,

Korban Lumpur Lapindo Bertahan di Tanggul

RATUSAN warga korban lumpur Lapindo masih terus bertahan di tanggul penahan lumpur pada titik 25. Mereka menunggu proses pelunasan ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya, selaku juru bayar dari Lapindo Brantas inc. Suhadi, warga asal Glagah Arum, Selasa(24/4), seperti dikutip dari Jurnal Nasional, mengatakan, warga akan tetap bertahan sambil menunggu proses pelunasan sisa ganti rugi.

Warga bertahan dan tidur di tanggul yang biasa digunakan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sebagai wilayah kerja mereka sehari-hari. Akibat aksi ini, aktivitas BPLS mengalirkan luapan lumpur dari kolam ke kali Porong terhenti. Humas BPLS, Akhmad Kusairi mengatakan, akan menampung aspirasi masyarakat terkait pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo yang belum selesai hingga saat ini.

Sampai kini, kondisi tanggul penahan belum menunjukkan tanda berbahaya setelah dihentikan proses pengaliran dari kolam ke kali Porong. “Jika penghentian terus berlanjut, kemungkinan luapan lumpur bisa saja terjadi,” katanya.

Bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, berawal dari luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00. Ini terjadi karena terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di ladang eksplorasi gas perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Muncul asap putih dari tanah yang pecah. Bersamaan dengan itu, muncul semburan lumpur. Lumpur meluber, mengenai perumahan warga, yang akhirnya merendam desa-desa sekitar tempat itu.

Semburan tak terhenti. Sampai Mei 2009, PT Lapindo telah mengeluarkan uang untuk mengganti rugi warga, maupun membuat tanggul sekitar Rp6 triliun. Namun, kerusakan dampak luapan lumpur lebih besar dari itu. Pemerintah baik daerah dan pusat juga mengeluarkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur yang rusak, seperti jalan, tol, rel kereta dan lain-lain.

Desa-desa di Sidoarjo yang telah menjadi lautan lumpur panas. Kini, ribuan warga masih tak jelas nasibnya dan tak memiliki tempat tinggal. Ganti rugi lahan yang terkena lumpur Lapindo pun belum lunas dibayar. Foto: Sapariah Saturo Harsono

Perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie ini dicap sering mengingkari janji yang telahdisepakati dengan korban. Dari 12.883 dokumen pada Mei 2009, masih 400 buah belum dibayar dengan alasan status tanah tak jelas. Dalam penyelidikan Komnas HAM , warga sudah diminta meneken kuitansi lunas oleh PT Minarak Lapindo. Ganti rugi mereka diangsur dan belum lunas hingga sekarang.

Bukan itu saja. Semburan-semburan terus meluas hingga kini. Beberapa desa yang tak masuk peta ganti rugi menjadi wilayah bahaya. Rumah mereka banyak yang amblas dan tanah mengeluarkan semburan asap panas. Awalnya, peta terdampak hanya memasukkan 45 rukun tetangga ( RT). Masing-masing 12 RT di Desa Ketapang, tujuh RT di Desa Besuki Timur, 18 RT di Desa Mindi dan delapan RT di Desa Pamotan. Saat ini bertambah 20 RT. Satu RT di Desa Wunut, enam RT di Desa Gedang, delapan RT di Desa Gempolsari, empat RT di Desa Kali Tengah, dan satu RT di Desa Glagah Arum.

Belum lama ini Direktur Utama PT Lapindo Brantas, Andi Darussalam Tabusala kepada pers, mengakui, dari 13 ribu berkas, baru 8.000 yang diselesaikan. Mayoritas korban dari Perumtas Tangguangin Sidoarjo.

Artikel yang diterbitkan oleh
,