Upaya Atasi Perubahan Iklim Mustahil Tanpa Sinergi

 

Konferensi Perubahan Iklim ke-23 yang digelar di Bonn, Jerman, telah berakhir pada awal Desember 2017. Para delegasi pulang ke negaranya masing-masing membawa tugas besar menahan laju kenaikan suhu kurang dari 2 derajat Celcius pada akhir abad ini. Artinya, emisi gas rumah kaca (GRK) harus direm hingga dibawah 1 triliun (1012) ton setara CO2.

Indonesia termasuk 170 negara dari 197 Negara Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) telah meratifikasi Kesepakatan Paris yang bertujuan menjaga kenaikan suhu global abad ini kurang dari 2 derajat Celcius. Lebih jauh lagi, Kesepakatan Paris bahkan berupaya agar batas kenaikannya tidak melebihi 1,5 derajat Celcius. Itu sebabnya kesepakatan ini disebut sebagai tonggak sejarah upaya global dalam memerangi perubahan iklim setelah Protokol Kyoto. Ia sangat krusial dalam meningkatkan aksi dan investasi masa depan rendah karbon, berketahanan iklim, dan berkelanjutan.

baca : Langkah-langkah Kecil bagi Kemanusiaan di Bonn

Untuk mengimplementasi Kesepakatan Paris, Indonesia telah mengambil beberapa langkah. Pertama, meratifikasi Kesepakatan Paris melalui Undang-Undang No.16 Tahun 2016 dan menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sesuai amanat Kesepakatan Paris. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menyatakan bahwa target penurunan emisi GRK nasional adalah 29% dari level GRK tahun 2030 tanpa aksi mitigasi (business as usual) dengan kemampuan sendiri (unconditional).

Target penurunan emisi GRK dapat ditingkatkan hingga 41% dengan dukungan internasional (conditional). Target conditional dapat dicapai dengan menurunkan emisi GRK di sektor kehutanan (17,2% dari total emisi di seluruh sektor pembangunan nasional); energi (11%); pertanian (0,32%); industri (0,10%); dan limbah (0,38%).

Kedua, Indonesia memandang bahwa pencapaian ketahanan iklim kepulauan merupakan hasil komitmen adaptasi nasional yang mencakup peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lanskap.

Ketiga, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah menentukan sembilan aksi prioritas pembangunan nasional (Nawa Cita). Tujuannya antara lain melindungi segenap bangsa dan memberi rasa aman pada seluruh warga negara, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam kerangka negara kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, serta meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.

Nawa Cita sejalan dengan komitmen nasional menuju pembangunan berkelanjutan. Aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim masuk dalam prioritas Nawa Cita yang terintegrasi dan bersifat lintas-sektor dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Di sisi lain, implementasi NDC tak bisa hanya mengandalkan peran Kementerian/Lembaga tingkat pusat. Pemerintah juga perlu menjalin kemitraan dengan Non-Party Stakeholders (NPS) seperti Pemerintah Daerah, dunia usaha atau swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat sipil (terutama kalangan akademisi). Kemitraan tangguh-lah yang dapat menjamin efektivitas implementasi NDC.

baca : Perubahan Iklim Harus Dihadapi Dengan Aksi Nyata Bersama, Mengapa?

 

 

Peran Penting NPS (Non-Party Stakeholders)

 Ketika dunia masih riuh dengan Konferensi Perubahan Iklim Bonn, sekelompok anak muda penerima hibah dari Lembaga Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (Indonesia Climate Change Trust Fund/ICCTF) dikumpulkan di Bandung. Peristiwa ini berlangsung senyap, jauh dari sorot media massa nasional. Mereka berkumpul untuk berbagi pengalaman dalam mengatasi krisis iklim di daerahnya.

Anak-anak muda dari berbagai provinsi ini diam-diam aktif berkarya dalam hal mitigasi berbasis lahan. Mereka berjuang bersama penduduk guna mengatasi kebakaran ribuan hektar lahan gambut. Mereka juga mengelola hutan lahan basah yang terbengkalai dan lahan mangrove yang terdegradasi akibat tambang timah dan akuakultur. Adapula yang memberikan solusi bagi terciptanya energi rendah karbon, konservasi dan efisiensi energi, serta ketahanan dan adaptasi iklim.

Salah satu wakil dari kegiatan mitigasi berbasis lahan, misalnya, bekerja di konservasi kawasan hutan penyangga Kerinci Seblat seluas 338.000 hektar melalui pengembangan skema perhutanan sosial. Upaya ini mendukung mitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi GRK

Perwakilan lainnya dari Provinsi Nusa Tenggara Barat berupaya mengembangkan konservasi energi demi mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Mereka memanfaatkan solar cell sebagai sumber energi listrik penggerak pompa air yang sangat krusial untuk irigasi perpipaan di lahan kering.

