PEMERINTAH menargetkan mencapai cadangan pangan sampai 10 juta ton tahun 2014. Dalam mencapai target, pemerintah menggunakan strategi jangka pendek dengan penggunaan input eksternal tinggi, seperti benih hibrida, pupuk kimia dan penerapan pestisida untuk pengendalian hama.
Koalisi Rakyat Pembangunan untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) meminta pembangunan pertanian mesti lebih berorientasi jangka panjang dengan mengedepankan penggunaan sumber daya lokal ramah lingkungan. “Dengan cara ini, kedaulatan pangan akan dapat diwujudkan tanpa tergantung pada negara lain dan korporasi asing,” kata Said Abdullah, officer advokasi dan jaringan KRKP, dalam siaran pers pekan lalu.
Said mengatakan, kebijakan peningkatan produksi menggunakan input luar yang tinggi terutama benih hibrida dan pestisida, sebagian besar diimpor dari luar negeri. “Ini tentu memprihatinkan. Cara ini hanya akan melahirkan ketergantungan, jauh dari keberlanjutan. Dengan cara ini kedaulatan pangan akan dapat diwujudkan tanpa tergantung pada negara lain dan korporasi asing,” ujar dia.
Pilihan benih hibrida, pupuk kimia dan penerapan pestisida dinilai tidak sanggup menjamin peningkatan produksi jangka panjang. Swasembada tahun 2009, hanya sesaat. Setahun setelah impor kembali sebagai indikasi ketidakcukupan, laju produksi tidak seperti sesuai target, hanya sekitar tiga persen per tahun.
Pemerintah menjadikan perubahan iklim sebagai penyebab utama kegagalan produksi. Menurut Said, menyalahkan perubahan iklim tidaklah bijak. “Perubahan iklim fenomena alam yang terjadi di seluruh muka bumi. Tak bisa tidak perubahan iklim harus dihadapi dengan cerdas dan strategi tepat.”
Kebijakan peningkatan produksi beras nasional (P2BN) tak hanya meningkatkan produksi juga melahirkan dampak negatif pada lingkungan. Ekosistem pertanian padi menjadi tidak seimbang. Daya dukung lingkungan kian melemah. Kondisi ini bisa dilihat terjadi ledakan (outbreak) hama wereng dan penggerek batang pada tahun 2010-2011.
Setelah terjadi tahun 1998, ledakan wereng menyerang Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2010. Sedikitnya 128.738 hektare pertanaman padi yang membentang dari Banten sampai Jawa Timur terserang wereng coklat dan penyakit kerdil hampa. Dari luas itu, 4.602 hektare puso alias gagal panen total.
Sebagian besar wereng menyerang tanaman padi hibrida petani. Benih hibrida merupakan paket bantuan benih yang dibagikan pada petani. Benih-benih ini berasal dari China. Hampir semua pertanaman padi hibrida ini
terserang wereng. Di berbagai daerah petani mengeluhkan padi hibrida lebih rentan serangan wereng dibandingkan benih lokal.
Guna menanggulangi ini pemerintah menggulirkan kebijakan bagi-bagi pestisida ke petani. Di Grobogan misal, Dinas Pertanian membagikan 1,5 ton pestisida untuk mengatasi wereng. Penggunaan pestisida tak hanya merugikan secara finansial, mengorbankan lingkungan juga tidak efektif. Selain itu, pemborosan sumber daya yang luar biasa dan meracuni petani pengguna serta konsumen produk pertanian. WHO menyebutkan, 80 persen penggunaan pestisida di negara maju tetapi 80 persen keracunan terjadi di negara berkembang.
Penelitian International Rice Research Institute-IRRI, United Nations’ Food and Agriculture Organisation (FAO), lembaga penelitian dan beberapa universitas nasional menunjukkan, ledakan hama wereng coklat karena keseimbangan ekosistem padi sawah hancur. Semua serangga, termasuk musuh alami (predator dan parasitoid) mati ketika disemprot pestisida berspektrum luas. Sedangkan telur wereng coklat yang disembunyikan di batang padi selamat.
Ketika nimpha wereng coklat menetas sekitar tiga minggu kemudian, populasi tidak dapat dikendalikan karena pemangsa sudah mati, dan mereka mengisap cairan tanaman padi menjadi kering dan sawah menjadi puso.
Hasil penelitian IRRI, FAO, Universitas Gajah Mada (UGM), Departemen Pertanian Thailand, dan India, menunjukkan banyak insektisida yang menimbulkan kekebalan wereng coklat (resistance) dan ledakan populasi wereng (resurgence).
Penggunaan pestisida di Indonesia, dari waktu kewaktu terus meningkat. Hasil kajian Field Indonesia pada 306 petani padi di Klaten tahun 2011 sungguh mencengangkan. Petani yang disurvei menggunakan pestisida rata-rata 5,7 kali per musim tanam. Jumlah sangat tinggi di tanaman padi.
Saat ini, berdasarkan data Komisi Pestisida di bawah Kementerian Pertanian sudah terdaftar fungisida 350 merek, herbisida 600 merek dan insektisida 800 merek, dengan izin tetap. Jumlah ini tidak termasuk produk yang ilegal.
Perdagangan pestisida, terutama insektisida di Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Negara-negara Asia Tenggara sudah melipatgandakan impor insektisida terutama produksi dari China termasuk Indonesia. Tahun 2009, Indonesia mengimpor insektisida lebih dari $90 juta. Total nilai pasar pestisida nasional Rp6 triliun per tahun.
Said mengatakan, penggunaan tinggi dan perdagangan pestisida yang marak
menunjukkan lemahnya pengawasan. Banyak pestisida dengan bahan aktif yang dilarang berdasar INPRES 3/86 masih beredar di petani. Organokhlorin dan organofosfat yang sudah dilarang digunakan pada padi masih ditemukan di kios saprodi. Hingga, bisa dibeli petani dengan bebas. Peredaran pestisida dipasar banyak yang tidak memiliki izin. Dari total peredaran, sekitar 10 persen-12 persen merupakan pestisida ilegal.
Untuk mencapai swasembada pangan berkelanjutan tak ada pilihan lain selain mengubah cara pandang dan arah kebijkan pembangunan pertanian. Pendekatan pertanian berkelanjutan, ramah lingkungan mendesak segera dilakukan. Keadaan ini, untuk menjamin terpenuhinya hak 237 juta jiwa
penduduk negeri ini mendapatkan pangan cukup dan aman.
Pengendalian dan pengawasan peredaran pestisida harus segera dilakukan. “Fungsi regulasi dan kontrol ini harus diterapkan secara ketat.” Kebijakan pengendalian hama penyakit terpadu (PHT) perlu dilakukan kembali. PHT merupakan cara efektif mengendalikan ledakan wereng seperti telah dibuktikan beberapa tahun silam.
Kebijakan memasukkan pestisida sebagai paket produksi padi (outbreak stock) oleh pemerintah dan pembagian gratis atau subsidi terselubung pestisida ke petani harus dihentikan. “Cara ini hanya akan melahirkan
kerentanan di tanaman padi, meningkatnya serangan hama dan meningkatkan ketergantungan pertanian terhadap bahan kimia beracun produksi perusahaan,” ucap Said. Dalam jangka panjang, hanya akan melahirkan ketergantungan, menjauhkan petani dari kedaulatan. Tak hanya itu. Subsidi dan penyebaran benih padi hibrida impor secara luas perlu dilihat kembali karena tidak terbukti meningkat produksi dan tahan serangan hama.