,

Pertempuran Hingga Titik Darah Penghabisan Untuk Selamatkan Badak Jawa

Spesies badak di seluruh dunia kini semakin rentan seiring dengan mengkerutnya habitat mereka, dan perburuan liar setiap tahunnya untuk mendapatkan cula mereka yang berharga. Kini, di Indonesia, para aktivis konservasi merapatkan barisan untuk menyelamatkan 40 ekor badak Jawa yang tersisa di bumi ini.

oleh rhett butler

Berjalan melintasi lumpur becek dan rerumputan kami menemukan sebuah kubangan yang bau. Para jagawana yang berpakaian serba hitam di hawa tropis yang panas ini, menandai lokasi itu dengan unit GPS, mereka mengukur kubangan itu dan melanjutkan langkah. Ini adalah sebuah tanda-tanda keberadaan salah satu hewan yang paling langka di dunia – badak Jawa. Hanya tersisa sekitar 40 ekor, semuanya bebas di alam liar. Sisa hutan hujan tropis dan rawa-rawa di Taman Nasional Ujung Kulon, di ujung paling Barat pulau Jawa, adalah habitat terakhir mereka.

Hingga dua tahun silam, hal ini tidak terjadi. Populasi badak Jawa kedua terbesar di dunia, yaitu di Vietnam, adalah sebuah sisa-sisa dari spesies yang dulu ada di seluruh penjuru Asia. Namun badak Jawa di Vietnam akhirnya musnah saat pemburu liar menembak hewan terakhir yang tersisa di Taman Nasional Cat Tien. Sang pemburu pun mendapatkan hadiahnya: cula sang badak, yang di dalam pengoatan tradisional Cina berharga lebih dari 65 ribu Dollar setiap kilogramnya, jauh lebih mahal dari emas sekalipun.

Badak Jawa tidak sendirian. Organisasi International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan tiga dari lima spesies badak yang tersisa sebagai nyaris punah, hanya selangkah menuju kepunahan. Saudara terdekat badak Jawa, yaitu badak Sumatra dan Kalimantan, juga mengalami nasib serupa, hanya tersisa kurang dari 275 ekor di alam liar. Para ahli memperkirakan hanya 50% yang bisa bertahan hidup.

Mari kita lihat di Afrika – rumah bagi tiga spesies badak, dengan totl 20 ribu ekor- hanya sedikit lebih baik. Menjulangnya harga cula, dan dipicu oleh meledaknya permintaa dari kelas menengah di Vietnam dan Cina, membuat pembunuhan massal terus terjadi terhadap badak. Afrika Selatan, rumah dari 70% badak liar di dunia, kehilangan 448 ekor badak akibat perburuan liar tahun lalu, ini adalah sebuah rekor baru. Sementara, badak hitam western, sebuah sub-spesies dari badak hitam, sudah dinyatakan punah tahun 2011. Penyebabnya sama, perburuan liar.

Tekanan-tekanan yang menyebabkan kebinasaan badak tidak pernah berhenti. Dalam jangka panjang, hilangnya habitat menjadi penyebab utama, namun seiring dengan menurunnya jumlah mereka, ancaman terhadap setiap ekor badak menjadi yang utama. Di Afrika, dimana badak menyebar di seluruh padang savana dan seringkali berada di wilayah yang tidak terlindungi atau kurang terlindungi, permintaan terhadap cula badak menjadi ancaman utama. tetapi di Asia Tenggara, dimana badak hidup di wilayah hutan hujan tropis yang relatif terlindungi, dan dijaga oleh jagawana, kurang cocoknya wilayah kehidupan dan wilayah kepadatan spesies yang rendah menjadi ancaman utama.

Kondisi badak Jawa memang yang paling beda. habitat tunggal mereka adalah area hutan yang muncul sebagai dampak dari erupsi Gunung Krakatau tahun 1883; debu vulkanik dan tsunami membunuh setiap mahluk di tempat yang kini bernama Taman Nasional Ujung Kulon. Karena takut akan terjadi letusan serupa, area ini dibiarkan kosong, membuat hutannya bisa tumbuh kembali dan menjadi habitat badak Jawa di pulau yang kini menjadi pulau terpadat di Indonesia.

