Ditekan, Unilever Kini Akan Bangun Pabrik Minyak Kelapa Sawit di Indonesia

Unilever kini tengah mempertimbangkan untuk membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit senilai 13o juta Dollar di Indonesia sebagai bagian dari komitmen mereka untuk lebih menggunakan minyak kelapa sawit yang lebih ramah lingkungan bagi produk mereka, seperti dilaporkan oleh Wall Street Journal.

Pabrik pengolahan ini, yang akan berlokasi di Sumatera, akan memproduksi sekitar 10 persen dari keseluruhan konsumsi tahunan minyak kelapa sawit, yang diproduksi dari buah kelapa sawit. Unilever adalah konsumen tunggal terbesar minyak kelapa sawit di dunia, mereka menggunakan 1.36 juta ton komoditi iniuntuk produk pangan dan kecantikan mereka, termasuk sabun Dove, es krim Ben & Jerry, dan Vaseline.

Mesin pemrosesan ini akan mengolah bahan kelapa sawit yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Hal ini termasuk memenuhi standar mereduksi polusi dan menghindari deforestasi di area-area sensitif.

Perusahaan ini mengungkapkan mereka akan mencapai target 100 persen menggunakan kelapa sawit bersertifikat yang dikeluarkan oleh GreenPalm di akhir 2012, tiga tahun lebih awal dari jadual. Sertifikat GreenPalm, yang merepresentasikan kelapa sawit yang bersertifikasi RSPO, memungkinkan perusahaan untuk memotong kompleksitas rantai distribusi dan secara finansial mendukung komoditi kelapa sawit yang berkelanjutan bahkan pada saat sumber asli mereka tidak memiliki sertifikat berkelanjutan.

Bibit Kelapa Sawit. Foto: Rhett A. Butler

Unilever juga mengumumkan target baru mereka untuk membeli 100 persen minyak kelapa sawit mereka dari sumber yang bisa diretas di tahun 2020, target yang memberi standar baru bagi para pembeli utama minyak kelapa sawit, yang hingga kini sebagian besar membatasi komitmen mereka hanya membeli minyak kelapa sawit bersertifikasi di tahun 2015. Unilever mengatakan bahwa standar yang bisa dilacak sebagai “kemampuan untuk merunut sumber pembelian seluruh minyak kelapa sawit dan dimana perkebunan yang membesarkannya.”

Beberapa kritik bagi RSPO mengatakan bahwa standar tersebut -yang baru-baru ini diciptakan- memungkinkan penghasil minyak kelapa sawit untuk mengklaim mereka menghasilkan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, meski pada kenyataannya mereka hanya perlu membayar keanggotaan kepada lembaga ini. Komitmen untukmenghasilkan minyak kelapa sawot yang bisa dilacak yang disampaikan Unilever akan memungkinkan penyuplai dan pengusaha untuk menjamin bahwa minyak kelapa sawot yang digunakan dalam produk Unilever dibesarkan dengan kriteria yang ramah lingkungan dan sosial. Tahun 2011, 27.000 ton minyak kelapa sawit yang digunakan Unilever bersumber dari hasil yang bisa dilacak, sementara 803.000 ton lainnya memiliki sertifikat GreenPalm.

Pengumuman yang disampaikan Unilever ini diluncurkan di hari yang sama saat Cargill merespons kritik dari Rainforest Action Network (RAN), sebuah grup aktivis lingkungan yang menyasar raksasa agrikultur tentang kebijakan sumber minyak kelapa sawit mereka. RAN menyatakan “keterbatasan Standarisasi” untuk minyak kelapa sawt mereka menyebabkan kerusakan hutan hujan tropis Indonesia, termasuk habitat orangutan di Tripa, Sumatera yang menjadi berita utama beberapa pekan terakhir.

Pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Foto: Rhett A. Butler

“Cargill tak memiliki standar dalam distribusi global dalam suplai minyak kelapa sawit mereka,” Demikian penuturan RAN yang dirilis Selasa silam, “Tanpa standar tersebut Cargill tak bisa memastikan bahwa mereka tidak berkontribusi dalam kerusakan hutan seperti yang terjadi di Tripa.” Sementara Cargill tetap menyatakan bahwa “mereka berkomitmen untuk mengasilkan kelapa sawit dari pihak yang bertanggung jawab.”

