Pertengahan Februari lalu, jagat maya khususnya di dunia satwa cukup heboh. Apa itu? Entah sengaja atau tidak, yang pasti ada dua even yang sama-sama direncanakan berlangsung pada 4 Maret, yakni perburuan satwa. Satu acara di Desa Karangmojo, Kecamatan Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng).
Di lokasi tersebut, panitia menurut rencana menyelenggarakan perburuan burung pipit atau emprit yang telah dianggap sebagai hama tanaman padi. Sedangkan satunya lagi juga di Jateng berada di Paguyangan, Brebes, rencananya juga digelar hunting bursama tupai dan babi hutan yang diselenggarakan oleh Rang Rang Hunting Community.
Salah satu LSM peduli satwa yakni Centre for Orangutan Protection (COP) misalnya langsung bergerilya untuk mengajak semua pemerhati satwa untuk peduli. Mereka diminta agar mengirimkan SMS kepada panitia.
baca : Para Pemerhati Satwa Serukan Pengawasan Senapan Angin. Kenapa?
COP juga mengingatkan kalau ada kegiatan serupa di Paguyangan, Brebes, Jateng. Dalam acara yang digelar oleh Rang Rang Community itu, mereka menggelar lomba berburu hama atau hunting bareng (hunbar) dengan iming-iming hadian satu unit senapan angin. “Berdasarkan Peraturan Kapolri No.8 tahun 2012, senapa angin hanya digunakan untuk latihan menembak sasaran di arena. Dengan demikian penggunaannnya untuk berburu jelas salah,” tegas Hery Susanti, Koordinator Anti Wildlife Crime COP dalam situs resminya.
Kerasnya protes yang dilakukan oleh warga dan pemerhati satwa juga dirasakan oleh Ketua Panitia Berburu Hama Burung Pipit, Joko Paryanto. Ia mengaku kalau sebetulnya acara tersebut digelar setelah melihat repotnya para petani menjaga tanaman padi milik mereka. “Kegiatan ini semata-mata merespons apa yang dirasakan oleh para petani. Bayangkan saja, mereka harus menunggui areal sawahnya untuk menghalau burung pipit tersebut. Dari pagi siang hingga sore,” ungkapnya saat dihubungi Mongabay Indonesia pada Kamis (1/3/2018).
baca : Mengenaskan, Orangutan ini Mati Ditembus 130 Peluru
Menurutnya, rencananya panitia hanya akan mengikutkan para peserta lokal saja, misalnya dari Sukoharjo, Klaten dan Solo. “Durasi waktu menembak juga tidak terlalu panjang. Saya sih yakin, kalau dilaksanakan, satu orang maksimal hanya mendapatkan 10 ekor. Sehingga sebetulnya tidak ada masalah dengan hilangnya populasi. Paling hanya menurunkan sedikit, apalagi menurut petani, burung sudah menjadi hama. Intinya sebetulnya kegiatan ini hanya untuk membantu petani,” ujarnya.
Joko mengaku setelah ada pengumuman itu di media sosial, dirinya yang mencamtumkan nomor telepon, tidak hanya mendapat SMS atau telepon dari calon peserta, melainkan juga dari pemerhati satwa. “Terus terang banyak sekali SMS yang masuk ke nomor telepon saya maupun lewat WA saya,”katanya.
baca : Memprihatinkan… Pemilik Akun Facebook Ini Unggah Foto Hasil Tembak Burung
Dihubungi terpisah, Pegiat Rang Rang Community, Abilawa, yang mengagas acara Hunbar Hama di Paguyangan Brebes juga mengungkapkan kalau sebetulnya acara tersebut hanya sebagai kumpul-kumpul para penghobi menembak. “Ide ini muncul, sebetulnya hanya mengundang teman-teman satu hobi menembak untuk bersilaturahmi sambil mengumpulkan dana untuk membantu korban longsor di Brebes. Dalam acara itu, kami akan menyelenggarakan berburu dengan senapan angin. Jadi, nanti akan berburu tupai dan babi hutan,”ujarnya.
Sebab, lanjut Abilawa, di sejumlah tempat, tupai telah menjadi hama bagi warga yang memiliki pohon kelapa. Demikian juga dengan babi hutan yang kerap masuk ke ladang-ladang milik penduduk dan merusak palawija. “Saya kasih contoh, di sekitar Bantarkawung, Brebes, serangan babi hutan cukup mengkhawatirkan. Tanaman palawija milik petani yang terdiri dari jagung, ketela pohon dan lainnya rusak akibat serangan babi hutan. Sudah dua tahun terakhir terjadi. Hal-hal inilah yang menjadi keprihatinan kami sehingga kemudian muncul ide semacam itu,” katanya.
baca : Menyedihkan…. Oknum PNS Unggah Foto Perburuan Beruang Madu Di Facebook
Acara Dibatalkan
Munculnya protes warga dan pemerhati satwa yang melaporkan kegiatan tersebut ke Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jateng maupun langsung SMS ke panitia membuahkan hasil. BKSDA Jateng bergerak cepat setelah mendapatkan banyak laporan dari masyarakat. BKSDA bergerak serta menghubungi panitia yang kemudian acaranya dibatalkan.
Dalam situs resminya, COP menyatakan terima kasihnya. “Kalian memang hebat. SMS yang dilayangkan membiat panitia gerah. Rencana kegiatan baksos dan lomba berburu burung emprit di Desa Karangmojo, Kecamatan Weru, Sukoharjo, Jateng dibatalkan,” tulis situs resmi COP.
