Upaya sejumlah nelayan lokal di Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Barat untuk merehebilitasi hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit, justru mendapat ancaman dari perusahaan sawit yang merambah lokasi tersebut. Upaya nelayan yang tergabung di dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) ini juga tidak mendapat perlindungan dari pemerintah daerah setempat kepada nelayan.
Tajruddin Hasibuan, Presidium Nasional KNTI Regional Sumatera Utara, mengemukakan bahwa konversi hutan bakau menjadi perkebunan kelapa sawit berdampak terhadap penurunan penghidupan keluarga nelayan di Langkat dan daya dukung lingkungan. Sebagian nelayan terpaksa beralih profesi dan meninggalkan kampung halaman.
Rusaknya hutan mangrove berarti terancamnya sumber-sumber kehidupan mereka.Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim mengecam minimnya peran negara untuk melindungi ekosistem hutan bakau yang penting bagi keberlanjutan sumber daya perikanan di pesisir. Sampai saat ini konversi ekosistem mangrove di Kabupaten Langkat, pantai timur Provinsi Sumatera Utara terus terjadi dan sudah sangat masif tanpa ada upaya yang maksimal dalam rangka penegakan hukum untuk menindak pelaku serta aktor intelektual.
Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), 80 persen luasan hutan mangrove di Langkat telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. “Alih hutan bakau menjadi perkebunan sawit memperburuk daya dukung lingkungan dan berimplikasi terhadap sulitnya mencari mata pencaharian,” ujar Tajruddin kepada Kompas.com, Selasa (15/5/2012) di Langkat. Ia mengatakan, hutan mangrove bagi nelayan merupakan pusat kehidupan, sumber daun nipah, kayu bakau, tempat berkembangnya ikan dan kepiting.
Pihaknya mendesak Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk melakukan pengawasan lingkungan hidup terhadap ekosistem bakau yang telah dirusak oleh pengkonversi sawit. Selain itu, Kepala Polri diminta menindak tegas pelaku perambah hutan bakau dan pengkonversi hutan bakau.