Para aktivis lingkungan kini bekerja keras untuk memperluas habitat badak Jawa. Yayasan Badak Internasional atau International Rhino Foundation bekerja dengan mitra lokal mereka Yayasan Badak Indonesia dan pengelola taman nasional untuk  memperluas status hutan lindung seluas 3000 hektar hutan, dimana sebenarnya dibutuhkan 38.000 hektar untuk habitat badak Jawa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan populasi hingga 70 atau 80 badak tahun 2015, atau menggandakan dari jumlah yang ada saat ini. Upaya ini tidak akan mudah: badak harus bersaing dengan manusia yang melakukan perambahan, menebang hutan untuk pertanian dan jebakan berburu yang juga membahayakan hewan-hewan yang tidak menjadi target seperti badak.

Di tahun 2010 dan 2011, pengelola taman nasional, bersama YABI, berhasil meyakinkan 70 petani untuk meninggalkan lahan yang mereka tanami secara ilegal di dalam taman nasional, dengan kompensasi, di luar area taman nasional. Namun ancaman di dalam taman dari para pemburu masih jadi masalah. Itu sebabnya pasukan patroli YABI yang terlatih bertindak.

Jagawana khusus yang memonitor keberadaan badak Jawa di Ujung Kulon. Foto: Rhett Butler

Unit khusus ini, yang berkoordinasi dengan upaya konservasi dari pengelola taman ansional, memiliki tugas khusus untuk melindungi dan memonitor populasi badak Jawa. Bekerja dalam sebuah tim berisi 4 orang, jagawana ini menghabiskan waktu mereka di hutan. Tahun lalu, tim-tim ini menemukan 563 tanda-tanda keberadaan badak Jawa -kotoran, kubangan, dll.- namun hanya sekali melihat secara langsung. Untunglah ada jagawana ini, kini tak ada lagi perburuan terjadi di dalam arean taman ansional, tak ada lagi jebakan badak ditemukan, dan tidak terjadi lagi penebangan ilegal. Unit ini sebagian besar adalah penduduk desa lokal yang membantu YABI dengan pemahaman kebutuhan lokal dan jaringan serta informasi yang berguna dalam aktivitas perburuan dan aktivitas ilegal lainnya. YABI membayar stafnya dengan sangat baik dan menjadi sebuah simbol status di desa, dimana lapangan pekerjaan sangat terbatas. Manajer Perlindungan Badak YABI, Muhammad Waladi Isnan berkata bahwa pengembangan wisata alam yang menjual pesona pasir putih dan terumbu karang yang indah di wilayah tersebut akan membantu menekan angka perburuan. Namun kendati badak Jawa terlindungi dari perburuan, kelangsungan hidup mereka tidak dipastikan terjamin. Habitat kunci badak Jawa di Ujung Kulon kini mulai menipis akibat dari pertumbuhan pohon palem bernama langkap, yang bisa mematikan vegetasi yang menjadi pangan badak Jawa. YABI kini bekerjasama dengan otoritas taman nasional untuk mengurangi langkap dimanapun mereka menemukannya.

Tantangan bagi saudara terdekat badak Jawa juga berbeda. Di saat habitat mereka berkurang akibat deforestasi dan dikonversi menjadi lahan pertanian, masalah utama badak Sumatra adalah rendahnya kepadatan spesies badak. Spesies ini tersebar luas di seluruh Sumatra dan Kalimantan bagian Utara, dimana setiap ekor badak tidak bisa bertemu satu sama lain. Jadi para konservasionis mengambil langkah sedikit radikal untuk mempertemukan satu sama lain dengan cara membiakkan semi-penculikan, termasuk seekor badak betina liar tahun lalu dari hutan Sabah, di wilayah Kalimantan milik Malaysia. Induk betina itu kini sudah dipndahkan di area tertutup yang menjadi rumah bagi badak jantan Sumatra.

