Sudah Penetapan Hutan Adat, tetapi Beragam Kendala Ini Masih Terjadi, Mengapa?

 

 

Desember tahun ini, sudah setahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menetapkan dan mengakui hutan adat kali pertama.

Hingga akhir 2017,  ada 18 hutan adat ditetapkan. Meski sudah ada penetapan, masyarakat adat dan pendamping menghadapi beragam kendala dalam mengelola hutan. Mengapa?

“Di Kesepuhan Karang, kita itu sekarang jadi bulan-bulanan,” kata Jaro Wahid, tokoh adat Kesepuhan Karang, di Lebak, Banten, yang mendapatkan penetapan akhir Desember tahun lalu.

Menurut dia, sosialisasi mengenai penetapan kawasan hutan adat belum sampai pada pemerintahan paling bawah, misal petugas resort Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Lokasi hutan adat Kesepuhan Karang memang bersinggungan dengan TNGHS. Sebagian besar hutan adat Kesepuhan Karang dalam TNGHS. Batas-batas antara TNGHS dan hutan adat, pasca penetapan, belum ditentukan jelas.

Masyarakat adat Kesepuhan Karang,  katanya, sudah lega hutan kembali jadi milik mereka. “Sekarang pintu terbuka untuk kami bagaimana menentukan (pengelolaan) hutan,” katanya.

Namun, kegembiraan masih sering berbenturan dengan staf TNGHS yang tak tahu bahwa hutan adat telah ditetapkan hingga perdebatan-perdebatan, terutama soal pengertian konservasi yang berbeda antara masyarakat adat dan masyarakat luar masih sering terjadi.

Bagi masyarakat umum konservasi bermakna perlindungan kawasan hutan dari kerusakan dan kepunahan. Dengan kata lain,  kawasan konservasi adalah tak boleh tersentuh.

“Kami punya persepsi berbeda soal konservasi. Ada kawasan tutupan (yang tak boleh diolah) dan kawasan titipan (yang bisa dimanfaatkan),” katanya.

Perbedaan persepsi ini masih membuat masyarakat Kasepuhan Karang harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan petugas taman nasional dan aparat kepolisian kala ingin memanfaatkan hutan adat mereka.

“Kita mau ambil kopi datang lagi pertanyaan-pertanyaan ini dasarnya apa? Kami masih harus menjelaskan lagi ini soal SK hutan adat,” katanya.

Keterbatasan pengelolaan hutan sebelum penetapan membuat masyarakat adat Kesepuhan Karang hidup dalam kemiskinan. Tak sedikit masyarakat terjerat rentenir kala menjual hasil hutan. Wilayah dengan 3.252 jiwa ini memiliki standar pendidikan formal rendah, dengan 17 orang mengecap perguruan tinggi, dan 120 lulus SMA, sisanya, tamat SD.

Penghasilan masyarakat rata-rata Rp.400.000 per bulan.

“Memang ada pendidikan gratis. Tapi SMP jauh. Gratis tapi modal hidup (untuk sekolah) biaya tetap mahal.”

 

Penataan batas

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Muhammad Said mengatakan, setiap hutan adat yang sudah ditetapkan seyogianya telah tercantum dalam peta kawasan hutan di tiap provinsi.

KLHK, punya tugas menata batas hutan negara dan belum tuntas. Baru 70%, batas hutan negara ditetapkan dengan dukungan APBN. Capaian ini, katanya, meningkat dibanding 2009, sekitar 11-12%.

Catatan KLHK, dari 486 hektar hutan adat Kasepuhan Karang, 389 hektar dalam taman nasional. Sebagian hutan adat berbatasan langsung dengan taman nasional, sisanya dengan non kawasan hutan.

Selama ini, katanya, pemerintah tak pernah menata batas hutan hak. KLHK, masih memperdebatkan penataan batas yang perlu dilakukan negara terhadap hutan adat.

