Budaya Leluhur Sunda Telah Ingatkan Masyarakat untuk Rawat Citarum

 

 

“Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke”. Kalimat ini merupakan Bahasa Sunda Kuno yang berarti “ada dahulu ada sekarang, tak ada dahulu tak ada pula sekarang”.

Bila dikorelasikan dengan Sungai Citarum dulu dan sekarang, tentu tidak lepas dari nilai historis masyarakat Sunda. Berbagai literasi menyebutkan, Sungai Citarum merupakan awal mula peradaban hingga terbentuknya kerajaan.

Ajip Rosidi dalam Buku Manusia Sunda, menuliskan peradaban masyarakat Sunda diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5, saat Kerajaan Tarumanagara berdiri. Ajip menyebutkan, peradaban Sunda bisa jadi sudah ada jauh sebelum masa kekuasaan Purnawarman (395-434 M), raja generasi ketiga.

Berdasarkan naskah Wangsakerta, pusat kerajaan itu terletak di tepi Sungai Citarum, dibangun Maharesi Jayasinghawarman, raja pendahulu Punawarman. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peninggalan budaya pada situs-situs yang ditemukan.

 

Baca: Peluang yang Selalu Ada untuk Pulihkan Sungai Citarum

 

Sungai sepanjang 297 kilometer ini memang erat kaitannya dengan nilai kebudayaan. Ajip menerangkan, pada masa kekuasaan Tarumanagara, Citarum dijadikan sebagai “urat nadi” peradaban. Salah satu karya mengagumkannya adalah penataan saluran air untuk keperluan pertanian. Hal ini menjadi indikasi majunya peradaban.

“Dan kalau begitu, niscaya manusia-manusia pendukung budaya itu pun merupakan manusia yang sudah maju pada zamannya,” tulis Ajip, dikutip dari Tirto.

 

Warga mengambil air di mata air Sungai Citarum yang terletak persis di kaki Gunung Wayang, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Sumber mata air tersebut menjadi tumpuan segenap warga Jawa Barat, memingat sungai sepajang 297 kilometer ini merupakan pemasok utama 3 waduk besar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ajaran leluhur pun menekankan hubungan manusia dengan alam yang saling bergantung. Hal ini tercermin pada pikukuh atau pentujuk “Urang Sunda”, gunung teu meunang dilebur, lebak teu beunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun.

Artinya, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh diubah, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, bukan harus dianggap bukan, dilarang harus tetap dilarang, benar harus dibenarkan.

Kini, ajaran leluhur, perlahan luntur. Limbah, sampah dan makin melebarnya degradasi hutan juga norma sosial masyarakat Sunda, mengawali catatan kelam akan kondisi Citarum.

Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum 2010, Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mengalami degradasi fungsi konservasi sumber daya air cukup besar, yakni 26.022 hektar. Ini terjadi akibat fungsi kawasan lindung berkurang, pengembangan kawasan permukiman yang tidak terencana, dan pola tanam pertanian yang tidak sesuai peruntukan.

Data Dinas Lingkungan Lingkungan Hidup Jawa Barat menyebut, hutan lindung di DAS Citarum memiliki luas 660.000 hektar. Kini, tersisa sekitar 85.800 hektar atau 13% saja. Angka-angka tersebut, bisa jadi bertambah seiring bencana yang terjadi.

 

Kondisi Sungai Citarum di Desa Pataruman, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Sungai ini menjadi perhatian setelah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menegaskan akan turun tangan mengendalikan pencemaran yang terjadi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mata air dan pemulihannya

Aliran Sungai Citarum berasal dari mata air Situ Cisanti di Kaki Gunung Wayang, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Lokasinya diketinggian 1.800 mdpl, yang merupakan titik sentral kehidupan jutaan masyarakat Jawa Barat.

Menurut Penjaga Cisanti, Atep (40 tahun), mengatakan pada 2001, pemerintah melakukan pembangunan situ (danau) dengan luasan 9 hektar.

