,

Klaim APP Setop Buka Hutan Hanya Pencitraan

ASIA Pulp & Paper Grup (APP) mengumumkan kebijakan baru menghentikan pembukaan hutan alam di wilayah konsesi mereka di hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia. Mereka juga berniat menerapkan prinsip hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF) dalam pengembangan bisnis.

WWF Indonesia menilai kebijakan APP hanya untuk mencari pencitraan belaka.  Komitmen APP hanya akan membawa dampak sangat kecil bagi perlindungan hutan alam dan konservasi harimau Sumatera di habitat alami.

Data-data yang dikumpulkan WWF di Riau menunjukkan, lokasi-lokasi yang diklaim APP akan menghentikan sementara waktu (moratorium) pembukaan hutan, memang kawasan-kawasan yang semestinya dilindungi.

APP juga mengatakan, akan menghentikan pembukaan hutan alam pada konsesi yang sudah mendapatkan izin penebangan.

Fakta di lapangan, dan analisis data WWF mengenai konsesi milik APP maupun Sinar Mas Forestry di Riau, termasuk konsesi pemasok dan perusahaan joint venture, menunjukkan perusahaan ini telah menebang sebagian besar hutan alam di dalam konsesi yang diklaim akan dilindungi.

Di Riau, dari total sekitar 206.412 hektare (ha) sisa hutan alam berada di bawah konsesi APP atau mitra joint venture pada tahun lalu.  Hanya sekitar 22 ribu ha atau 10 persen yang mungkin terkena dampak kebijakan itu. Selebihnya, seluas 103.849 ha memang harus dipertahankan sebagai hutan alam. Sebab, merupakan kawasan-kawasan yang harus dilindungi.

“Klaim APP untuk penghentian sementara pembukaan hutan di dalam konsesi hanya salah satu contoh upaya pencitraan belaka,” kata Nazir Foead Direktur Konservasi WWF Indonesia dalam pernyataan pers, Senin(21/5/12).

Menurut Nazir, kesekian kali APP memilih pencitraan atau greenwash daripada upaya perbaikan praktik pengelolaan kehutanan.

Hutan alam yang hilang dikonsesi APP  hingga 2011 mencapai 713.383 ha atau hampir seluruh hutan alam di dalam konsesi secara langsung atau pada konsesi mitra di Riau.

Celah lain, kebijakan APP ini tidak mencakup konsesi hutan alam milik pemasok kayu.  Pemasok memang tak secara langsung dimiliki APP tetapi terkait jelas dengan perusahaan itu. “Jadi, dampak moratorium yang diklaim APP melindungi hutan alam yang masih tersisa menjadi tidak signifikan,” ujar dia.

Nazir mengatakan, jika APP benar-benar berniat mengurangi dampak kerusakan terhadap hutan alam, perusahaan ini semestinya berhenti menerima pasokan kayu hutan alam. “Atau mengeluarkan kebijakan moratorium penggunaan kayu alam untuk mensuplai produksi pulp atau bubur kertas di semua pabrik.”

Pengamatan WWF menunjukkan, pada 2011 dari sekitar 44.268 ha hutan alam yang  hilang di konsesi APP di Riau , lebih dari  50 persen oleh pemasok kayu yang tak secara langsung dimiliki  perusahaan ini. “Artinya, perusahaan-perusahaan pemasok ini akan terus menebang hutan alam karena praktik ini tak termasuk dalam kebijakan moratorium APP.”

Catatan WWF beserta koalisi LSM di Riau menunjukkan, APP bertanggungjawab terhadap kehilangan sekitar 2 juta ha hutan alam untuk mensuplai kebutuhan pabrik pulp.

“WWF akan melihat APP berubah menuju praktik pengelolaan hutan berkelanjutan. Jika perusahaan ini memperluas cakupan kebijakan moratorium meliputi suplai pasokan kayu alam ke semua pabrik. Itu akan membuktikan APP bersungguh-sungguh berupaya perubahan nyata di lapangan,” ucap Nazir.

Dalam pernyataan pers APP, Selasa (15/5/2012) menyebutkan, APP telah membangun dan menerapkan strategi keberlanjutan secara menyeluruh untuk melestarikan berbagai aspek terpenting sumber daya alam Indonesia.

APP mengumumkan langkah-langkah untuk menjalankan standar yang telah diakui global untuk prinsip HCVF.

Kebijakan ini akan dilaksanakan segera dengan menerapkan sejumlah hal. Terkait konsesi APP di Indonesia, mulai 1 Juni 2012, akan menghentikan sementara pembukaan hutan selama penilaian HCVF.

APP telah melibatkan para ahli kredibel untuk menilai HCVF, sesuai praktik terbaik HCV Resource Network. Penilaian berdasarkan pendekatan multi-pihak. APP akan melindungi semua wilayah yang diidentifikasikan sebagai kawasan hutan bernilai konservasi tinggi berdasarkan hasil penilaian HCVF.

APP mengharapkan pemasok independen dapat memenuhi persyaratan menjalankan penilaian HCVF pada 31 Desember 2014.

Dengan mitra LSM internasional, APP melibatkan para pemasok independen untuk mengadopsi penilaian HCVF. APP akan meninjau dan mengevaluasi kembali perjanjian kerja dengan para pemasok, apabila penilaian HCVF ini tidak dilakukan.

*Laporan koalisi LSM di Sumatera, Eyes on the Forest (www.eyesontheforest.or.id) berjudul “Kebenaran di balik praktik greenwash APP” dapat dilihat di http://wwf.panda.org/wwf_news/?202809/Massive-APP-greenwash-campaign-is-mostly-hogwash-finds-new-report

Artikel yang diterbitkan oleh
,