Pilih Mana, Restorasi Hutan Bakau Secara Bersama atau Perseorangan?

 

Dalam beberapa dekade terakhir, hutan bakau di Indonesia terus mengalami penurunan jumlah luas yang diakibatkan berbagai faktor. Selain itu, banyak yang kondisinya kritis, sehingga makin menurunkan total luasan mangrove. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, karena hutan bakau memberi manfaat yang banyak untuk ekosistem di darat maupun laut.

Hutan bakau yang kritis tersebut, menurut Country Director The Nature Conservancy (TNC) Rizal Algamar, mendesak untuk segera diselamatkan. Tindakan penyelamatan penting dilakukan, karena bakau adalah ekosistem yang penting dan bisa untuk menyerap karbon, pertahanan pesisir, dan mendukung keamanan pangan.

Dengan manfaat yang banyak, Algamar mendorong semuan pihak untuk terlibat dalam penyelamatan hutan bakau. Salah satunya, adalah dengan ikut bergabung dalam Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) yang digagas oleh TNC untuk Indonesia.

“Kami melihat ada suatu kesempatan. Prinsip kerja kami kan berkolarobasi. Dengan Pemerintah, dengan komunitas. Kalau mau membuat ini menjadi masif, kita libatkan peran swasta. Sehingga kalau gotong royong, langkah kita lebih jauh dan lebih cepat dibandingkan sendirian,” ungkap dia di Jakarta, Selasa (12/12/2017).

Pentingnya menjalin kerja sama, menurut Algamar, karena selama ini penyelamatan hutan bakau di Indonesia dilakukan secara perseorangan, baik atas nama lembaga atau pribadi. Cara tersebut, meski bagus dan membantu penyelamatan bakau, namun kata dia, menjadi kurang efektif karena hanya berlangsung sementara.

Algamar mengatakan, inisiasi pembentukan aliansi dilakukan karena TNC melihat bahwa hutan bakau di Indonesia dari waktu ke waktu semakin kritis. Padahal, dalam waktu bersamaan, upaya penyelamatan bakau juga terus dilakukan oleh berbagai pihak.

“Sekarang itu ada sekitar 1,7 juta hektare mangrove yang sudah kritis dan perlu segera diselamatkan. Jika upaya penyelamatan dilakukan sendiri-sendiri, itu juga tidak efektif. Oleh itu, kita dorong supaya upaya ini masuk dalam progam yang dilaksanakan aliansi,” jelas dia.

Dengan menjadi sebuah program, Algamar menyebut, upaya penyelamatan hutan bakau dipastikan akan berlangsung secara kontinu dan dilakukan secara Bersama. Melalui aliansi, upaya penyelamatan dengan melaksanakan restorasi, bisa dilakukan lebih detil dan komprehensif.

 

Para perempuan kelompok tani memetik mangrove buat keperluan produksi penganan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

10 Anggota Inti

Melalui inisiasi yang dilakukan TNC, Algamar berharap program restorasi hutan bakau secara bersama sudah bisa dimulai pada 2018 mendatang. Program akan dilaksanakan, setelah aliansi MERA secara resmi terbentuk paling lambat pada semester pertama 2018.

Untuk tahap awal, Algamar menjelaskan, aliansi akan menarik 5 hingga 10 anggota inti yang salah satunya bertugas untuk secara bersama melakukan sindikasi keuangan untuk mendanai program restorasi hutan bakau secara bersama.

Sebagai pelaksanaan program, Algamar menambahkan, pelaksanaan restorasi akan dilaksanakan di hutan bakau yang ada di kawasan Serang (Banten), Muara Gembong (Jawa Barat), dan Muara Angke (Jakarta). Ketiga tempat itu dipilih, karena TNC menilai, untuk melaksanakan program bersama yang melibatkan banyak pihak, maka harus dicari lokasi yang dapat dijangkau dan bisa menjadi etalase percontohan.

Sebagai program jangka Panjang, Algamar memaparkan, restorasi hutan bakau di seluruh Indonesia akan memerlukan dana yang besar. Paling sedikit, kata dia, dana yang dibutuhkan ada di kisaran USD2 juta atau sekitar Rp27 triliun. Dana sebanyak itu diperlukan, karena restorasi hutan bakau akan berlangsung kontinu selama bertahun-tahun dan dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Di Indonesia, luas hutan bakau mencapai 3,48 juta ha atau 23 persen dari total luas hutan bakau dunia yang mencapai 16,5 juta ha. Hutan bakau tersebut menyebar di 257 kabupaten/kota yang ada di semua provinsi.

Akan tetapi, dari luas tersebut, seluas 1,81 juta ha saat ini kondisinya sedang kritis dan sisanya dalam kondisi baik. Jika kondisi itu dibiarkan, flora dan fauna yang ada di darat dan laut akan terancam populasinya. Tak tanggung-tanggung, ada 257 spesies fauna di darat dan laut, serta 157 jenis flora yang selama ini menggantungkan hidupnya pada hutan bakau.

 

Penanaman mangrove yang dilakukan saat peringatan Hari Bumi, 22 April 2017, di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Habitat Burung Air

Tak hanya bermanfaat untuk ekosistem darat dan laut, keberadaan hutan bakau juga bermanfaat untuk burung air yang ada di Indonesia. Hutan bakau, selama ini bisa menyediakan pakan yang lezat bagi burung-burung yang terbang di angkasa Indonesia.

Kepala Komunikasi dan Pengembangan Kelembagaan Burung Indonesia Ria Ria Saryanthi menjelaskan, selain burung air yang ada di Indonesia, hutan bakau di Indonesia juga biasa menjadi tempat migrasi burung-burung yang berasal dari negara empat musim. Burung-burung tersebut biasanya bermigrasi saat di negara asalnya sedang berlangsung musim dingin.

“Selain menjadi tempat mencari makan, burung-burung menggunakan mangrove untuk tempat bersarang dan berkembang biak. Jadi, kalau mangrove-nya hilang, jenis-jenis burung yang tergantung pada itu juga akan berkurang dan bisa punah,” ungkap dia.

Ria mengatakan, saat ini dengan jumlah 1.769 jenis burung, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah populasi burung terbesar keempat di dunia setelah Peru, Brasil, dan Kolombia. Selain itu, Indonesia juga menjadi rumah sementara bagi burung migran yang jumlahnya mencapain 259 jenis. Burung-burung tersebut, adalah burung yang sangat bergantung pada ekosistem bakau.

Di antara burung-burung yang menggantungkan hidupnya pada bakau, Ria memaparkan, adalah burung bangau bluwok (Mycteria cinereal) dan bubut jawa (Centropus nigrorufus). Kedua jenis burung tersebut, selama ini biasa ditemukan di hutan bakau Muara Angke, Jakarta Utara.

“Tetapi, dengan kerusakan secara perlahan yang terjadi di Muara Angke, populasi kedua jenis burung tersebut juga mulai terganggu. Karenanya, IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan kedua jenis tersebut sebagai spesies yang terancam punah dan endemik,” jelas dia.

Tak cukup di situ, Ria mengatakan, demi menjaga populasi kedua jenis burung tersebut, perdagangan keduanya juga mulai mendapat pelarangan. Untuk bangau bluwok, secara resmi sudah dilarang diperdagangkan secara internasional dan Indonesia melindunginya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Selain Muara Angke, Ria bercerita, sejumlah jenis burung juga sangat menggantungkan hidupnya pada habitat hutan bakau. Kondisi tersebut ada di Pulau Dua, Jakarta yang menjadi habitat bagi burung seperti bangau bluwok, cikalang christmas (Fregratta andrewsi), dan kacamata jawa (Zosterops flavus).

“Cikalang christmas ditetapkan sebagai burung yang terancam punah. Kacamata jawa populasinya termasuk rentan. Selain di Pulau Dua, kondisi yang sama juga terjadi di Muara Gembong. Di sana, burung-burung juga terancam punah karena kerusakan hutan bakaunya,” tutur dia.

Adapun, jenis burung yang ada di Muara Gembong, dijelaskan Ria, adalah bangau bluwok, kacamata jawa, dan bubut jawa, bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), serta gelatik jawa (Lonchura oryzivora). Oleh IUCN, spesies-spesies tersebut dinyatakan terancam punah karena populasinya yang terus menurun dari waktu ke waktu.

 

Perlindungan habitat harus dilakukan agar kehidupan satwa yang ada di hutan mangrove Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur, terlindungi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Ria menambahkan, keberadaan burung-burung di kawasan hutan bakau, bisa menjadi tanda bahwa ekosistem di sana terjaga dengan baik. Sebaliknya, jika burung-burung air yang biasa menjadikan hutan bakau sebagai habitatnya sudah tidak nampak, maka bisa dipastikan bahwa kawasan bakau tersebut sedang dan bahkan sudah mengalami kerusakan.

Mengingat pentingnya hutan bakau bagi sejumlah jenis burung, Ria berkomitmen untuk ikut terlibat dalam upaya penyelamatan hutan bakau yang digagas TNC. Upaya penyelamatan menjadi penting, karena dia ingin masa depan burung air bisa lebih terjamin di Indonesia.

“Kalau hutan bakau sudah tidak ditemukan di Indonesia, burung-burungn tersebut akan singgah kemana? Karena mereka habitatnya di sana, mereka tidak akan kemana-mana. Pada akhirnya, mereka akan mati dan populasinya akan terus berkurang,” tandas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,