Dari Tinjau Ulang Kontrak PLTU sampai Penyederhanaan Golongan Listrik, Siasati Krisis Keuangan PLN?

 

Beberapa bulan lalu Presiden Joko Widodo, mengisyaratkan PLN sedang hadapi masalah keuangan. Dia menyampaikan,penurunan target bangun pembangkit listrik 35.000 MW dengan pertimbangan pertumbuhan ekonomi dan kesehatan keuangan PT PLN. Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyebutkan, tak akan ada lagi perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/ppa) untuk PLTU batubara di Pulau Jawa dan Bali hingga 2024. Juga pulau-pulau di kawasan timur yang jauh dari sumber batubara, seperti Maluku dan Papua serta menggalakkan sumber terbarukan.

Berlanjut, November lalu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengirimkan surat kepada Direktur PT PLN meminta perusahaan listrik negara itu meninjau kembali semua kontrak (power purchase agreement/PPA) pembangkit listrik swasta (IPP) skala besar di Pulau Jawa. Dalam surat bersifat segera itu, Dirjen Gatrik Andy Noorsaman Sommeng mengkhususkan perintah peninjauan terutama untuk PLTU yang belum masuk tahap konstruksi atau belum mendapatkan surat jaminan kelayakan usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.

Andy mengatakan, KESDM perlu menyarankan kepada PLN demi mewujudkan tarif tenaga listrik terjangkau bagi masyarakat dan kompetitif bagi industri.

“Salah satu lingkup peninjauan agar harga jual pembangkit paling tinggi 85% dari biaya pokok pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat,” katanya dalam surat itu.

Dia juga meminta,  hasil peninjauan PLN dilaporkan kepada Menteri ESDM.

Sofyan Basir, Direktur Utama PLN bilang, menindaklanjuti surat dengan mengkaji ulang beberapa perjanjian jual beli listrik (PJBL) beberapa PLTU, salah satu PLTU Cirebon. Namun Sofyan enggan menyebut besaran harga listrik yang dibeli PLN dari PLTU yang akan diekspansi dalam waktu dekat itu.

Dia mengklaim, harga listrik PLTU Jawa jauh lebih murah karena teknologi makin canggih. “Kita lihat aja, misal harga energi primer bisa diturunkan. Sekarang sudah murah. Sudah turun US$1-2 sen per kWh.”

Namun Sofyan mengakui,  ada beberapa PLTU sudah cukup lama menandatangani perjanjian jual beli listrik namun harga beli lebih 85% BPP,-batasan yang dipatok KESDM dalam Permen No 50/2017.

“Antara 80-85% (BPP). Yang sudah lama sudah 10-15 tahun lalu ada lebih 85% tapi tidak sampai 100% BPP. Ini yang diminta negosiasi lagi,” katanya.

Meski negosiasi bergantung pada kesepakatan kedua pihak, Sofyan meyakini rencana ini tak akan mengganggu iklim investasi ketenagalistrikan di Indonesia.

Meski negosiasi belum jalan, Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menegaskan penolakan rencana negosiasi ulang ini. Menurut APLSI,  kontrak jual beli yang diteken tak bisa ditinjau ulang.

“Kontrak sudah punya landasan hukum. Kalau proyek sudah ditandatangani kontrak, seharusnya tak bisa ditinjau ulang. Karena kontrak sudah sah secara hukum,” kata Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang dalam tanggapan tertulis.

Dia mengatakan,  bila kontrak ditinjau kembali akan berdampak pada iklim investasi. Sebab bakal memberikan ketidakpastian investasi kepada perusahaan swasta atau investor yang menggarap PLTU.

Peninjauan ini, katanya,  akan menimbulkan kesan aturan dan perjanjian mudah berubah-ubah.

Dia mengatakan, peninjauan kontrak semestinya sebelum perjanjian jual-beli (PPA) diteken, hingga dapat dipegang kedua pihak.

“Pertanyaannya, kenapa tak dikaji atau tinjau sebelum PPA diteken? Ya, buat apa ada kontrak PPA kalau sewaktu-waktu bisa diubah?”

