Kisah Warga Desa Tanah Pilih, Memiliki Lahan Pertanian di Sembilang

 

Ketika Taman Nasional Berbak Sembilang ditetapkan Unesco sebagai cagar biosfer, sebagian besar warga Desa Tanah Pilih, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, yang jumlahnya sekitar 1.500 jiwa, menjadi tidak tenang. Kenapa?

Ditetapkannya TN Berbak Sembilang sebagai cagar biosfer membuat masa depan status lahan desa kami kian tidak menentu. Lahan yang sudah dikelola kami selama puluhan tahun, kemudian diambil taman nasional (TN Berbak Sembilang), sampai saat ini belum dikembalikan lagi kepada kami.

“Penetapan cagar biosfer itu bukankah kian memperlemah posisi kami. Itulah yang menyebabkan warga di desa kami menjadi tidak tenang,” kata Zainal Abidin, Kepala Desa Tanah Pilih, kepada Mongabay Indonesia, Juli 2018.

“Seharusnya sebelum diusulkan menjadi cagar biosfer persoalan lahan kami tersebut diselesaikan dulu,” lanjutnya.

Baca: Apa Kabar Harimau Sumatera di Lanskap Sembilang?

 

Nurdin, Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Tanah Pilih di kebun pinang milik keluarganya. Kebun ini juga dijadikan pemerintah sebagai kawasan konservasi TN Berbak Sembilang. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Desa Tanah Pilih, sebuah desa yang berada di dalam Taman Nasional Berbak Sembilang, juga desa pembatas Sumatera Selatan dengan Jambi. Desa ini berada di tepi Sungai Benu. Dalam bahasa Bugis, benu artinya air meluap atau penuh. Warga desa ini jika ingin ke Palembang, ibukota Sumatera Selatan, menggunakan speedboat dengan waktu tempuh sekitar enam jam. Jika ke kota Jambi dapat dilakukan jalan darat sekitar empat jam. Lebih mudahnya mengakses kota Jambi, membuat sebagian besar hasil pertanian dan perkebunan warga Desa Tanah Pilih dijual ke kota angsa duo itu.

Tahun 1970, sebanyak delapan petani dari Bugis, Sulawesi Selatan, membuka hutan di sekitar Sungai Terusan Luar, pesisir timur Sumatera Selatan, untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan kelapa. Kedelapan petani yang dipimpin Haji Bawang diberi izin Pesirah Marga Sungsang, yang memiliki otoritas terhadap wilayah tersebut.

Hutan mangrove dan hutan gambut yang mereka buka tersebut kemudian dijadikan persawahan dan perkebunan kelapa. Selama proses pembukaan lahan tersebut beberapa warga tewas dan terluka diserang satwa liar, seperti beruang madu dan harimau. Dalam ingatan warga, tercatat lima warga yang tewas akibat berkonflik dengan harimau sekitar tahun 1974-1975.

“Kami bertaruh nyawa membuka perkebunan dan persawahan ini. Sebelum membuat pondok, kami tidur di atas pohon guna menghindar binatang buas. Saat itu tidak ada alat pemotong mesin. Semua peralatan manual mengandalkan kekuatan tangan,” kata Abdul Halim, warga Desa Tanah Pilih.

Guna memenuhi kebutuhan hidup, mereka mencari ikan di sungai. Sementara beras dipasok dari Jambi, yang perjalanannya membutuhkan waktu tiga hari. Sebab dibawa dengan berjalan kaki.

Baca: Mangrove yang Memberi Harapan Nelayan Sembilang

 

Desa Tanah Pilih (kanan) masuk ke wilayah Sembilang, Sumsel. Desa Sungai Benu (kiri), masuk wilayah Berbak, Jambi. Sebagian warga Desa Tanah Pilih menjadi nelayan selain bertani dan berkebun. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dua tahun kemudian, setelah sawah menghasilkan padi, dan pohon kelapa mulai tumbuh, datanglah keluarga kedelapan petani tersebut, termasuk petani lainnya dari Bugis.

