Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

 

Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB, saat Hendra Masrijal mengajak kami menjemput Bayu. Setiap hari, di waktu yang sama, Hendra dengan setia membawa Bayu pulang setelah seharian di hutan.

“Jangan terlambat, kasihan kalau dia menunggu. Hanya 500 meter dari sini,” tutur Hendra.

Bayu adalah gajah sumatera usia 27 tahun yang hidup di Conservation Response Unit (CRU) Trumon, Desa Naca, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Hendra adalah mahout yang merawat Bayu sejak 2008. Keduanya adalah senyawa yang tidak terpisahkan.

Setiap jam 9 pagi, Hendra memandikan gajah seberat 3 ton ini, di Sungai Naca. Sembari dibersihkan, seluruh bagian tubuhnya dielus. Di waktu bersamaan, Hendra tak jarang memberi latihan ringan kepada mamalia setinggi 3 meter ini, untuk sekadar mengangkat kaki atau membuka mulut.

Bila urusan mandi selesai, Bayu akan dibawa ke hutan terdekat, dibiarkan mencari makan mandiri. Kegiatan ini rutin dilakukan, pagi dan sore. “Sebelumnya, Bayu berada di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Saree, Aveh Besar, sejak 2008-2012. Ia gajah liar asal Meulaboh, Aceh Barat, yang butuh waktu enam bulan bagi mahout untuk menjinakkannya,” tutur Hendra lagi.

 

Baca: Intan Setia, Masa Depan Gajah Sumatera di CRU Trumon

 

Keseluruhan, lima individu gajah jinak menghuni CRU Trumon. Ada Metuah (31 tahun), Siska (29 tahun), Bayu (27 tahun), Nanik (25 tahun), dan Intan Setia (9 bulan). Intan adalah anak dari pasangan Siska dan Metuah, yang lahir pada Hari Bakti Rimbawan yang diperingati setiap 6 Maret.

 

 

Hendra Masrijal yang setia menjaga Bayu, sejak 2008 hingga sekarang. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Fransisko Sirait, Koordinator Mahout CRU Trumon mengatakan, tugas utama CRU ini adalah mengurangi perseteruan yang terjadi antara gajah dengan manusia di Kota Subulussalam dan Aceh Selatan. Di awal berdirinya, CRU Trumon hanya berkekuatan empat mahout yaitu Hendra Masrijal, Rohmaliadi, Syarkawi, dan dirinya sendiri. Selanjutnya, direkrut dua asisten mahout: Azwir dan Sarmudi, yang keduanya masyarakat desa terdekat CRU, yaitu Ieu Jernih dan Naca.

“Lahirnya Intan Setia adalah prestasi membanggakan bagi kami, karena dia keturunan dari indukan gajah jinak,” terangnya semangat.

Koko, biasa disapa, mengatakan CRU Trumon yang luasnya 2.750 hektar ini, merupakan koridor gajah yang menghubungkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil-Trumon dengan Taman Nasional Gunung Leuser.

Menurut dia, awal 2013, konflik gajah di Aceh Selatan sering terjadi. Terutama gajah liar yang masuk kebun masyarakat untuk makan padi, pisang, dan lainnya. Ini dikarenakan, ruang gerak gajah untuk mencari makan makin sempit, berubah menjadi kebun dan permukiman. Sehingga, untuk bertahan hidup, gajah tak jarang masuk perkampungan.

“Anggapan masyarakat bahwa gajah adalah hama maupun satwa perusak harus kita ubah. Harus kita jelaskan mengapa konflik terjadi, karena manusia juga yang merusak habitatnya. Ini memang tantangan berat.”

Koko memang sudah kenyang mengatasi konflik. Menurutnya, ada dua cara yang dilakukan untuk mengatasi kehadiran rombongan gajah liar. Pertama, secara manual yaitu menggunakan sirine, mercon, meriam karbit, dan teriakan masyarakat.

Kedua, mendatangkan gajah yang ada di CRU Trumon. Dua atau tiga individu diangkut menggunakan truk untuk diturunkan di lokasi pertikaian terdekat. Pengusiran cara ini adalah, gajah liar dibiarkan di depan, sementara gajah jinak di belakang. Bunyi-bunyian tetap dihidupkan agar penggiringan menuju hutan terdekat, dapat dilakukan.

“Maksimal penggiringan 10 hari kerja. Jika gajah kembali ke kebun warga, tambahan waktu 10 hari diberlakukan. Namun begitu, siapa yang mau mengerjakannya? Masyarakat harus dilatih juga menghadapi situasi pelik ini, agar tidak terjadi korban nyawa di kedua belah pihak,” paparnya.

Istafan N Almair, Field Manager Tapaktuan Wilayah 3 Forum Konservasi Leuser (FKL) mengatakan, sejak Februari hingga Mei 2017, FKL telah membuat pelatihan untuk mahout dan masyarakat sekitar yang terdampak konflik. Pelatihan dua kali sebulan itu berfokus pada pencegahan dan penanganan konflik, serta segala hal tentang gajah liar.

