pasifik, salah satu wilayah perairan lepas yang menyimpan potensi tuna sangat besar. Oleh Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), Indonesia diberikan kuota tangkapan 5.889 ton pada 2017.

Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria di Jakarta pekan lalu, menjelaskan, kuota yang ada di WCPFC tersebut adalah tuna mata besar (big eye) yang bernilai jual tinggi. Untuk bisa memanfaatkan kuota tangkapan 5.889 ton di sana, dibutuhkan kapal penangkap bertonase total hingga 15.704 gros ton (GT).

“Kita harus bisa mendorong penambahan armada penangkapan tuna di laut lepas. Hal itu agar kuota tangkapan tuna yang sudah diberikan, bisa dimanfaatkan. Jika itu tidak ditangkap, maka kuota di tahun berikutnya bisa turun. Itu merugikan Indonesia,” ungkap dia.

baca : Natuna yang Tetap Jadi Incaran Kapal Ikan Asing Ilegal

Arif mengatakan, selain Samudera Pasifik, kuota tangkapan tuna untuk Indonesia juga masih ada di Samudera Hindia. Namun, seperti halnya di Pasifik, armada penangkapan di Hindia juga hingga saat ini tidak ada.

Untuk kuota di Samudera Hindia yang dikelola Committee of The Commission fo The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Indonesia mendapatkan kuota penangkapan tuna sirip biru (bluefin tuna) sebanyak 750 ton. Tetapi, kata Arif, dalam dua tahun terakhir, penangkapan tuna yang dilakukan armada Indonesia masih di bawah limit yang sudah ditetapkan.

Pada 2016, Arif menyebutkan, dari kuota 750 ton tuna sirip biru yang boleh ditangkap di Samudera Hindia, armada penangkapan Indonesia hanya sanggup menangkap sebanyak 600,6 ton. Kondisi tersebut kemudian berlanjut hingga sekarang, dimana sepanjang periode Januari hingga September 2017, tuna sirip biru yang berhasil ditangkap jumlahnya hanya 288 ton saja.

Menurut Arif, fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih kewalahan dalam menangkap tuna di laut lepas. Satu-satunya cara agar kuota tuna yang diberikan bisa dimanfaatkan dengan baik, adalah dengan menambah jumlah armada penangkapan tuna di perairan lepas

”Tuna itu bisa diekspor. Jadi bisa untuk menambah devisa Indonesia. Jika kita ingin mendapatkan hasil tangkapan tuna sesuai dengan kuota yang diberikan, maka Indonesia harus menambah armadanya di laut lepas. Perlu setidaknya 150 kapal bertonase 100 GT untuk Samudera Pasifik saja,” jelas dia.

 

Nelayan menurunkan hasil pancingan berupa ikan cakalang di pelabuhan ikan Cerekang. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Kejelasan Regulasi

Terus menyusutnya hasil tangkapan tuna di laut lepas, diakui sendiri oleh pengusaha. Menurut mereka, salah satu faktor yang menyebabkannya, adalah karena kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia dinilai menyulitkan para pengusaha. Di antara kebijakan yang dimaksud, adalah pembatasan ukuran kapal penangkap ikan serta tarif pungutan hasil perikanan (PHP) yang dinilai sangat tinggi.

Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) James Then menjelaskan, aturan pembatasan kapal yang diterapkan Pemerintah melalui Surat Edaran Nomor D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)/Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sangat menyulitkan pengusaha.

Melalui surat edaran yang diterbitkan pada 31 Desember 2015 tersebut, James menyebut, diberlakukan pembatasan ukuran kapal penangkap ikan menjadi maksimum berukuran 150 GT saja. Pembatasan tersebut, bagi dia juga membatasi gerak para pengusaha yang ingin menangkap ikan ke laut lepas.

“Ini sungguh aneh. Saat ada kuota yang harus dimanfaatkan dengan baik, justru diterbitkan aturan yang bisa membatasi hasil tangkapannya. Jadi, tidak bisa maksimal pada akhirnya,” ucap dia.

Selain soal pembatasan armada, pengusaha juga menyoroti Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 yang mengatur tentang kenaikan tarif PHP di kisaran 5 hingga 10 kali lipat. Menurut Ketua Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) Tanti Djuari, jika tidak ingin persoalan semakin membesar, Pemerintah Indonesia sebaiknya segera meninjau kembali PP Nomor 75.

Menurut Yanti, agar kegiatan perikanan, terutama di laut lepas bisa kembali naik seperti beberapa tahun lalu, Pemerintah harus mengambil tindakan nyata dengan meninjau kembali peraturan tentang tarif PHP. Jangan sampai, permasalahan tarif PHP yang dinilai terlalu tinggi oleh pengusaha, dibiarkan saja oleh Pemerintah.