Menanggapi hal ini Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Didit Wicaksono menilai surat KESDM kepada PLN mengindikasikan perlu evaluasi masalah pembangunan PLTU baru.

“Ini tak terlepas dari krisis keuangan yang menghantam PLN karena akumulasi uang yang harus mereka bayar,” katanya.

Penolakan APLSI, katanya, dapat dimaklumi karena bisa berdampak pada bisnis investor. Namun, lebih penting, permasalahan listrik berkaitan dengan banyak listrik lewat PLTU, tak sebanding dengan peningkatan konsumsi listrik. “Negara jelas tidak sanggup menutupi kerugian itu.”

 

Tak jauh dari PLTU Cirebon I ini akan dibangun PLTU CIrebon II. PLTU Cirebon II ini termasuk salah satu yang bakal dikaji ulang. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Akal-akalan lewat penyederhanaan golongan

Pemerintah juga sedang merencanakan penggabungan golongan tarif listrik untuk rumah tangga. KESDM dan PLN ingin menyederhanakan golongan pelanggan PLN menjadi tiga golongan.

Dadan Kusdiana, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama KESDM, mengatakan,  rencana ini untuk memudahkan pembagian golongan listrik yang memiliki tarif sama dan memudahkan masyarakat mendapatkan akses listrik sesuai kebutuhan.

“Nanti akan ada focus group discussion, public hearing memastikan kebijakan ini disetujui publik sebelum dilaksanakan, termasuk memastikan semua masalah teknis dapat dilakukan,” katanya.

Kebijakan penyederhanaan rencana hanya berlaku bagi pelanggan dengan golongan 900 Volt Ampere (VA) nonsubsidi, akan didorong jadi 1.300 VA. Untuk yang 1.300 VA, 2.200 VA, 3.300 VA dan 4.400 VA naik jadi 5.500 VA. Untuk 5.500 VA akan menjadi 13.200 VA dan lebih 13.200 VA menjadi loss stroom, atau bisa memakai listik sesuai kebutuhan produksi.

Dadan meyakinkan, perubahan golongan tarif listrik ini tidak akan mengubah tarif listrik yang sudah ditetapkan sebelumnya. Biaya teknis penggantian komponen instalasi listrik miniature circuit breaker (MCB), diperkirakan Rp1 triliun, akan ditanggung PLN.

Kebijakan ini diharapkan dapat berdampak pada masyarakat yang memiliki usaha mikro, kecil dan menengan (UMKM) yang rata-rata pelanggan golongan 1.300 VA hingga 3.300 Va.

“Dengan kenaikan daya tanpa tambahan biaya dan tanpa kenakan tarif per kWh UMKM dapat berkembang karena bisa memperoleh daya listrik lebih besar tanpa mengeluarkan biaya tambahan,” kata Dadan.

Hal lain yang ditekankan terhadap rencana ini bahwa tarif subsidi 450 VA dan 900 VA tidak terpengaruh rencana penyederhanaan. Pelanggan rumah tangga 450 VA tetap dengan tarif Rp 415 per kWh dan 900 VA sebesar Rp586 per kWh.

Tarif tenaga listrik bagi yang terkena penyederhaan tetap yakni golongan pertama yang akan didorong menjadi 1300 VA tetap Rp1.325 per kWh, golongan kedua akan naik jadi 550 VA tarif Rp1.467,28 per kWh, golongan tiga akan menjadi 13.200 VA dengan tarif Rp1.467,28 per kWh plus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan loss stroom tetap Rp1.467,28 per kWh plus PPN.

Kebutuhan MCB yang sangat banyak akan dilakukan bertahap dan dimulai dengan Pulau Jawa. Masyarakat membayar listrik sesuai daya terpakai dan tarif saat ini.

“Justru masyarakat diuntungkan dengan keleluasaan penambahan penggunaan alat-alat listrik sesuai kebutuhan tanpa ada biaya penambahan daya. Masyarakat di rumah bisa melakukan pembatasan sendiri adar tagihan listrik dapat ditekan.”

