Media Sosial, Metode Riset Baru ala Citizen Science

 

Dua hari lalu, penulis menerima pesan WhatsApp dari teman yang meminta mengisi kuesioner penelitian skripsi Ari, keponakannya di Bandung. Skripsi Ari mengkaji dukungan orang tua terhadap anak dalam persiapan pernikahan. Respondennya adalah siapa saja yang memiliki anak berumur 18-28 tahun.

Dengan senang hati penulis mengisi kuesioner tersebut dan mengirimkan jawabannya. Proses survei jaman now yang sangat mudah dan hanya memerlukan beberapa menit waktu saja. Jauh berbeda dengan proses pengisian kuesioner jaman old.

Bayangkan, bila kids jaman now seperti Ari memiliki 10 saudara yang masing-masing menyebarkan pesan pada 50 temannya, bisa jadi ia akan memperoleh 500 data hanya dalam hitungan jam dan hari. Belum lagi jika teman-teman dari saudara-saudaranya juga ikut menyebar pesan, mungkin Ari akan mendapatkan ribuan data dalam waktu singkat.

Ini sangat jauh berbeda dengan situasi tahun 1980-an. Seorang peneliti perlu waktu berbulan-bulan mengumpulkan seratus kuesioner untuk penelitian skripsinya.

baca :Gerakan Anak Muda, Media sosial dan Permasalahan Lingkungan

Teknologi digital, baik itu platform aplikasi media sosial atau media ilmiah berbasis internet dan komunikasi yang tak kenal ruang dan waktu menyodorkan peluang pola baru penelitian : citizen science. Inilah teknik atau metode pengumpulan informasi ilmiah oleh masyarakat umum yang bukan peneliti profesional.

Data atau informasi memang berperan sentral dalam setiap kajian dan penemuan ilmiah. Dan kecanggihan media sosial sekarang, sangat memungkinkan kolaborasi peneliti profesional dan masyarakat umum untuk meneliti dan membuat penemuan baru.

Tidak heran jika dalam satu dekade terakhir, citizen science menjadi tren di berbagai belahan bumi, khususnya negara maju, seperti yang ditulis Caren Cooper dalam bukunya, Citizen Science: How Ordinary People are Changing the Face of Discovery (2016).

Di Australia, bahkan sudah terbangun Asosiasi Citizen Science – lengkap dengan beragam kegiatan berskala lokal dan nasional. Departemen pengelola sumber daya alam di negara bagian barat Australia memulai program photo-monitoring pada 2011 untuk memantau perubahan lingkungan pantai di 27 lokasi. Dua minggu sekali, lima puluh relawan mengambil foto di lokasi tertentu dengan kamera digital maupun telepon genggam. Melalui sebuah aplikasi, foto-foto mereka masuk ke basis data yang kemudian dianalisa oleh profesional.

Hanya dalam tiga tahun, lokasi pemantauan melonjak dari 27 titik menjadi 80 titik. Basis datanya berisi lebih dari 10.000 foto yang menyimpan informasi penting tentang erosi, penghijauan, muka air pantai, dan sebagainya yang sangat berguna dalam upaya pengelolaan pantai yang berkelanjutan.

baca : Perdagangan Satwa Lewat Sosial Media Makin Menggila, Berikut Datanya

Banyak pula penyelam amatir mengamati dan menyumbang foto hiu paus yang mereka temui saat menyelam di Teluk Cendrawasih, Papua, pada program Birds Head Seascape Whale Shark ID database. Basis data ini memungkinkan para peneliti memahami perilaku dan kehidupan hiu paus di wilayah penting segitiga terumbu karang dunia tersebut.

 

Seorang peneliti sedang menyelam bersama hiu paus atau whale sharks di Teluk Cendrawasih, Papua. Foto : Shawn Heinrichs/Conservation International/Mongabay Indonesia

 

Program Flora Indonesia yang diprakarsai Universitas Gunadarma juga mengaplikasikan teknik citizen science untuk survei dan pendataan flora di Kalimantan. Tak ketinggalan, Citizen Science Indonesia juga telah memiliki akun Facebook untuk berbagi informasi dan berdiskusi.

Pengaplikasian Citizen Science memiliki beberapa manfaat.

Pertama, membuka peluang bagi siapa saja untuk berkontribusi dalam penelitian, sepanjang tertarik melakukan kegiatan kerelawanan – tak peduli latar pendidikan, jabatan, dan lainnya. Kedua, biaya penelitian dapat diminimalisasi. Untuk skripsinya, Ari hanya perlu telepon genggam, pulsa internet, dan keterampilan menyusun survei berbasis internet. Orang lain yang akan membantu memviralkan pesannya. Ketiga, cakupan ruang dan waktu penelitian dapat diperluas sesuai kebutuhan.

Dalam kegiatan Flora Indonesia, survei dapat dilakukan hingga seluruh pelosok wilayah yang selama ini tak terjamah peneliti profesional yang tidak menggunakan teknik ini.