“Situ ini memiliki tujuh mata air. Namun, yang menjadi sumber utama adalah mata air Cikahuripan dan Citarum.” kata Atep. Kondisi ketujuh mata air, tidak seperti dulu lagi. Ini karena vegetasi hutan jauh berkurang akibat perambahan. Secara legalitas, kawasan tersebut hutan produksi domain Perum Perhutan.

Bupati Kabupaten Bandung Dadang Naser mengakui, peliknya masalah yang mendera Sungai Citarum. Menurutnya, pemkab sudah meluncurkan program penanaman pohon untuk mengatasi lahan kritis.

“Namun, ini belum seberapa. Masih banyak persoalan seperti sampah dan limbah yang harus ditangani. Agak sulit bila kita lakukan sendiri-sendiri,” kata Dadang di acara “Citarum Harum” yang diselenggarakan Kodam III/Siliwangi di Situ Cisanti, Minggu (3/12/2017). Di acara ini juga dilakukan penanaman 3.000 bibit pohon.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, telah menggelontorkan dana sebesar Rp257 miliar untuk merehabilitasi DAS Citarum dan DAS Cimanuk sebagai program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Belakangan, Kodam III/ Siliwangi getol memusatkan perhatian pada pemulihan ekosistem Citarum. Pangdam III/Siliwangi, Mayjen TNI Doni Monardo menegaskan‎, pemulihan ekosistem hulu Citarum merupakan prioritas bersama, begitu juga TNI. Ditargetkan, Citarum bebas sampah 6 bulan kedepan, bebas limbah (2 berikutnya), dan bebas banjir (5 tahun mendatang).

“Satuan tugas (satgas) kami gagas, diisi personil gabungan sejumlah pihak. Satgas akan diplot di 20 cluster sepanjang Citarum, yang setiap cluster dipimpin langsung TNI setingkat kolonel agar memudahkan koordinasi dan komunikasi,” kata Doni.

 

Kondisi hutan di kawasan Citarum Hulu, di Gunung Wayang Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Menurut, Data Dinas Lingkungan Lingkungan Hidup Jawa Barat, hutan lindung di DAS Citarum memiliki luas 660.000 hektar. Kini, tinggal tersisa kurang lebih 85.800 hektar atau hanya 13% saja akibat perambahan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perencanaan

BBWS Citarum juga telah mewancanakan pembuatan terowongan air di Curug Jompong, Desa Jelegong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Tujuaannya, mengendalikan banjir di wilayah Bandung Selatan.

Namun, langkah tersebut dianggap tidak akan mengatasi persoalan banjir di Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang. Terlebih, curug yang termasuk hilir pertama Citarum dengan jarak 68 km dari Situ Cisanti ini, merupakan situs geologi yang berangkai sejarah bumi Bandung.

T. Bachtiar dalam Bandung Purba, menuliskan apabila Curug Jompong diubah, dikhawatirkan menimbulkan masalah baru, semisal, mempercepat erosi. Padahal, curug ini berfungsi penahan erosi alami karena terdiri batauan dasit, andesit, dan basal yang kuat.

“Permasalahan sesungguhnya dari banjir adalah kerusakan hutan di Bandung utara dan selatan. Inilah inti permasalahan banjir di cekungan Bandung. Semua air limpasan menuju Sungai Citarum,” terangnya.

Dilain tempat, Ketua Forum Penanggulangan Bencana Jawa Barat Soma Suparsal mengatakan, banjir besar di bantaran sungai pertama kali terjadi 1986. Sejak saat itu, warga terpaksa membiasakan diri hidup dengan bencana.

“Saya merindukan Citarum sebelum era 80-an. Sungai sebagai tempat bermain sekaligus pemenuh kebutuhan sehari-hari. Kini, Citarum sudah berubah wajah, tak lagi ramah. Kami dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi ini,” tandas Soma.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,