Dengan penambahan daya pada pelanggan rumah tangga, pemerintah meyakini akan mendorong penggunaan kompor listrik yang mengkonsumsi listrik di atas 300 watt. Penggunaan kompor listrik ini akan menghembat biaya 50-60% dari penggunaan tabung Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram.

Menurut Didit, salah satu langkah mengakali penanggulangan krisis listrik ini dengan rencana penyederhanaan golongan listrik untuk membuat pelanggan lebih konsumtif.

“Supaya kelebihan listrik ini ada yang beli,” katanya.

Dia menyayangkan, rencana ini ketika tren dunia condong kepada efisiensi energi, namun Indonesia malah mendorong inefisiensi atau konsumtif.

 

Pemborosan

Kenaikan daya listrik, katanya, selain meningkatkan tagihan bulanan listrik masyarakat, secara tak langsung juga memicu pemborosan listrik.

“Ini justru tak akan mengedukasi masyarakat untuk penghematan dan bertentangan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang mengalakkan efisiensi dan konservasi energi,” kata juru kampanye iklim dan energi Greenpeace, Hindun Mulaika.

Satu-satunya cara keluar dari permasalahan kapasitas berlebih ini, katanya, dengan membatalkan pembangunan PLTU-PLTU batubara raksasa di Jawa-Bali. Semua proyek PLTU batubara yang sudah mendapatkan kontrak  PPA juga harus dikaji ulang.

“Kalau memang sudah melebihi batas proyeksi kebutuhan listrik, kenapa tidak dihentikan saja?”

Tidak ada lagi alasan pemerintah untuk terus melanjutkan ketergantungannya terhadap batubara. Risiko krisis finansial PLN yang telah diingatkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu adalah nyata.

Belum lagi bila diperhitungkan berbagai polutan berbahaya yang dihasilkan PLTU yang mengancam kesehatan jutaan masyarakat di Jawa dan Bali.

Keberlanjutan pembangunan berbagai proyek PLTU batubara ini,  tidak hanya membebani keuangan negara dan lagi-lagi dibebankan ke masyarakat, juga diperburuk dengan regulasi emisi pembangkit lemah yang dimiliki Indonesia. Indonesia masih mengizinkan pelepasan emisi seperti SOx, NOx dan PM dengan jumlah yang rata-rata tujuh kali jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara seperti Tiongkok dan India.

“Bahkan batas pelepasan merkuri yang jelas-jelas sangat berbahaya saja belum diatur dalam regulasi kita,” ucap Hindun.

 

Perparah lingkungan

Peninjauan ulang kontrak PPA PLTU di Jawa penting untuk menekan biaya PLN dalam membeli listrik. Sisi lain, jika negosiasi dilakukan dan harga bisa turun pemerintah harus tegas mengawasi kualitas pembangkit.

“Kalau harga turun pasti ada komponen yang dikurangi. Yang paling sering air pollution control yang dipotong,” kata juru kampanya urban dan energi Walhi, Dwi Sawung.

Jadi, Walhi tegas meminta pemerintah membatalkan semua PLTU. Berdasarkan pengalaman, negosiasi ulang kelak akan mengorbankan banyak hal, terutama lingkungan.

Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang merancang peraturan yang akan lebih memperketat aturan soal limbah PLTU.

Greenpeace berharap peraturan baru ini tidak dikorbankan karena krisis yang ada di tubuh PLN. Dengan kondisi ini, Greenpeace mendorong pemerintah segera beralih ke energi terbarukan dimana faktir eksternalitas seperti pencemaran sangat minim sehingga masyarakat dan alam tidak menjadi korban dari krisis ini.

“Selain itu boros energi juga bukan solusi. Tapi menimbulkan masalah baru di kemudian hari karena kita akan semakin ketergantungan dengan energi apalagi sumber energinya energi kotor,” pungkas Didit.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,