​Cerita dari Mentawai: Warga Desa Munte Mulai Bikin Pupuk Organik

 

 

Mata Benediktus Sanambaliu,  menatap tajam setiap kata yang tertulis pada kertas plano di hadapannya. Ia soal resep pembuatan pupuk organik. Bahan-bahan dari bonggol batang pisang, air bekas cucian beras, air kelapa dan gula merah. Bene sedang belajar membuat pupuk cair mikro organisme lokal (MOL).

Kamis siang akhir November itu, Bene dan puluhan orang lain berkumpul di Balai Dusun Bekkeiluk, Desa Munte, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, untuk belajar membuat pupuk organik dari limbah tanaman.

Dusun Bekkeiluk dihuni 27 keluarga, dengan 104 Suku Sagulu, Salimu, Tatebburuk, Sanambaliu, Sapeai dan Sagoisokuma. Bagi orang pedalaman Mentawai, memupuk tanaman adalah hal tak umum mereka lakukan. Mereka tanam alami saja. Kini, mereka perlu agar hasil lebih banyak.

Sejak kepindahan mereka dari kampung dalam ke perumahan bantuan dinas sosial lebih dari satu dekade lalu, belum pernah ada sosialisasi soal pupuk. “Ini yang pertama sejak YCMM—Yayasan Citra Mandiri Mentawai—masuk ke sini 2002,” kata Julianus Sagulu.

MOL bonggol pisang mengandung mikroba pelarut phospat, aspergelius, basillius mikroba dan azotobakteri berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tanaman dan sebagai dekomposer.

“Zat pengatur geberilin, merangsang tumbuhan tanaman dan buah.  Kandungan fosfor yang kita semprotkan untuk memperkuat batang dan pembentukan buah,” kata Reza Fernanda, staf Program Pengorganisasian YCMM.

MOL, katanya,  juga berfungsi mempercepat pertumbuhan dan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Kebutuhan nitrogen, fosfor dan kalium dalam tanah bisa dipenuhi dari pupuk cair. “Untuk penyemprotan, 150 mili dicampur dengan 14 liter air ya. Kalau buat kompos satu liter MOL ini dicampur 19 liter air,” katanya.

Pestisida organik ini tak bisa disimpan lama, lebih tiga hari sudah tak berkhasiat lagi. “Jadi perbuatan tergantung serangan hama.”

Di Bekkeiluk, banyak limbah organik bisa diolah menjadi pupuk cair, dan kompos. Menurut Reza, pupuk organik lebih ramah lingkungan dan tak mengganggu umur tanaman dibanding semprotan pestisida atau pupuk kimia.

“Kalau pakai pupuk kimia tanah akan jadi gersang, tak bisa diolah. Petani bisa keluarkan modal banyak buat beli pupuk kimia,” katanya.

Campuran dari pepaya, pisang, nanas, kacang panjang, air kelapa, air nira, inti pisang dan kangkung air, yang berlimpah juga bisa diolah menjadi pupuk cair efektif mikro organism 4 (EM4) yang kaya nitrogen, fosfor dan kalium. Kandungan bakteri fermentasi dari bahan organik tanah mampu membantu menyuburkan tanaman.

Untuk membuatnya, buah-buah ini dicacah halus dan dibiarkan dalam ember selama seminggu, air perasan jadi pupuk cair. Ampas jadi kompos.

Daun pohon trembesi yang banyak tumbuh di halaman warga juga bisa jadi kompos, karena kaya fosfor pengganti urea. Pupuk kompos juga bisa dari batang pisang, rumput, limbah dapur, buah-buahan, ampas sagu, dicampur air dan tanah.

Reza juga mengajarkan bagaimana membuat pupuk NPK dari batang bisang yang dicacah dicampur serabut kelapa, air dan tambahan pupuk cair EM4.

Kata Anjelo Sapeai, warga Bekkeiluk, mereka hanya tahu cara menanam. “Yang butuh perawatan itu cabai, karena sini daerah banjir. Kalau ubi rambat kebanjiran tak masalah, habis dipanen juga masih tumbuh.”

Beberapa batang cabai di polybag milik Benediktus Sanambaliu tumbuh kurang subur dan diserang jamur. Dia berharap, pupuk organik bisa membuat cabai tumbuh subur dan berbuah lebat.

“Ini (resep pupuk) maka, kita catat siapa tahu bisa tumbuh subur. Nanti kalau kita pakai pupuk bisa subur, nanti (cabai) kita kembangkan,” katanya.

 

Persiapan bikin pupuk organik. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Di Bekkeiluk, selain ladang sagu warga banyak menanam pinang, cabai, pisang, nanas, keladi, dan coklat.

Julianus Sagulu, juga warga Bekkeiluk bilang, sebelumnya pernah buka lahan seperempat hektar untuk tanam cabai dan nanas, tetapi kerdil. “Cabai sekali panen mati, pengetahuan merawat belum ada.”

Selama ini, katanya, tanaman hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jarang mereka dapat hasil melimpah untuk jual ke Muara.

“Kalau dijual hanya piang, coklat, sama pisang itupun harga gak nentu, kadang murah. Kalau kita bawa pulang rugi ongkos ke Muara, ya terpaksa kita jual.”

Tarida Hernawati, Program Manager Program Peduli Kemitraan melihat Bekkeiluk memiliki banyak potensi alam yang bisa meningkatkan hasil produksi pertanian tetapi teknologi dan pola pertanian masih sulit.

Potensi pupuk organik besar tetapi warga masih sedikit mengetahui soal ini. Orang Mentawai malah mengenal pupuk kimia yang banyak dijual di ibukota kecamatan.

Ida khawatir penggunaan pupuk kimia dan pestisida akan menambah masalah baru dan membuat ketergantungan serta warga harus mengeluarkan biaya tinggi.

Lewat program peduli, mereka mendorong pengembangan pertanian organik, sesuai budaya masyarakat Mentawai yang gemar menanam.

Menurut dia, selain pisang dan sagu, tanaman muda seperti sayuran berpotensi untuk meningkatkan gizi dan ekonomi keluarga. “Di beberapa tempat telah dicoba dan berhasil,” katanya.

 

Limbah buah dan daun yang siap bikin pupuk organik. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Hambatan

Meski berlimpah sumber alam, tetapi membangun pertanian organik tak mudah. Ida mengaku mengalami banyak hambatan, seperti geografis dan cuaca tak menentu. Bagi orang pedalaman pembuatan pupuk organik masih hal baru.

Budaya orang Mentawai multikultur, membuat mereka tak bisa fokus. “Mereka punya ladang sagu, ladang durian, pohon buah-buahan dalam hutan, mereka juga harus mengelola pangan lokal, pisang, keladi, mereka harus bekerja di sungai untuk kecukupan protein,” katanya.

Kondisi inilah yang membuat orang Mentawai tak fokus pada satu komoditas. “Dulu pernah booming kakao mereka tinggalkan yang lain, coba fokus ternyata alam dan iklim tidak cocok. Hanya dua tahun pertama buah bagus.”

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo punya program cetak sawah untuk ketahanan pangan tetapi kebutuhan orang di Bekkeiluk tak bisa dicukupi hanya dari sawah.

Menurut Ida, pertanian multikultur masih hidup dan berkembang di kehidupan orang Mentawai. Mereka tak bisa dipaksa menjadi petani monokultur.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh