Ketika Beragam Bencana Mengancam, BNPB Sebut Lingkungan Rusak jadi Pemicu

 

Beragam bencana karena pengaruh faktor cuaca, seperti banjir, longsor sampai puting beliung maupun cuaca ekstrem masih mengancam. Kerusakan lingkungan picu bencana terus meningkat.

 

Pada 11 Desember 2017, Winata terbangun dari tidur saat perjalanan dari Cibubur ke Jakarta. Kala itu,  dia sudah di sekitar Cawang. ”Suara hujan keras (dari dalam mobil). Kendaraan seperti disambit rentetan air hujan berkali-kali,” katanya. Jakarta, hujan deras. Banjir dan macet tak terelakkan.

Begitu juga dialami Ignatia, kala itu hendak pertemuan di Kalibata sempat terjebak banjir. ”Kita dari Pejaten,  nyari taksi satu jam nggak dapet. Angin kencang banget. Perjalanan sampai dua jam,” katanya. Dia sempat melewati wilayah banjir, di sekitar Rawajati dan Jati Padang, saat pulang di Rasuna Said.

Hujan lebat berlangsung sekitar empat jam pekan lalu di Jakarta, bukanlah puncak musim penghujan, bahkan pertengahan musim saja belum. Meskipun begitu, genangan air di jalan-jalan protokol seperti Sudirman-Thamrin, dan pemukiman sampai 20-40 sentimeter.

”Hujan lebat dan merata di Jabodetabek,  ini menandainya berakhirnya monsun break dan kembali aktif monsum atau musim hujan,” kata Hary Tirto Djatmiko, Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Monsun break (masa istirahat) yakni, terjadi pengumpulan massa udara basah dan uap air relatif signifikan selama dua sampai tujuh hari terhitung 4-12 Desember.

Sejak 10 Desember, katanya,  ada indikasi potensi pembentukan dan pertumbuhan awan hujan didominasi intensitas lebat hingga sangat lebat dalam hitungan jam. Adapun wilayah seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian Utara telah melewati masa monsum break.

Hingga 18 Desember nanti mayoritas wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan ringan dan berawan. ”Khusus Jabodetabek, siang sampai sore hari berpotensi hujan sedang dan lebat,” katanya.

 

Kerusakan lingkungan

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, bencana yang terjadi 95% merupakan bencana hidrometeorologi. Artinya, bencana yang dipengaruhi faktor cuaca, seperti longsor, kekeringan, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan dan cuaca ekstrem.

“Kenapa makin meningkat? Karena sudah darurat ekologis. Kerusakan lingkungan jadi darurat ekologis, akibatnya banjir, longsor dan puting beliung makin merajalela,” katanya.

Kondisi itu terjadi, katanya, karena laju deforestasi di Indonesia mencapai 750.00 hektar per tahun. Namun, kemampuan pemerintah rehabilitasi hutan dan lahan hanya 250.000 hektar per tahun hingga ada kesenjangan angka 500.000 hektar per tahun, yang terus berlipat setiap tahun.

“Otomatis ada defisit setengah hektar per tahun, di mana ini akumulasi. Jadi, ketika curah hujan, apalagi deras, terjadi longsor, banjir, dan lain-lain,” katanya.

Sumber grafis dari: Konservasidas.fkt.ugm.ac.id

 

Negeri ini, katanya, sudah darurat ekologis, karena ulah manusia, seperti perusakan hutan, daerah aliran sungai (DAS) kritis meluas, serta budaya sadar bencana masyarakat Indonesia rendah.

Tak hanya itu, masalah tata ruang di Indonesia juga buruk. Sebanyak 150 juta jiwa masyarakat tinggal di daerah rawan bencana, 63,7 juta tinggal di rawan banjir dari zona sedang hingga merah.

“Ini juga karena masalah tata ruang yang tidak mengindahkan daerah rawan bencana hingga jutaan masyarakat justru tinggal di daerah rawan bencana.”

BNPB, katanya, telah menyiagakan Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana di seluruh Indonesia. “Kami sudah bagikan peta rawan bencana kepada pemda setempat,” katanya.

BNPB sudah mengantisipasi dan koordinasi pada tingkat kota, kabupaten hingga provinsi untuk penanganan bencana. BNPB pun telah mengaktifkan Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) yang beroperasi 24 jam selama tujuh hari guna pemantauan situasi daerah rawan banjir dan longsor.

Per 4 Desember 2017, BNPB mencatat ada 2.175 kejadian bencana di Indonesia, seperti, banjir (737 kejadian), puting beliung (651), tanah longsor (577), kebakaran hutan dan lahan (96), banjir dan tanah longsor (67), kekeringan (19), gempa bumi (18), gelombang pasang/abrasi (8), serta letusan gunung api (2).

Adapun korban mencapai 335 orang meninggal, 969 orang luka dan 3.218.520 orang mengungsi. Ada 31.746 rumah rusak, 347.813 terendam, dan 1.665 fasilitas umum.

”Longsor menjadi bencana paling menimbulkan korban jiwa meninggal dunia selama 2014-2016.”

Tahun ini, 153 orang meninggal dan hilang dengan potensi wilayah terdampak adalah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Sedangkan empat kabupaten/kota terbanyak selama 13 tahun terakhir adalah Bogor, Wonogiri, Cilacap dan Sukabumi.

 

Waspada bencana

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, periode musim hujan 2017-2018 sekitar Desember 2017-Februari 2018.

Untuk Sulawesi Selatan, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, saat ini, belum terhitung puncak musim penghujan hingga perlu diwaspadai karena masuk dalam rentan dan berpotensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, genangan dan longsor.

BNPB memprediks, i, ada beberapa kawasan perlu mendapat perhatian potensi banjir. Di Jakarta,  misal, sekitar Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, dan Angke, perlu mendapat perhatian. Kemudian, Jawa Barat, di sekitar Sungai Citarum, Cikeas, Cimanuk, dan Bekasi.

Untuk Jawa Tengah, Sungai Jratunseluna meliputi Semarang, Pati, Kendal, Kudus, Purwodadi dan Sungai Bengawan Solo Hulu meliputi Solo, Sragen, Karanganyar, wilayah Sungai Citanduy (Cilacap). Di Jawa Timur, potensi banjir di sepanjang Sungai Grindulu, Pacitan dan Ponorogo.

Wilayah luar Pulau Jawa, seperti Aceh, Riau, Jambi, Sulawesi juga rawan potensi banjir. Di Riau, potensi banjir di Sungai Siak, Kampar, Rokan. Untuk Jambi, potensi banjir di sekitar Sungai Batanghari.

Menurut Sutopo, kerugian dampak siklon tropis cempaka yang memicu banjir dan longsor akhir November lalu di Yogyakarta dan Jawa Timur mencapai Rp 1 triliun. Wilayah terparah di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Angka ini dari kerugian 4.888 rumah rusak, 3.212 rumah terendam dan 36 jembatan putus.

”Angka itu belum temasuk dampak ekonomi dari para korban.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,