Koalisi Minta Moratorium Berbasis Capaian

 

KOALISI Organisasi Masyarakat Sipil mengeluarkan deklarasi terkait satu tahun moratorium hutan, 21 Mei 2012. Mereka meminta moratorium berdasarkan capaian, bukan waktu. Gabungan organisasi ini memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, membacakan deklarasi itu di Jakarta, Senin(21/5/12). Deklarasi itu menyebutkan, moratorium merupakan upaya jeda eksploitasi dalam periode waktu tertentu untuk menghentikan atau menunda kegiatan tertentu. Lalu mengisi periode itu dengan langkah-langkah mencapai perubahan signifikan.

Pada sektor kehutanan, kata Abet, moratorium adalah penghentian untuk jangka waktu tertentu dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. “Ini untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar bersifat jangka panjang dan permanen,” katanya membacakan deklarasi.

Moratorium bukan tujuan akhir melainkan sebuah proses yang harus dilalui guna mencapai pengurangan laju deforestasi. Moratorium mengandung makna korektif, tak hanya sebuah upaya jeda tetapi usaha memperbaiki keadaan.

Moratorium berkaitan dengan target perubahan yang ingin dicapai. Target itu, dirumuskan dalam ukuran jelas hingga bisa jadi ukuran menentukan. “Apakah selama periode moratorium ukuran-ukuran yang telah direncanakan telah tercapai atau belum.”

Penguasaan hutan oleh kerangka hukum formal sangat timpang antara kelompok pengusaha dengan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Masyarakat dengan jumlah lebih banyak tetapi menikmati hak sumber daya hutan sangat terbatas. Bahkan, seringkali dianggap ilegal dibandingkan perusahaan-perusahaan sekala besar.

“Untuk itu moratorium konversi hutan tidak bisa dibatasi oleh waktu melainkan ditentukan pemenuhan prasyarat dasar yang diukur melalui kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan. Termasuk pemenuhan safeguards lingkungan dan sosial.”

Moratorium tak terbatas hanya pada izin baru, juga peninjauan ulang izin yang dikeluarkan. Serta penghentian penebangan dengan menggunakan izin lama.

Moratorium,  harus menjadi jaminan perlindungan total terhadap hutan tersisa dan ekosistem rawa gambut serta menyediakan ruang bagi pengakuan hak masyarakat.

Guna mencapai moratorium berbasis capaian ini, hanya bisa dengan strategi diperhitungkan dan tahapan sistematis. Koalisi masyarakat sipil pun merekomendasikan beberapa tahapan.

Pertama, penghentian penerbitan izin-izin baru dan kaji ulang izin-izin lama. Dengan memastikan implementasi penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, memastikan kontribusi nyata dan terukur dari semua sektor berbasis lahan. Lalu, me-review keseluruhan perizinan sumber daya alam, transparansi dalam penegakan hukum atas kejahatan kehutanan, strategi jangka panjang kebutuhan kayu dalam negeri.

Kedua, penyelesaian masalah-masalah sosial, dimana hak masyarakat diperkuat dan diberdayakan oleh moratorium. Dengan menekankan partisipasi penuh dan efektif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Ketiga, penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam, dengan inventarisasi dan penilaian kawasan hutan berdasarkan nilai penting ekologis, termasuk keragaman hayati, bukan hanya terbatas pada karbon.

Lalu, membentuk pangkalan data kehutanan yang kuat dan terkelola baik, dan pemetaan dan fungsi-fungsi kawasan hutan, membangun strategi konservasi yang seimbang antara kepentingan lingkungan dan sosial. Juga menerapkan safeguards atas setiap kegiatan kehutanan, dan monitoring serta evaluasi atas berbagai kegiatan pengelolaan hutan.

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil terdiri dari, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ICEL, HuMA, Telapak, Debt Watch, Sawit Watch, Greenpeace,  Forest Watch Indonesia, Bank Information center (BIC),  Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK).

Artikel yang diterbitkan oleh
,