Data Beda, Peta Moratorium Hutan Dipertanyakan

GREENOMICS Indonesia mempertanyakan kredibilitas dan kualitas data dalam peta indikatif moratorium.  Sebab, ada perbedaan data dari BPN terhadap areal PT Kalista Alam, dengan yang diberikan BPK kepada Satgas REDD+. Terlebih, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) meminta klarifikasi ulang terhadap seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN, tak hanya PT Kalista Alam.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi di Jakarta, Jumat(11/5) mengatakan, surat Ketua Satgas REDD+ Indonesia, Kuntoro Mangkusubroto kepada Menteri Kehutanan 18 April 2012 perihal pembaharuan peta indikatif moratorium PT Kalista Alam dan tanggapan surat itu dari Kemenhut, menarik dicermati. Ini untuk melihat sejauhmana tata kelola moratorium Indonesia — yang ditetapkan pada 20 Mei 2011 oleh Presiden Yudhoyono –diimplementasikan pada tingkat kebijakan dan lapangan.

Greenomics Indonesia berpandangan, kedua surat ini menunjukkan bagaimana data dalam penyusunan peta indikatif moratorium itu dibangun. Pertama, surat Ketua Satgas REDD+ Indonesia kepada Menteri Kehutanan. Ini diawali kronologi singkat seputar perizinan dan kedudukan areal PT Kalista Alam dalam peta indikatif moratorium.

Kronologis ini,  pada 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh menerbitkan izin usaha perkebunan sawit kepada PT Kalista Alam seluas 1.605 hektare di Rawa Tripa. Di wilayah ini, sesuai peta Kepmenhut No. 323/2011 tanggal 17 Juni 2011, berada dalam wilayah peta moratorium. Lalu, wilayah PT Kalista Alam ini tidak termasuk dalam peta indikatif moratorium hasil revisi berdasarkan Kepmenhut 7416/2011 pada 22 November 2011.

Pengeluaran wilayah PT Kalista Alam berdasarkan data BPN, bahwa terdapat hak guna usaha (HGU) di lokasi itu. Lalu, surat Kuntoro, menyatakan, Satgas REDD+ menerima pengaduan dari masyarakat sehubungan dengan kondisi ini.

Pada 1-3 April 2012, telah investigasi lapangan, ditemukan wilayah perluasan perkebunan sawit PT Kalista Alam 1.605 hektare, belum diterbitkan HGU atas nama perusahaan itu ataupun perusahaan lain. “PT Kalista Alam memiliki izin lokasi dari Bupati Nagan Raya, yang berlaku selama tiga tahun dan berakhir 5 Februari 2011.” Surat ini menyebutkan, temuan Satgas REDD+ diverifikasi kepada BPN pada 12 April 2012. BPN membenarkan temuan ini.

Surat itu juga menyampaikan, investigasi lapangan menunjukkan sebagian lahan PT Kalista Alam sudah ditanami sawit. Ada yang siap ditanami dan sebagian besar masih hutan. Surat juga menyatakan, berdasarkan dokumen UKL/UPL (upaya pengelolaan lingkungan-upaya pemantauan lingkungan) PT Kalista Alam menunjukkan, sebagian besar wilayah ini kawasan bergambut. “Surat Ketua Satgas REDD+ ini melampirkan peta, foto dan dokumen,” ucap Elfian dalam pernyataan pers.

Surat ini juga meminta kepada Menteri Kehutanan meneliti masalah sesuai Inpres moratorium dan menetapkan kembali wilayah PT Kalista Alam masuk peta moratorium.

Tak hanya itu, menarik lagi, surat Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan. Dirjen ini yang menandatangi peta indikatif moratorium atas nama Menteri Kehutanan kala menanggapi surat Ketua Satgas REDD+. Dirjen Planologi Kehutanan melayangkan surat kepada Kepala BPN  pada 4 Mei 2012, dengan tembusan Menteri Kehutanan dan Ketua Satgas REDD+.

Dalam surat ini, Dirjen menyebutkan, 18 November 2011, dilakukan pembahasan final atas draf peta indikatif moratorium revisi I yang dihadiri UKP4, Kemenhut, Kementan, Bakosurtanal dan BPN. Hasil pembahasan final pada 22 November 2011, diterbitkan Kepmenhut 7416/2011 tentang peta indikatif moratorium revisi pertama.

Dalam surat Dirjen itu dinyatakan, hasil verifikasi kepada BPN tentang perluasan PT Kalista Alam, ternyata belum diterbitkan HGU. Surat Dirjen menyatakan, ada perbedaan antara data yang diterima Kemenhut dari BPN saat penyusunan peta indikatif moratorium revisi pertama, dengan data yang diberikan BPN kepada UKP4.

Atas dasar itu, Dirjen Planologi, meminta klarifikasi ulang terhadap seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN dalam peta revisi satu. Terutama terhadap areal perluasan PT Kalista Alam, sebagai bahan peta indikatif moratorium revisi dua yang akan terbit Mei ini. “Dengan pengakuan perbedaan data ini memperlihatkan kredibilitas dan kualitas data dalam peta indikatif moratorium patut menjadi tanda tanya besar,” ujar dia.

Lokasi Rawa Tripa, Aceh, menunjukkan kawasan sungai-sungai, hutan, gambut yang luas pada 1990. Di Rawa Tripa ini ada konsesi baru perkebunan sawit yang dikeluarkan gubernur dan menuai kontroversi. Gambar ini oleh Tim Koalisi Penyelematan Rawa Tripa.

Hal aneh lain lagi, penghapusan 4,8 juta hektare lahan gambut dalam peta indikatif moratorium revisi satu dalam Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) 7416/2011. Kepmenhut itu menyatakan, revisi didasarkan atas survei lapangan. Dengan muncul kasus PT Kalista Alam ini, menunjukkan kualitas survei lapangan itu patut dipertanyakan. “Terutama terhadap sejauhmana defini survei lapangan yang dimaksud dalam Kepmenhut itu.”

Peta indikatif moratorium revisi kedua akan keluar Mei ini. Melihat waktu yang sudah dekat, Greenomics menyangsikan ada waktu untuk mengklarifikasi ulang data seperti permintaan Kemenhut. “Apakah mungkin dan relevan dalam minggu-minggu Mei sekarang ini? Ini menjadi pertanyaan fundamental dalam revisi kedua peta indikatif moratorium Mei ini.”

Greenomics mendukung permintaan Ketua Satgas REDD+ kepada Menteri Kehutanan untuk mengembalikan areal izin perkebunan sawit PT Kalista Alam ke  kawasan moratorium pada Mei ini. “Mendukung permintaan Kemenhut  kepada BPN untuk mengklarifikasi seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN. Ini sangat terkait kredibilitas dan kualitas data dalam peta indikatif moratorium, terutama revisi kedua Mei ini,” ucap Elfian.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,