Mongabay.co.id

Tambang Pasir Laut Itu Membuat Nelayan Pantai Labu Menderita

Ratusan nelayan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), melakukan aksi di laut Selat Malaka, Selasa (17/4/2018). Protes keras mereka tujukan kepada Pemerintah Deli Serdang dan Sumatera Utara yang dianggap membiarkan terjadinya kerusakan di sepanjang Pantai Labu, akibat pengerukan pasir laut yang berlangsung tahunan.

Pasir yang dikeruk itu berdampak negatif pada lingkungan, menyebabkan terjadinya abrasi, merusak mangrove, membuat tangkapan ikan berkurang, hingga mengancam wilayah hidup mereka. Keluhan berulang telah disampaikan nelayan ke pemerintah kabupaten dan provinsi, namun tidak ada respon. Pasir diambil untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan ekonomi, merupakan jawaban yang selalu mereka terima tiap kali menyampaikan aspirasi.

“Akan kami hadapi, jika ada kapal yang ingin mengeruk pasir laut di Pantai Labu. Cukup sudah kesabaran kami dan kami tak mau desa ini tenggelam akibat abrasi. Kehidupan kami harus diperhatikan, Indonesia harus bergerak dan hentikan tambang pasir ini,” ungkap Nazaruddin, nelayan yang ikut aksi.

Dia menjelaskan, pengerukan sudah dilakukan pada 2008. Lalu, di 2015, ada CV. Amana Jasa Utama yang mengeruk pasir laut untuk penimbunan PLTU Paruh Kurau Hamparan Perak, Deli Serdang. Perusahaan hanya setahun beroperasi. Setelah itu, masuk PT. Pandu Paramitra yang membutuhkan pasir tiga juta meter kubik untuk penimbunan dermaga Belawan, Medan. Kegiatan itu selesai November 2017.

Baca: Akhirnya, Kelompok Tani dan Nelayan Ini Peroleh Hak Kelola Hutan Mangrove di Langkat

 

Aksi nelayan Pantai Labu menolak tambang pasir yang menyebabkan abrasi dan berkurangnya hasil tangkapan mereka. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pengerukan kembali berlanjut hingga saat ini, dengan masuknya perusahaan Citta Trahindo Pratama. Kebutuhannya, menimbun dermaga Belawan juga, sebanyak satu setengah juta meter kubik pasir. “Ini berbahaya, abrasi makin menjadi,” ujarnya.

Nazaruddin bersama tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, telah melakukan perhitungan dampak pengerukan pasir laut. Salah satunya, akan tenggelamnya sejumlah desa yang ada di Kecamatan Pantai Labu. Abrasi sudah terjadi seluas 200 meter, termaksud merusak hutan mangrove, dampak pengerukan 2008 lalu.

Desa yang terdampak 10 tahun terakhir adalah Denai Kuala, Paluh Supaji, Pantai Labuh Pekan, Rehgemuk, Rantau Panjang, dan Bagan Serdang. “Bayangkan, pada 2008, pasir yang dikeruk mencapai 300 juta meter kubik. Bagaimana jika dikeruk 38 juta juta meter kubik lagi? Habislah kami,” ungkapnya.

 

Desember 2017, posisi pantai ini masih 100 meter dari laut. Kini sudah semakin mendekati hutan bakau Pantai Labu akibat abrasi, dampak tambang pasir. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kembalikan Kalpataru 

Anwar atau dikenal dengan panggilan Ucok Bakau, penerima Kalpataru dari Presiden, mengancam akan mengembalikan penghargaan tersebut jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan.

Menurutnya, ada beban sekaligus amanah selama memegang Kalpataru. Di satu sisi, ia berjuang menyelamatkan pesisir pantai dan hutan mangrove, namun di sisi lain pemerintah membiarkan pengerukan pasir laut. Berbanding terbalik.

“Untuk apa saya mendapatkan Kalpataru ini? Pemerintah memberikan penghargaan ini kepada orang-orang yang mereka anggap berperan dalam penyelamatan alam. Fakta di lapangan, pengrusakan terus terjadi. Saya akan kembalikan saja,” ujarnya.

 

 

Anton Sipayung, Manager Program Wilayah Kelola Rakyat, Walhi Sumut menyatakan, kawasan hutan mangrove di Pantai Labu kini hancur akibat abrasi. Ini dikarenakan pengerukan pasir laut berjarak dua mil dari tepi pantai.

“Kami dari Walhi Sumut mengecam keras perusakan laut melalui cara pengerukan pasir. Kami mendesak pemerintah menghentikan kegiatan ini, jika tidak ancaman sejumlah desa akan tenggelam tidak terelakkan.”

Penderitaan warga desa di Pantai Labu sudah terjadi sejak 2008. Mereka dibodohi, dianggap setuju. Itu tercantum dalam berkas yang diajukan sejumlah perusahaan, padahal warga menolak. Untuk perlawanan, mereka akan melakukan gugatan hukum.

“Kami tengah menyusun berkas dan mengumpulkan bahan untuk melakukan gugatan. Pemerintah harus menghentikan tambang pasir laut, utamakan nasib rakyat, bukan pemodal,” tambah Golfrid Siregar, Manager Hukum Walhi Sumut.

 

Ratusan nelayan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) ini menolak keberadaan tambang pasir laut yang membuat hidup mereka menderita. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Sumiati Surbakti, Dewan Daerah Walhi Sumut mengatakan, berdasarkan hasil invesitagi, kerusakan akibat pengerukan pasir laut oleh PT. Citta Trahindo Pratama dan PT. Pandu Paramitra, berupa abrasi laut. Abrasi mencapai 200 meter dari bibir pantai, wilayah ini awalnya 30 meter merupakan daratan pesisir dan 70 meter hutan mangrove.

Dampaknya, mengancam kehidupan nelayan yang selama ini menggantungkan perekonomiannya pada ikan dan udang. “Walhi Sumut merekomendasikan, segera cabut izin tambang pasir laut di Kecamatan Pantai Labu. Rehabilitasi mangrove yang rusak dan mendesak perusahaan memberikan kompensasi pada masyarakat yang dirugikan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version