Mereka membangun rumah panggung untuk bermukim. Lahan yang terbuka kemudian dibuat parit yang lebarnya 1-2 meter dengan kedalaman 1-1,5 meter. Panjangnya setiap parit sekitar lima kilometer. Pada setiap pangkal parit dibuat pintu air manual, yang dapat dibuka dan ditutup. Gunanya untuk menata air perkebunan, khususnya persawahan. Buka dan tutup parit tergantung pasang dan surutnya air.

Berdasarkan peta lokasi pertanian pasang surut Sungai Benu dan Sungai Terusan Luar yang dikeluarkan Marga Sungsang dan ditandatangani pesirahnya Ishak H Usman pada 19 September 1975, terdapat 21 parit di sepanjang Sungai Benu dan 15 parit sepanjang Sungai Terusan Luar. Sampai saat ini parit itu masih ada, beserta tanaman kelapanya.

Kenapa mereka memilih lokasi di sekitar Sungai Terusan Dalam? “Di sana banyak tumbuh pohon nibung. Jika banyak pohon nibung maka bagus untuk berkebun kelapa. Itulah tanah yang kami pilih,” kata Abdul Halim.

Baca juga: Burung Migran dan Kecemasan Lingkungan di Sembilang

 

Rumah-rumah walet bercat putih tampak lebih tinggi dan mewah dibandingkan rumah tinggal masyarakat Desa Tanah Pilih, Banyuasin, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Tahun 1996, wilayah pemukiman tersebut ditetapkan sebagai desa definitif. Luasnya mencapai 70 ribu hektar. Namanya Desa Tanah Pilih. “Pilihan nama itu karena memilih wilayah ini karena banyaknya pohon nibung yang baik untuk berkebun kelapa,” ujar Zainal Abidin.

Sekitar 68 ribu hektar diambil pemerintah untuk kawasan konservasi TN Berbak Sembilang. Dari 68 ribu, sekitar 24.700 hektar sudah diusahakan menjadi persawahan dan perkebunan.

Selanjutnya berkembanglah desa ini menjadi desa yang makmur. Warga tidak hanya bersawah dan berkebun kelapa, juga mencari ikan. Saat berkembang bisnis sarang burung walet, warga pun membuat rumah-rumah walet. Dalam beberapa tahun terakhir pun berkebun pinang, dan telah menghasilkan.

Menurut Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, yang melakukan penelitian di wilayah ini, dalam tulisannya “Desa Multikultur: Belajar Memaknai Lingkungan ala Orang Tanah Pilih” menyebutkan warga desa ini multikultur.

“Inti dari sistim multikultur warga Tanah Pilih, menggantungkan kehidupan tidak hanya pada satu sisi saja. Apapun yang bisa dilakukan, selagi mampu memaknai kekhasan alam ini, patut dan harus dikerjakan. Maka sulitlah untuk memberikan satu identitas pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS) ini. Mereka bisa dikatakan sebagai nelayan, bisa pula sebagai petani, dan tak salah pula jika disebut pengusaha sarang burung walet,” tulis Yenrizal.

 

Pintu air sederhana ala Desa Tanah Pilih yang digunakan untuk mengatur air pasang surut di parit. Foto: Yenrizal

 

Verifikasi ulang

Kecemasan atau ketenangan warga mulai terusik setelah pemerintah menetapkan Taman Nasional Sembilang tahun 2003. Wilayah Desa Tanah Pilih masuk kawasan konservasi tersebut.

“Saat itu warga dapat tenang sebab kades sebelum saya mengatakan pemerintah tidak akan mengusir kami,” kata Zainal Abidin.