“Dengan begitu, setiap ada konflik, bisa segera ditangani. FKL akan terus berkontribusi untuk tim mitigasi konflik ini hingga Juli 2018,” jelasnya.

Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh, mengatakan CRU merupakan salah satu solusi penanggulangan konflik antara manusia dengan gajah yang terjadi di Aceh. Peran ini diharapkan menjadi embrio dari unit pengelolaan kawasan perlindungan gajah yang ada. “Mitigasi konflik gajah di masyarakat, diharapkan dapat ditangani dengan baik dan sesuai prosedur,” ujarnya saat pertemuan seluruh CRU di Banda Aceh, beberapa waktu lalu.

Di Aceh, saat ini sudah berdiri tujuh unit CRU. Ada CRU Sampoiniet (Aceh Jaya), CRU Alue Kuyun (Aceh Barat), CRU Trumon (Aceh Selatan), CRU Manee (Pidie), CRU DAS Peusangan (Bener Meriah), CRU Cot Girek (Aceh Utara), dan CRU Serba Jadi (Aceh Timur).

 

 

Di Sungai Naca ini, setiap pagi dan petang, semua gajah yang ada di CRU Trumon dimandikan. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tiada lagi penghormatan

Hamid Ismail, masyarakat di Keudee Geurubak, Kabupaten Aceh Timur mengatakan, dahulu masyarakat Aceh sangat menghormati gajah. Bahkan, beberapa cerita balas budi gajah yang ditolong manusia sering diceritakan kepada anak-anak.

“Di tempat saya ini dulunya ada cerita masyarakat, tentang gajah yang berterima kasih karena anaknya yang terjebak di lumpur diselamatkan warga. Setelah kejadian, gajah tersebut sering mengunjungi rumah orang yang menolongnya itu,” ujar lelaki 75 tahun ini.

Orangtua Hamid pun sering berpesan, kalau ada rombongan gajah liar melintas, biarkan berlalu dahulu. Dan sejak dulu, tidak ada masyarakat yang marah pada gajah, konflik juga tidak pernah terjadi. Masyarakat tidak mempermasalahkan jika tanamannya dimakan.

“Kami tidak pernah berani mengganggunya, apalagi berniat membunuh. Kami percaya, gajah memiliki insting kuat yang bisa menuntut balas atas perbuatan jahat manusia.”

Namun, ungkap Hamid, penghormatan untuk gajah sudah tidak terjadi lagi saat ini. Rombongan gajah liar yang masuk kebun dianggap hama yang pantas dibunuh karena menimbulkan kerugian. Belum lagi ada yang memburu untuk diambil gadingnya.

“Karena manusia mengganggu gajah maka gajah pun akan melakukan hal yang sama. Hilang sudah cinta kita pada gajah,” sebut Hamid yang saat kecil sering melihat rombongan gajah liar melewati perkampungannya.

 

Baca: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

 

Tarmizi A. Hamid, kolektor manuskrip kuno Aceh pernah mengatakan, sesungguhnya perlakuan kita terhadap gajah semasa Kerajaan Aceh dengan kondisi saat ini, bagai langit dan bumi. Di masa Kerajan Aceh, gajah sangat dimuliakan karena difungsikan sebagai kendaraan, terutama pada acara kebesaran. Sekarang, gajah bukan hanya kehilangan ruang hidupnya tetapi juga diburu untuk diperjualbelikan gadingnya.

“Dahulu, Aceh memiliki lebih dari 1.000 pasukan gajah yang siap diterjunkan ke medan pertempuran. Saat menyerang Portugis di Johor, Kerajaan Aceh diperkuat pasukan gajah yang diangkut kapal perang,” terangnya.

 

 

Menjaga kehidupan gajah sumatera beserta habitatnya berarti kita menjaga keseimbangan alam. Juga, menjaga peradaban bangsa yang dulunya menghormati gajah. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tarmizi menambahkan, saat Kerajaan Aceh berkuasa, gajah memang diburu, tapi dijinakkan untuk dijadikan kendaraan petinggi kerajaan, mengangkut perbekalan pasukan, dan kendaraan tempur. “Di Tangse, Kabupaten Pidie, dan di dataran tinggi Gayo, Kerajaan Aceh mendirikan pusat pelatihan dan pengembangbiakan gajah.”

Tarmizi menambahkan, perburuan gajah untuk diambil gadingnya, terjadi setelah Belanda menjajah Indonesia. Gading dijual sebagai perhiasan. “Kondisi buruk ini berlanjut hingga sekarang, meskipun hidup gajah sudah dilindungi undang-undang, tetap saja diburu. Perlakuan jahat yang harus dihentikan,” ujarnya.

Harapan agar tiada lagi konflik antara gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dengan manusia adalah doa tulus kita semua. Bukan hanya pertikaian dengan gajah, tetapi juga seluruh satwa liar di Nusantara. “Saya bangga menyandang predikat mahout. Menjaga Bayu, melindungi kehidupan gajah sumatera, kekayaan hayati Indonesia yang tidak semua orang bisa melakukannya,” tegas Hendra.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,