,

Industri Kelapa Sawit Akan Lobi EPA Untuk Mengubah Putusan

Industri minyak kelapa sawit telah menyewa sebuah firma hukum bernama Holland & Knight untuk membantu mereka mengubah temuan badan lingkungan Amerika Serikat, Environmental Protection Agency bahwa bahan bakar biodiesel berbasis kelapa sawit gagal memenuhi ambang batas minimum emisi gas rumah kaca di bawah peraturan baru di AS bernama Renewable Fuels Standard, seperti dilaporkan The Hill.

“Catatan dalam berbagai urusan lobi telah menyingkap bahwa Dewan Kelapa Sawit Malaysia, Dewan Kelapa Sawit Indonesia dan Neste Oil telah menyewa Holland & Knight, yang memiliki catatan hebat dalam melobi,” tulis Ben German dalam blog Energi dan Lingkungan di The Hill. Holland & Knight adalah sebuah firma hukum.

Langkah ini diambil setelah Wilmar International, produsen dan pedagang minyak kelapa sawit terbesar di dunia menyewa firma Van Ness Feldman untuk isu yang sama.

EPA telah merilis keputusan mereka di bulan Januari, tentang analisis emisi siklus hidup dalam produksi minyak kelapa sawit, yang seringkali menimbulkan hilangnya cadangan karbon di hutan hujan tropis dan lahan gambut. Perusahaan minyak kelapa sawit menolak keputusan tersebut, dan menyatakan bahwa penggunaan biodiesel akan mereduksi emisi antara 11-17% dibanding dengan diesel konvensional. Sementara, peraturan baru di AS berdasar Renewable Fuels Standard mensyaratkan minimal biodiesel memenuhi 20 persen amang batas reduksi 20%. Dibawah peraturan ini, biodiesel kelapa sawit masih bisa digunakan di AS, tapi tidak akan dinilai sebagai bahan bakar rendah karbon.

Para aktivis lingkungan menyatakan bahwa peratura EPA sebenarnya konservatif, apalagi mengingat bahwa area hutan hujan tropis dan lahan gambut yang sudah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit ternyata lebih besar dibanding perkiraan EPA. Membabat hutan dan ekosistem menyebabkan emisi karbon yang substansial, dan menyebabkan kerugian dalam perubahan iklim di area perkebunan sawit itu berdiri.

Peraturan baru bahan bakar yang bisa diperbarui menargetkan 7.5 miliar galon bahan bakar ‘yang bisa diperbarui’ untuk dicampur menjadi bahan bakar hingga akhir tahun 2012. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak asing dan mengurangi emisi dari sektor transportasi. Namun beberapa analis mempertanyakan efektivitas kebijakan ini, karena sebagian besar  bahan bakar ‘yang bisa diperbarui’ justru diharapkan dari ethanol, yang masih belum jelas dalam memberi keuntungan bagi iklim.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,