Media sosial dan teknologi digital pun memungkinkan Ari mendapat responden di seluruh Indonesia, bahkan mancanegara. Bisa jadi data tersebut dapat membawa Ari melanjutkan penelitiannya S2-nya. Misalnya saja untuk skripsi S1 Ari fokus meneliti dukungan orang tua di Indonesia, sementara tesis S2 mengkaji lebih lanjut perbedaan dukungan orang tua yang tinggal di Indonesia dan negara lain.

baca : Ayo, Perangi Perdagangan Satwa Liar Dilindungi di Media Sosial

 

Kaidah Ilmiah

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi citizen science. Karena relatif baru, belum banyak protokol atau kaidah yang mengatur hal-hal terkait standardisasi pengukuran, akurasi pengamatan, unsur subyektivitas individu relawan, dan sebagainya.

Tipe atau jenis responden dalam skripsi Ari amat bergantung pada karakter jaringan sosial saudara-saudara atau teman-teman yang membantu memviralkan survei. Kesimpulan penelitian pun mungkin saja tidak sama jika misalnya responden dipilih secara acak.

Pada program photo-monitoring, sudut pengambilan foto oleh relawan bisa jadi tak sama dari satu momen ke momen lain. Mungkin saja akurasi datanya tidak seragam apabila datanya digunakan untuk mengkaji perubahan tinggi muka air pantai, misalnya. Demikian pula jika kecanggihan alat ukurnya berbeda-beda. Dalam hal ini, perlu langkah tambahan misalnya ‘kalibrasi’ sebelum foto terkait digunakan untuk menganalisa hal yang membutuhkan akurasi tinggi.

Selanjutnya, protokol pengukuran atau pengamatan perlu dibuat sedemikian rupa sehingga sederhana dan mudah dilakukan siapa saja. Kuesioner berbasis internet akan lebih menarik minat responden jika pertanyaannya sedikit, ringkas dan padat.

 

Pesut mahakam di perairan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Foto ini diambil dari akun Media Sosial Facebook milik RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia). Saat ini, media sosial berperan penting untuk menyebarkan dan mendapatkan beragam informasi dan data yang dibutuhkan seseorang, termasuk tentang satwa langka dan dilindungi, Pesut Mahakam.  Foto: akun Facebook RASI/Mongabay Indonesia

 

Di Sydney dan Goald Coast, Australia, peneliti dan masyarakat berkolaborasi membangun protokol untuk memantau kualitas air laut di sekitar muara sungai yang tercemar. Perlengkapannya sederhana, hanya terdiri dari papan selancar, ransel, es dan termos es. Kesinambungan pelaksanaannya tergantung pada relawan. Oleh karenanya, komunikasi yang efektif melalui media sosial juga menjadi amat dibutuhkan untuk menarik relawan.

Citizen science juga menuntut para peneliti siap berhadapan dengan big data. Analisa big data memerlukan kreativitas, keterampilan pemrograman data, ketajaman berpikir, kemampuan berkomunikasi, dan lainnya. Peneliti perlu menyusun strategi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memilah data yang akan dianalisa dan yang tidak.

 

Bagaimana ke Depannya?

Meskipun istilah citizen science itu relatif baru, namun sebetulnya kegiatan yang melibatkan sukarelawan amatir sudah dilakukan sejak lama walau mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Adanya internet, media sosial dan kemajuan teknologi membuat penggunaan teknik ini meningkat secara global.

Dan peningkatan itu diperkirakan akan berlanjut. Berdasar basis data Scopus, penulis mencatat kenaikan jumlah paper jurnal ilmiah internasional terkait dengan citizen science dari tahun ke tahun. Tahun 2000 jumlahnya hanya 143. Ini berkembang menjadi 691 pada tahun 2010 dan 1.618 pada tahun 2017. Topiknya beragam: ilmu lingkungan, biologi, arkeologi, energi, ilmu komputer dan lainnya.

Karya ilmiah Ria Follett dan Vladimir Strezov terbitan PLOS ONE 2015 menjelaskan beragam peran yang dapat dilakukan oleh sukarelawan. Secara umum adalah sebagai kontributor atau kolaborator dalam pengumpulan data dan penyebar luasan hasil. Terkadang sebagai sumber dana, lewat crowdsourcing, ataupun analisa sampel dan data. Bahkan bisa pula sebagai co-creator dimana sukarelawan berpartisipasi disemua tahapan sebuah proyek, mulai dari mendefinisikan pertanyaan penelitian, pengembangan hipotesa hingga interpretasi hasil dan pengambilan kesimpulan.

Follett dan Strezov juga menyebutkan bahwa aplikasi citizen science itu sendiri telah memunculkan topik kajian baru. Misalnya, penelitian tentang teori dan metode citizen science, validasi tekniknya, cara memotivasi sukarelawan dan lainnya.

Citizen science memungkinkan masyarakat terlibat langsung dalam riset sains. Keterlibatan itu bisa menjadi sarana pendidikan mereka untuk mengetahui dan menyadari isu-isu lokal hingga dunia, misalnya perubahan iklim global. Juga, dengan berkontribusi langsung dalam proses penemuan ilmu pengetahuan mereka dapat menyadari peranan penting sains dalam peradaban manusia. Boleh jadi dalam proses itu akan muncul ilmuwan-ilmuwan cemerlang kelas dunia dari Indonesia.

Oleh karenanya, peluang emas citizen science perlu segera ditangkap dan dimanfaatkan bagi kemajuan ilmu pengetahuan Indonesia.

* * *

*Dr. Dewi G.C. Kirono, peneliti utama di CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation) Australia

**Dr. Agus Supangat, peneliti senior di Pusat Perubahan Iklim ITB Bandung

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,