“Namun, di penghujung 2017 kami terkejut, sebab tanah kami, termasuk rumah dan kebun, lahannya tidak dapat dibuat sertifikat gratis dari pemerintah. BPN menyebut tanah kami masuk dalam zona konservasi sehingga tidak dapat dibuat sertifikat, kecuali ada surat pembebasan kawasan dari pemerintah. Yang ada justru sekitar 2.000 hektar lahan yang berupa semak belukar atau yang belum dikelola dapat dibuat sertifikat. Ini kan aneh,” kata Zainal.

Para perintis atau pembuka lahan di Desa Tanah Pilih, pun memberikan reaksi cukup keras. “Lebih baik saya mati ditembak dari pada tanah ini diambil negara. Saya dan kawan-kawan bertaruh nyawa untuk membangun kebun, sawah dan permukiman di sini. Kami mengelola tanah ini jauh sebelum adanya taman nasional. Jika memang dilarang, kenapa tidak sejak tahun 1970-an dulu,” kata Paduppai, warga Desa Tanah Pilih.

“Mati, itu jauh lebih baik dari pada tanah kami diambil negara,” kata Abdul Halim. “Kami patuh dengan hukum. Kami ini sudah sah menjadi desa sejak 1996, kok desa kami tiba-tiba dijadikan taman nasional,” lanjutnya.

Ambo Eccek, Ketua RT.03 Desa Tanah Pilih mengatakan, saya berharap pemerintah pusat segera mengambil langkah sehingga konflik antara warga Desa Tanah Pilih dengan TN Berbak Sembilang tidak meruncing. Bebaskanlah tanah kami ini dari kawasan konservasi,” katanya.

 

Salah satu kawasan di hulu Sungai Benu, Desa Tanah Pilih, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, yang diperkirakan menjadi lintasan para penebang liar di hutan Sembilang. Foto: Bayu

 

Adio Syafri dari Hutan Kita Institute (HaKI) mengatakan, satu-satunya cara menyelesaikan konflik antara warga Desa Tanah Pilih dengan TN Berbak Sembilang adalah pemerintah harus segera melakukan verifikasi ulang tentang kawasan Desa Tanah Pilih yang di-enclave pada 2014 lalu,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Jumat (24/8/2018).

“Sebab kawasan yang di-enclave jauh dari kawasan yang telah dikelola masyarakat selama puluhan tahun. Jika warga menerima kawasan baru, itu juga sama dengan membiarkan TN Berbak Sembilang kian luas diakses masyarakat. Kenapa? Mana mungkin masyarakat tidak akan mengakses kebun kelapa dan pinang mereka yang sudah dikelola selama puluhan tahun,” jelas Adio.

Dijelaskan Adio, Desa Tanah Pilih setelah dimasukan dalam kawasan TN Sembilang (TN Berbak Sembilang), akhirnya ditetapkan sebagai zona khusus dengan mempertimbangkan fungsi, kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Ini berdasarkan Permenhut No.P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonai Taman Nasional, dan di-enclave pada 2014.

Adio menjelaskan, saat ini ada perubahan perilaku masyarakat di Desa Tanah Pilih. “Mereka kini lebih peduli terhadap Sembilang, artinya turut mencegah berbagai tindakan yang merusak Sembilang, seperti perambahan, perburuan liar dan pembakaran. Jika konflik tidak selesai, bukan tidak mungkin sikap mereka menjadi sebaliknya,” katanya.

Hasil monitoring tahun 2002-2004 oleh Wetlands IIP menunjukkan, Sungai Terusan Dalam dan Sungai Benu menjadi lokasi kegiatan illegal logging. Sungai Terusan Dalam dijadikan sarana transportasi kayu hasil tebangan, khususnya kayu tumu (Briguiera sp), sementara di Sungai Benu terdapat lokasi pengolahan kayu (tampa). “Penelitian terakhir, antara 2010-2015, hulu Sungai Benu menjadi lokasi transportasi angkutan kayu hasil penebangan liar di Sembilang. Waktunya sekitar 1,5 jam dari lokasi penebangan di Sembilang hingga ke hulu Sungai Benu,” jelas Adio.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,