“Apakah semua yang bersinggungan dengan hutan adat (termasuk hutan hak individu), perlu dibatasi atau yang berbatasan dengan hutan negara saja? Pasca putusan MK/35, ini belum ada regulasinya.”

Sejauh ini, katanya, panitia tata batas kawasan hutan hanya menata yang bersinggungan dengan hutan negara. Formasi panitia inipun, perlu diubah dengan memasukkan unsur masyarakat adat.

Selain penataan batas, KLHK melalui Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) juga perlu revisi zonasi atau blok pengelolaan. Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem,  Wiratno  mengatakan,  pemerintah sedang memetakan usulan wilayah adat di area konservasi.

“Kalau dikelola masyarakat adat  sebenarnya ya nggak ada masalah,” katanya.

Pasca penetapan hutan adat, katanya, harus ada kerjasama konkrit antara pemerintah daerah, pendamping masyarakat adat dan Balai Taman Nasional atau BKSDA setempat untuk memastikan wilayah hutan adat yang telah ditetapkan legal dan legitimate.

Ke depan, katanya, revisi zonasi atas blok pengelolaan akan mengadaptasi zona masing-masing masyarakat adat bersangkutan, selain juga memperkuat peran desa karena setiap hutan adat bersinggungan dengan desa-desa.

 

Tak paham

Wiratno tak menampik ada kesenjangan informasi antara unsur pemerintah level pusat atau provinsi dengan seksi wilayah.

“Belum tentu resort atau seksi wilayah paham. Karena itu peran pendamping penting.”

Kesenjangan pemahaman antara pusat dan daerah juga diakui  Direktur Tindak Pidana Tertentu Bidang Pertanian dan Sumber Daya Alam Polri, Kombespol Irsan.

“Filosofi restorasi justice kadang tak dipahami personil di bawah. Pendidikan mereka hanya tujuh bulan tapi harus menghadapi kompleksitas masyarakat,” katanya.

Dalam konflik yang berkaitan dengan kearifan lokal,  katanya, mestinya aparat penegak hukum menggunakan azas ultimum remidium, di mana penegakan hukum jadi jalan terakhir.

Irsan mengakui, setahun pasca penetapan hutan adat, masih ada pekerjaan rumah kepolisian untuk memberikan pemahaman kepada personil yang bertugas di lapangan dalam mendukung penataan batas hutan adat.

“Batas-batas hutan adat sebetulnya membantu kami untuk mengawasi hutan,” katanya.

 

Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Model ekonomi

Selain tata batas, pekerjaan lanjutan dari penetapan hutan adat berkaitan dengan dukungan program ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat adat bergantung hidup pada hasil hutan, terutama hasil non kayu seperti kopi dan rotan.

“Perlu dipastikan hasil hutan adat ini hasil komunitas. Jangan sampai, di luar berubah nama,” kata Jaro.

Menurut Bernadinus Steni dari Perkumpulan HuMa, pasca pengakuan hutan adat aspek hukum yang perlu dipertimbangkan adalah hukum ekonomi. Advokasi pendamping masyarakat adat, katanya,  bertransformasi dari kemampuan konsolidasi kesepakatan bersama dan hukum adat jadi peraturan atau legislasi ke kemampuan merumuskan kontrak lintas batas hukum.

Dengan dominasi teknologi saat ini, ditambah intervensi negara yang sangat terbatas, penggunaan hukum dalam hubungan privat tak lagi merujuk pada hukum yang jelas dan tegas tetapi bergerak mengikuti transaksi yang ditawarkan gawai atau gadget.

“Sertifikasi sekarang tak hanya untuk produk global juga produk lokal. Semua dipasarkan secara online,” katanya.

Karena itu, produk hutan-hutan komunitas bukan lagi domain yang dikontrol semata-mata oleh komunitas, tetapi oleh standar konsumen, kemampuan informasi menjangkau pasar, dan kapabilitas teknologi.