Joko Paryanto, Ketua Panitia Berburu Hama Burung Pipit Sukoharjo menceritakan kalau dirinya dihubungi oleh petugas dari BKSDA Jateng terkait dengan rencana perhelatan acara tersebut. “Saya menceritakan apa adanya, kalau kegiatan itu sebetulnya semata-mata hanya membantu petani saja. Petugas dari BKSDA Jateng mengatakan agar panitia membatalkan acara tersebut. Yang diperbolehkan oleh BKSDA adalah petani menghalau saja burung-burung tersebut dengan peralatan tertentu seperti membunyikan peralatan bunyi-bunyian yang dipasang di sawah. Ya sudah, kami menurut saja,” katanya.
Demikian juga dengan Abilawa dari Rang Rang Community Brebes yang membatalkan acara Hunbar tupai dan babi hutan. “Saya ditelepon dari BKSDA Jateng wilayah Pemalang. Karena itu, penting, maka kami ke kantornya di Pemalang dan bertemu dengan petugas di sana. Di kantor BKSDA wilayah Pemalang, kami mendapatkan informasi kalau berburu semacam itu, tidak bisa langsung diadakan. Membutuhkan prosedur khusus untuk menggelar acara tersebut. Saya berterima kasih, karena sebagai orang awam tidak tahu,”kata Abilawa.
Menurut Abilawa, setelah melakukan koordinasi dengan BKSDA, secara sadar pihak panitia akhirnya membatalkan acara tersebut. “Sebagai warga, kami akan patuh aturan. Itikad baik kami jelas, apalagi kami datang ke Pemalang untuk berkoodinasi dengan BKSDA meski cukup jauh jaraknya. Kalau akan melakukan kegiatan semacam itu, maka harus ada kajian terlebih dahulu. Misalnya sudah menjadi hama sekalipun, tetap harus ada kajian terlebih dahulu serta pembatasan. Intinya, perlu berkoordinasi dengan BKSDA. Tapi begini, intinya kami patuh dan membatalkan acara itu,”tegasnya.
baca : Kembali Ke Alam, Petani Bali Gunakan Burung Ini Atasi Hama Tikus
Sementara Koordinator Polisi Hutan (Polhut) BKSDA Jateng Heru Sunarko mengakui kalau pada pekan terakhir Februari jagad dunia maya cukup ramai dengan isu lomba berburu, satu di Sukoharjo dan satunya di Brebes, keduanya wilayah Jateng yang menjadi tanggungjawab BKSDA Jateng. “Kami mendapat laporan dari masyarakat dan pemerhati satwa terkait rencana dua acara itu. Meski waktunya tinggal menghitung hari menjelang hari H, kami berupaya untuk menghubungi mereka. Kami memberikan sosialisasi yang dilakukan oleh teman-teman di daerah,”jelas Heru.
Menurutnya, kegiatan semacam itu tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Apalagi, ada justifikasi kalau satwa yang bakal diburu sudah dikategorikan hama. “Justifikasi satwa jenis tertentu sebagai hama tidaklah gampang. Harus ada telaah dan kajian mengenai satwa jenis tertentu dikatakan sebagai hama. Satu sisi, kita apresiasi niat mereka membantu petani, namun di sisi lain tidak gampang mengatakan sebagai hama. Oleh karena itu, kami turun ke lapangan untuk memberitahu mereka dan melakukan sosialisasi,”katanya.
Setelah ada komunikasi, panitia menyambut baik apa yang dilakukan oleh BKSDA Jateng. “Panitia secara sadar membatalkan acara tersebut. Jadi, secara tegas saya katakan bahwa pada 4 Maret, tidak ada acara berburu hama dan hunbar di Sukoharjo maupun Brebes. Panitia telah memastikan kalau acara tersebut batal,”tandas Heru.
baca : Satwa Ini Bantu Petani Halau Hama Tikus
Heru mengatakan bahwa perburuan hama tidaklah haram, namun harus tetap dalam koridor aturan yang sangat ketat. “Tahun lalu, BKSDA bersama Perbakin melakukan pengurangan populasi babi hutan yang menyerang lahan pertanian di wilayah Kajen, Pekalongan. Ketika itu ada perburuan babi hutan yang disupervisi oleh BKSDA Jateng. Ada juga surat izin senjata dari Polda Jateng. Itu pun hanya terbatas di lahan pertanian warga. Hewan yang diperbolehkan diburu dengan kriteria khusus, misalnya jenis kelamin serta beratnya. Jadi, meski dapat dilakukan namun harus melalui kajian dan sesuai dengan aturan,” tegasnya.
Ia mengakui, untuk satwa-satwa yang tidak dilindungi, pemantauan dan penanganannya cukup sulit. Sebab, tidak ada aturan hukum yang secara tegas mengatur. “Untuk hewan atau satwa yang dilindungi kelas undang-undangnya sekaligus penindakan dan ancaman hukumnya. Namun, yang jadi persoalan adalah bagaimana dengan satwa yang tidak dilindungi. Oleh karena itu, BKSDA Jateng mendorong, agar daerah menerbitkan perda atau pemerintahan desa mengeluarkan peraturan desa (perdes). Sehingga bisa melengkapi UU No.5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem,” jelasnya.
Di Jateng, lanjut Heru, sudah ada beberapa daerah yang mengeluarkan kebijakan perlindungan satwa. Misalnya saja Pemkab Temanggung yang menelurkan Perda No.3/2017 tentang Pelestarian Satwa serta ada juga Desa Melung di Kabupaten Banyumas yang melarang perburuan satwa di desa setempat. “Inisiatif-inisiatif semacam ini tentu akan melengkapi aturan yang telah ada untuk melestarikan satwa dan lingkungan,”tandasnya.
baca : Hebat..! Warga Lereng Slamet Gagalkan Transaksi Elang di Desanya