“Tahun lalu, 94% dari minyak kelapa sawit mentah yang dibeli Cargill berasal dari perkebunan yang menjadi anggota RSPO di Indonesia,” ucap juru bicara Cargill kepada mongabay.com. “Cargill akan terus bekerja dengan mitra kecil kelapa sawit untuk membantu mereka secara berkelanjutan meningkatkan produk dan menuju sertifikasi RSPO.” Tetapi RAN menyatakan bahwa Cargill tidak melakukan hal yang cukup untuk memastikan bahwa sumber kelapa sawit mereka tidak berasal dari wilayah seperti Tripa.

“Keanggotaan RSPO tidak memastikan bahwa setiap kriteria yang ditetapkan sudah dipenuhi di level perkebunan, karena satu-satunya kriteria utama yang harus dipenuhi dalam 5 tahun pertama secara konsisten adalah jatuh tempo pembayaran,” tegas Forest Campaigner RAN, Lindsey Allen kepada mongabay.com. “Cargill gagal memenuhi standar dalam perdagangan kelapa sawit mereka yang membuat para konsumen yakin bahwa kelapa sawit yang mereka beli tidak berasal dari Tripa.”

RAN meminta Cargill untuk mengadaptasi “sebuah tatanan standar dan safeguard tentang minyak kelapa sawit yang mereka beli” dan lebih “terbuka dan transparan” soal perusahaan-perusahaan penyuplai minyak kelapa sawit mereka. Dengan kata lain, sebuah standar yang bisa dilacak.

Perdebatan Minyak Kelapa Sawit

Kendati kelapa sawit diangap sebagai tanaman perkebunan yang produktif, yang bisa menghasilkan lebih banyak minyak dalam tiap area dibandingkan tanaman penghasil minyak lain, namun kini mereka kini terus disorot karena produksi mereka dinilai menyebabkan kerusakan hutan hujan tropis yang menjadi habitat hewan liar dan mengurangi kerapatan karbon di hutan di Indonesia dan Malaysia, termasuk habitat kunci bagi spesies terancam seperti orangutan, gajah, harimau dan badak. Beberapa perusahaan juga dianggap melakukan pemindahan secara paksa kepada masyarakat, menimbulkan konflik sosial dan penyalahgunaan tenaga kerja.

Orangutan Sumatra, kini semakin terancam dengan berkurangnya habitat mereka. Foto: Rhett A. Butler

Industri ini berusaha menekankan bahwa komoditi mereka sebagai sebuah sumber murah penghasil minyak untuk memasak dan meningkatkan standar hidup daerah pertanian yang miskin.

Produksi minyak kelapa sawit meningkat secara drastis dalam beberapa dekade terakhir seiring dengan meningkatnya penggunaan produk ini dan meningkatnya penggunaan dalam produk makanan. Lebih dari 50% makanan jadi di pasaran, kini mengandung minyak kelapa sawit. Produk-produk ini -dan perusahaan yang menjualnya- kini menjadi target para aktivis lingkungan untuk mengubah praktek produksi mereka. Target Unilever untuk memakai produk kelapa sawit yang berkelanjutan adalah sebuah konsekuansi langsung dari tekanan Greenpeace sepanjang tahun 2008 yang juga mengajak para aktivis berdandan seperti orangutan untuk memasuki ruang rapat para pemegang saham.

Data: mongabay.com

“Greenpeace bertindak benar dengan menyerang kami,”Ucap Gavin Neath, Senior Vice President untuk Program Berkelanjutan di Unilever, dalam sebuah diskusi panel bulan lalu di Skoll World Forum. “Kami merasa bahwa kami sudah bertindak lebih dibanding perusahaan lainnya, namun kami tidak bergerak cukup cepat. Namun Greenpeace memicu kami untuk melakukan tindakan nyata.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,