“Hari-hari dimana membiarkan badak Sumatra hidup di habitat asli mereka dan menjaganya, dan berharap bahwa mereka tidak akan diburu, dan mereka bisa berkembang biak, kini sudah lewat,” Ungkap John Payne dari Borneo Rhino Alliance, yang memimpin operasi pemindahan badak tahun silam. “Sangat sedikit dari badak yang tersisa bisa menjadi subur. Beberapa badak yang subur tidak akan memiliki akses untuk bertemu pasangan mereka, karena kini nyaris tak ada badak yang tersisa.”

Upaya monitoring badak Jawa di hutan. Foto: Rhett Butler

Harapannya, dengan perlindungan yang baik, menjaga habitat mereka dan membantu pengembangbiakan, badak Jawa dan Sumatra bisa kembali berkembang. Hal ini sudah terjadi sebelumnya. Di Nepal, badak India kini berjumlah 534 ekor, untunglah ada kombinasi dari penegakan hukum yang baik dan program-program yang memberikan keuntungan bagi orang-orang yang tinggak di sekitar habitat badak. Tahun lalu, tak ada satu ekor pun badak di Nepal yang mati akibat perburuan liar.

Sementara, badak putih di Afrika Selatan semakin jauh dari kepunahan dan bahka kini berjumlah lebih dari 17.000 ekor di alam liar. Naun kendati menjadi sebuah cerota sukses, tantangan terhadap konservasi badak masih tetap ada, dengan ditemukannya senjata tajam untuk memburu badak di Afrika Selatan. Salah satu halangan untuk menyeamatkan badak adalah tingginya harga cula badak, terutama adanya permintaan dari pasar untuk pengobatan tradisional Cina, dimana cula badak dipercaya bisa menyembuhkan kanker dan penyakit lainnya. Hal lain yang menjadi bagian dari masalah utama adalah kondisi -baik karena kelangkaan badak maupun larangan terhadap perdagangan cula- yang menyebabkan tingginya harga cula badak.

Michael ‘t Sas-Rolfes, pakar ekonomi konservasi dan konsultan, serta pakar perdagangan cula badak yang berbasis di Afrika Selatan, yakin bahwa peraturan yang ditata baik soal perdagangan badak bisa dilakukan dengan adanya aturan menangkap badak (tanpa membunuh mereka) akan bisa menekan harga dan mengurangi tekanan pada badak liar. “Jika harga eceran meningkat maka aktivitas perburuan juga akan naik,” seperti ditulisnya dalam situsnya, rhino-economics.com. “Sebaliknya, harga eceran yang rendah akan menyebabkan turunnya aktivitas perburuan.”

Namun ide untuk melegalkan perdagangan cula badak banyak ditentang oleh para pekerja konservasi alam.

“Melegalkan perdagangan ini sama saja mendorong orang-orang sakit untuk mengonsumsi cula badak dibanding mencari pengobatan, dan ini akan mengntungkan orang-orang tertentu,” kata Rhishja Cota-Larson dari Saving Rhinos, sebuah kelompok yang bekerja untuk menghentikan perdagangan tubuh badak. Cota-Larson jutsru khawatir bahwa perdagangan tubuh badak secara legal justru tidak akan mengurangi angka perburuan badak. Dia yakin dengan meningkatkan kesadaran di Cina dan Vietnam adalah solusi jangka panjang untuk mengangkat isu perdagangan cula badak.

Namun Sas-Rolfes ragu bahwa peningkatan kesadaran akan bisa menang melawan rang-orang yang kini menggunakan cula badak, terutama jika ini didasarkan pada kepercayaan yang dibangun ribuan tahun dan berbasis pada kepercayaan dan budaya. “Apakah cula badak dapat dibuktikan secara ilmiah dapat bekerja sebagai obat, mungkin justru yang paling tidak relevan bagi mereka yang menggunakannya,” tulisnya.

Badak Jawa dan sub-spesies lain yang menjadi bagian dari masa depan kita kini sangat tergantung dengan upaya kita secara aktif menciptakan kondisi untuk kelangsungan hidup mereka, ungkap Payne dari Borneo Rhino Alliance,”Teralu sedikit yang tersisa untuk bisa hidup tanpa campur tangan manusia yang besar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,