Mereka pun berhasil meningkatkan produktivitas lahan kering. Areal lahan kering “disulap” menjadi kawasan perkebunan dan peternakan skala rumah tangga terpadu. Mekanisme ketahanan air perdesaan semacam ini pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Adapula yang membantu para nelayan kecil mengatasi ketidakpastian waktu dan lokasi tangkap. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa ada 165.066 nelayan dengan perahu tak bermotor, 238.010 nelayan bermotor tempel dan 153.493 nelayan bermotor kurang dari 5 GT. Mereka adalah kelompok rentan dan perlu mendapat perhatian (KKP, 2015). Inovasi anak-anak muda ini menyebabkan tangkapan ikan para nelayan kecil di pantai selatan Pulau Jawa meningkat.

baca : Negara Kepulauan Semakin Terancam Hadapi Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Dua nelayan di Kecamatan Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah, tengah menunggu bantuan “converter kit” yang telah terbukti mampu menghemat pengeluaran melaut. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Urgensi Kemitraan dengan NPS (Non-Party Stakeholders)

Secara umum, Indonesia memang masih harus berhadapan dengan banyak tantangan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tapi kita melihat betapa kontribusi anak-anak muda seperti mereka –selama ini masih jarang dilirik. Pada masa mendatang, sudah sepatutnya mereka turut dilibatkan, bersama dengan swasta, Pemda, LSM, dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Jika kapasitas masyarakat dan kelembagaan di daerah terbangun, persoalan apapun akan lebih mudah diatasi.

Lewat kemitraan yang kokoh dengan NPS (Non-Party Stakeholders) akan lebih mudah bagi pemerintah untuk merumuskan solusi bersama atas aneka isu seperti pada poin-poin berikut.

Pertama, deforestasi dan degradasi telah menimbulkan kantung-kantung kemiskinan. Sangat diperlukan dukungan keuangan untuk program-program reforestasi atau rehabilitasi lahan terdegradasi, juga upaya restorasi lahan kritis menjadi hutan masyarakat.

Kedua, sekitar 700.000 hektar (3 miliar ton setara CO2) hutan mangroves akan bersaing dengan aktifitas ekonomi seperti tambak udang dan perkebunan kelapa sawit dalam dua dekade ke depan. Perlu kebijakan inovatif karena pengarusutamaan karbon biru Indonesia dalam NDC akan berkontribusi signifikan dalam target menurunkan emisi sebesar 29%.

Ketiga, sesuai kebijakan energi nasional, Indonesia menargetkan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23%. Ketahanan energi merupakan salah satu prioritas nasional Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018. Untuk itu, pendanaan teknologi pembangkit EBT serta pelaksanaan konservasi dan efisiensi energi perlu mendapat dukungan Kementerian ESDM, PLN, juga Non-Party Stakeholders (NPS)

Keempat, perencanaan pembangunan perlu memasukkan pertimbangan adaptasi dan pengurangan resiko bencana. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.33 Tahun 2016 tentang “Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim” perlu diacu secara efektif, terutama untuk mengidentifikasi target cakupan wilayah dan sektor terkait.

Kelima, perlunya melibatkan Kemendagri (Ditjen Bangda) terkait revisi Permendagri No.13/2006 tentang pengelolaan keuangan daerah. Sebab, aturan ini menjadi dasar bagi Pemda untuk menyusun program/kegiatan dan mengalokasikan APBD. Permendagri ini belum spesifik mengatur nomenklatur program/kegiatan dan kode budget untuk kegiatan perubahan iklim. Pemda jadi enggan mengalokasikan anggaran perubahan iklim karena berisiko dalam temuan BPK/BPKP.

Keenam, Permendagri 54/2010 mengenai “Pembangunan berkelanjutan dalam Penyusunan RPJMD” perlu diperbaiki agar rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dapat dimuat sebagai bagian dari Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang akan menjadi acuan bagi daerah dalam membuat perencanaan pembangunan berkelanjutan.

baca : Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir

Keenam poin di atas gamblang memperlihatkan urgensi bagi pemerintah pusat untuk menggandeng NPS (Non-Party Stakeholders) seperti swasta, Pemerintah Daerah, LSM, dan kelompok masyarakat sipil dalam upaya mengimplementasikan NDC hingga tingkat akar rumput. Kemitraan dengan NPS (Non-Party Stakeholders) dapat dibangun melalui berbagai cara, dimulai dengan mengapresiasi dan melanjutkan upaya-upaya mereka yang selama ini telah berkontribusi dalam senyap.

Dampak perubahan iklim makin nyata mengancam, dan tak pernah pilih-pilih korban. Itu sebabnya tak ada pilihan selain meleburkan sekat dan segera membangun sinergi. Mengatasi perubahan iklim tanpa sinergi seumpama memadamkan kebakaran besar dengan tangan kosong sendirian. Mustahil.

 

*Dr Agus Supangat, senior saintis di Pusat Perubahan Iklim ITB. Artikel ini merupakan pendapat pribadi.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,