Kala Teluk Kendari Tercemar Merkuri dan Limbah B3

 

 

Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, alami pencemaran merkuri dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Kondisi ini berdampak luas dari kerusakan mangrove, biota laut tercemar sampai abrasi Pesisir Teluk Kendari. Kehidupan manusia pun terancam buntut pencemaran ini.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Kendari, menyebutkan, hutan mangrove Kendari menyusut dari 525 hektar jadi 367,5 hektar. Penyebabnya, selain proses pembangunan, juga ada pengaruh bahan kimia berbahaya di akar mangrove.

“Jadi tak saja pembangunan di pesisir pantai. Zat kimia juga mempengaruhi proses mangrove,” kata Yokpi Englatmo, peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Halu Oleo Kendari, dalam diskusi awal Desember 2017.

Mangrove, katanya,  mampu menyerap logam berat seperti merkuri dan B3 yang masuk dan mencemari laut.

Namun, fungsi mangrove itu ternyata berdampak pada kelangsungan hidupnya sendiri. Secara otomatis, merkuri dan limbah berbahaya yang terserap itu membuat mangrove mati.

Penelitian Yokpi memperlihatkan, pengelolaan limbah seperti merkuri dan B3 di Kendari, tak ramah lingkungan, baik dari pasar, hotel, tempat hiburan dan rumah makan.

Dari berbagai tempat itu, katanya, tak ada pengelolaan limbah. Merkuri dan benda bahan berbahaya lain nyata masuk ke daerah aliran sungai (DAS) menuju ke teluk dan mencemari mangrove.

Penelitian dia pada 2017 ini, menemukan, pencemaran merkuri dan limbah B3 melebihi ambang batas hingga membuat akar mangrove tak lagi berfungsi.

Yokpi menerangkan,  kualitas air di Sungai Kendari secara fisika kimia dan mikrobiologi, mengalami pencemaran berbeda. Pada hutan lindung atau hutan mangrove, pencemaran air pada nilai indeks 2,2, kawasan perumahan padat penduduk dan wilayah perdagangan indeks pencemaran 3,75.

Di kawasan lain di Pesisir Teluk Kendari indeks pencemaran 3,74 dengan masing-masing beban pencemaran dua kilogram limbah B3 setiap hari.

“Seperti pasar basah Kendari, selain menghasilkan limbah juga merkuri. Proses pemurnian emas menggunakan merkuri tak dikelola dengan Instalasi Pengelolaan Air Limbah, nah, limbah logam berat mencemari hingga ke teluk (tempat hidup mangrove ),” katanya.

Senada dikatakan Siti Marwah,  Dosen Kehutanan UHO Kendari. Dia bilang, minyak, logam berat, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove hingga mengurangi kemampuan bertahan hidup.

“Akhirnya menyebabkan kematian karena rusak dan tak bisa lagi berkembang,” katanya.

Masalah lain, katanya, degradasi mangrove hingga tak lagi berperan sebagai penyaring. Degradasi ini, katanya, bukan hanya limbah pasar, hotel, tempat hiburan dan rumah makan, tetapi operasi tambang.

“Secara kasat mata kita bisa lihat aktivitas tambang di Konsel, Konawe dan Konawe Utara, membawa logam berat dan tanah ore nikel, yang berakhir di Teluk Kendari,” kata perempuan berhijab ini.

 

Air keruh dan sampah plastik yang menempel di akar mangrove di Teluk Kendaru. Kondisi ini mengancam kesehatan mangrove sekitar. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Biota laut Teluk Kendari bahaya buat konsumsi

Pencemaran merkuri dan limbah B3 lain menyebabkan biota laut seperti ikan di Teluk Kendari bahaya untuk konsumsi. Indriyani Nur, Kepala Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO mengatakan, ikan dari alam dan budidaya sekitar teluk, menunjukkan kandungan logam berat merkuri.

Dia mengatakan, pada daging ikan ada 0,46% merkuri, dan udang budidaya, kerang laut juga mengandung merkuri. “Walau begitu ini masih di bawah maksimum dari tingkat pencemaran ambang batas BPOM RI,” katanya.

Meskipun begitu, kata Indrayani, kandungan itu tetap berbahaya karena kalau terus menerus terkonsumsi mengakibatkan gangguan kesehatan manusia. “Penyakit mudah menyerang karena kandungan merkuri tadi.”

Prayitno, Kepala Bidang Persampahan dan Limbah B3, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kota Kendari, tak menampik kalau merkuri dan limbah B3 mencemari sungai dan laut.

Bahan kimia ini, katanya, dari berbagai kegiatan, antara lain, pemurnian emas terang-terangan di pasar, walau jumlah kecil tetapi diakumulasi jadi banyak. Kemudian,  bekas-bekas thermometer rumah sakit yang mengandung merkuri.

“Sudah menghawatirkan juga sebenarnya. Tindakan DLHK Kendari hanya bisa pemantau dan hanya bisa teguran. Sanksi hukum, kami bukan kepolisian,” katanya, berdalih.

 

Limbah cair yang langsung dialirkan ke drainase atau parit-parit kecil, lalu menuju sungai dan berakhir di Teluk Kendari. Di Kendari, banyak tempat usaha, dari hotel, pasar, sampai rumah sakit tak punya instalasi pembuangan limbah. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Tak punya instalasi buang limbah

Prayitno mengatakan, di  Kota Kendari, tempat usaha seperti hotel hampir semua tak mempunyai IPAL. Yang punya IPAL, katanya, baru lima hotel, satu tempat hiburan, sedangkan pasar dan rumah makan tak ada.

Padahal, data Dinas Perizinan Kota Kendari, jumlah hotel di Kendari mencapai seratusan. “Iya, pasar itu juga belum punya IPAL,” kata Prayitno.

Sebagai perkiraan, hotel kapasitas 500 orang bisa menghasilkan limbah B3 rata-rata 3-5 ton perhari. “Atau 3.000-5.000 liter perhari. Paling rendah hotel bisa menghasilkan limbah 1.000 liter perhari,” kata Tomas Astanugroho, Kepala Teknisi Lingkungan dan Limbah Hotel Swiss Bell Kendari. Hotel Swiss Bell sudah miliki IPAL.

“Jika ini tak diolah melalui IPAL, pasti mempengaruhi ekosistem sekitar. Bakteri jahat itu cepat mempengaruhi kualitas air apalagi sungai dan laut. Rata-rata kita di Kendari tinggal sekitar sungai dan teluk,” katanya.

Sedangkan hotel tak berinstalasi pembuangan limbah seperti Hotel Zenit Kendari. Hotel dengan hunian 500 orang per pekan ini sampai sekarang tak ada IPAL. Limbah B3 terbuang langsung ke kali sekitar rumah warga.

Baso Nani, Manajer Hotel Zenit mengaku tak membangun IPAL karena biaya administrasi sangat mahal.“Pertama, mahal, kedua, kami mau urus tapi butuh waktu lama,” katanya di hadapan wartawan November 2017.

Walau tak mempunyai IPAL, perusahaan ini mengklaim sudah memiliki Unit Pengelolaan Limbah. Dia mengakui sekelas hotel yang dia pimpin harus menjalankan peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 5 Tahun 2012 tentang kegiatan wajib analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), UKL/UPL. “Kami berupaya membangun IPAL.”

Yokpi menyarankan, pemerintah harus mencari solusi agar kualitas air, biota laut dan mangrove terjaga. “Pemerintah harus mampu menciptakan instalasi pengolahan air limbah yang besar.”

 

Dari penelitian ditemukan ikan-ikan di Teluk Kendari mengandung merkuri. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,