Hal senada juga diungkapkan Sektretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Hendra Sugandhi yang juga menyoroti tentang kenaikan tarif PHP. Menurut dia, pemberlakuan kenaikan tarif menyebabkan penghitungan persentase PHP terhadap izin penangkapan ikan untuk kapal penangkap ikan atau kapal pendukung operasi penangkapan ikan skala kecil menjadi berubah.

baca : Perikanan Tuna Bertanggung jawab dan Berkelanjutan Diterapkan di Indonesia, Bagaimana Itu?

Sebelum ada PP Nomor 75, Hendra menjelaskan, persentase dihitung 1 persen sesuai dengan PP Nomor 19 Tahun 2006, namun kemudian setelah ada pembaruan, persentase dihitung menjadi minimal 5 persen. Sementara, untuk kapal skala besar, akibat pembaruan, persentase juga berubah lebih besar dari 2,5 persen menjadi 25 persen.

“Persoalan tersebut pelik. Mengingat, jika kapal di atas 150 GT boleh beroperasi, nilai tarif PHP juga tetap mahal dan itu kenyataannya harus dibayar langsung di muka. Tentu saja, itu memberatkan pengusaha yang akan mengoperasikan kapal,” tutur dia.

Hendra mencontohkan, kalau pengusaha mengoperasikan kapal longline berukuran 400 GT, maka PHP yang harus dibayar sebelum menangkap ikan, besarnya mencapai Rp1,16 miliar. Angka tersebut, bagi pengusaha dinilai sangat memberatkan karena terlalalu mahal.

 

Memancing cakalang, bagi mereka ada tata cara dan sopan santun. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Pembaruan Regulasi

Sebelumnya, desakan untuk memperbarui regulasi pemanfaatan tuna secara internasional disuarakan organisasi non pemerintah Greenpeace. Menurut mereka, populasi tuna saat ini mulai terancam karena eksploitasi yang dilakukan dunia internasional. Untuk itu, harus ada pembaruan regulasi agar populasi bisa kembali pulih.

Menurut Greenpeace, perlunya disepakati aturan baru, karena saat ini aturan tuna tropis (Tropical Tuna Measure/TTM) yang sedang berlaku akan segera berakhir. Untuk aturan baru tersebut, sidang akan melaksanakan negosiasi kembali.

baca : Ada Desakan Pembaruan Regulasi untuk Perikanan Tuna Internasional, Seperti Apa?

Greenpeace menyebut, di antara poin yang diusulkan harus ada dalam peraturan, adalah kapal-kapal jaring (purseiner) harus menyepakati pengurangan besar-besaran jumlah rumpon (Fish Aggregating Devices/FADs). Kemudian, harus ada aturan ketat untuk pelaporan dan transparansi penggunaan rumpon.

“Pengawasan dan kontrol yang lebih ketat terhadap kapal longliner; penerapan target stok, titik batas eksploitasi dan pengelolaan strategis harus juga menjadi perhatian,” ujar Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution.

Dia mengatakan, walau sudah terlihat ada komitmen ke arah yang tepat, WCFC harus bisa tetap bertanggung jawab memastikan bahwa perubahan positif bisa terjadi dengan menyepakati aturan-aturan yang lebih kuat. Dengan demikian, pelaku industri yang sudah berinisiatif sendiri dalam mengatasi penangkapan berlebih, penangkapan illegal, dan perbudakan di laut, akan terus berjalan di koridor yang benar.

Untuk bisa membawa perubahan positif, Arifsyah menilai, dunia harus bisa menyepakati aturan-aturan penting dalam pengumpulan data, manajemen kapasitas penangkapan ikan termasuk rumpon, stok ikan, metode MCS (Monitoring, Control and Surveillance) termasuk transshipment (alih muat di tengah laut), serta pengendalian panen (eksploitasi).

Arifsyah menambahkan, berkaitan dengan perikanan tuna bertanggung jawab, Greenpeace telah beberapa kali mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia di bidang yang dikelola oleh WCPFC ini. Menurut dia, meski tidak secara spesifik berbicara tentang hak asasi manusia, pelarangan transshipment dan pengawasan yang kuat akan bermanfaat dalam mengatasi masalah ini.

Untuk diketahui, sebanyak 4.509 kapal teregistrasi dalam WCPFC . Dari jumlah tersebut, 64 persen adalah longliner, 12 persen adalah kapal jaring dan hanya 2,22 persen adalah kapal huhate (pole and line). Sementara, enam negara terbesar di dunia mencakup 85 persen kapal adalah Taiwan, Jepang, Tiongkok, Filipina, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.

“Dalam pertemuan di Manila ini semua pihak harus membuktikan kesungguhan dalam menyelamatkan stok ikan tuna dan jangan lagi terjadi aliansi industri – pemerintah yang berusaha untuk menggagalkan aturan perlindungan tuna yang kuat,” pungkas Arifsyah.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,