Advokasi hukum, katanya, harus bergerak dari zona tradisional berupa tanah dan wilayah ke zona baru.

“Pendamping harus mempelajari standar pasar, memahami hukum informasi dan teknologi serta fleksibilitas hukum adat menjangkau standar pasar.”

 

Peran perempuan adat

Model ekonomi pasca penetapan hutan adat tak bisa lepas dari posisi dan perempuan adat mulai dari tingkat keluarga, komunitas, kabupaten, provinsi, nasional hingga internasional. Kondisi ini, karena perempuan adat paling terpengaruh dalam setiap perubahan wilayah adat dan hutan sebagai sumber hidup mereka.

“Wilayah adat merupakan arena rangkaian relasi sosial dan relasi kuasa berbasis gender, kelas, usia, status perkawinan, etinisitas dan agama,” kata Mia Siscawati dari program studi kajian gender Universitas Indonesia.

Posisi perempuan adat dari berbagai kelompok sosial dalam pengelolaan ruang hidup sangat signifikan karena sebagian besar kegiatan ekonomi masyarakat adat digawangi perempuan.

“Sebelum ini, wilayah adat dan perempuan adat seringkali antara dan tiada,” katanya.

Perempuan adat,  sering dianggap tak ada dalam pengambilan keputusan di berbagai tingkatan. Saat bersamaan dipaksa menjadi ada dalam situasi tertentu, misal sebelum pemilihan umum.

Krisis sosial ekologis yang sering ditemui dalam masyarakat adat melanggengkan ketidakadilan gender, berakibat kondisi pendidikan perempuan rendah, reproduksi perempuan rentan, perkawinan anak tinggi, angka kematian ibu dan bayi tinggi, perdagangan perempuan dan anak meningkat serta kekerasan terhadap perempyan dan anak meningkat.

Dalam kajiannya pada perempuan Kasepuhan Karang, dia menemukan, perempuan adat merasa lebih aman pasca penetapan hutan adat.

“Mereka terbebas dari rasa takut atas kemungkinan kekerasan,” kata Mia.

Dengan pengakuan oleh negara terhadap hutan adat, , telah membuka ruang bagi hak kolektif perempuan adat atas pengelolaan keragaman hayati seperti tanaman obat, sayuran hutan dan berbagai jenis hasil hutan non kayu lain yang punya nilai penting bagi perempuan.

Pasca penetapan, berbagai fungsi ekosistem hutan adat juga terjamin lestari, antara lain fungsi hidrologis yang menjamin ketersediaan air bersih yang memiliki nilai penting bagi kesehatan reproduksi perempuan.

“Perjuangan perempuan adat adalah perjuangan membuat perempuan adat dilihat, diakui keberadaannya, dilindungi hak, dan dilibatkan aktif dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan. Perempuan adat adalah subyek pengambilan keputusan atas dirinya, keluarga, komunitas, kampungdan wilayah adat.”

Untuk memperkuat perempuan adat pasca penatapan hutan adat, model pengelolaan komunitas harus menempatkan perempuan sebagai subyek dengan memperkuat kembali pengetahuan mereka soal pengelolaan ruang hidup.

Advokasi lanjutan harus membangun atau memperkuat kesadaran kritis perempuan atas hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai perempuan desa, perempuan adat dan sebagai warga negara.

Menurut dia, perlu juga penguatan pengorganisasian berbagai kelompok perempuan di desa hingga mendorong kepemimpinan perempuan yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender serta inklusif.

“Juga harus dipastikan hak dan kebutuhan perempuan di desa terpenuhi melalui pengaturan desa, pembangunan desa dan kawasan perdesaan sreta kebijakan dan program pemerintah lain.”

Perempuan kepala keluarga, katanya,  juga harus ditempatkan sebagai subyek dalam pengambilan keputusan tingkat desa dan terlibat penuh.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,