,

Kerusakan Pesisir Semakin Hantam Nelayan Tradisional

Polusi di wilayah perairan dan perlindungan yang minim terhadap kekayaan hayati laut, memberi dampak langsung kepada para nelayan di Indonesia. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim menyatakan bahwa pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Keanekaragaman Hayati dengan menerbitkan UU No.5 Tahun 1994, namun berbagai kebijakan atas kekayaan hayati laut yang diberlakukan dalam sepuluh tahun terakhir tidak pernah dijalankan secara konsisten.

Pemerintah lebih memikirkan untuk menerbitkan peraturan pemerintah tentang manajemen pembuangan limbah dan peraturan presiden tentang reklamasi, yang berpotensi merusak ekosistem di daerah pesisir dibanding melindungi masyarakat pesisir itu sendiri. “Kami telah melihat berbagai kerusakan ekosistem di pesisir secara masif, namun dengan dua draft peraturan baru ini, kerusakan akan bisa menjadi lebh parah,” ungkap Abdul Halim kepada Jakarta Post.

Data dari KIARA menunjukkan bahwa populasi terumbu karang di Laut Jawa menurun 38.09 persen antara 1999 hingga 2003. Luasan hutan mangrove juga menurun drastis sekitar 90 persen sejak 1980an. Kerusakan ekosistem laut ini, kini sudah memakan korban nelayan traditional di Langkat, Sumatra Utara, daerah Serang, Banten dan Teluk Jakarta.

Abdul Halim menyatakan, jika jadi diterbitkan, peraturan-peraturan baru tersebut akan langsung menghantam komunitas nelayan. “Hal ini menunjukkan bahwa peraturan manajemen pesisir, dimana termasuk melindungi keanekaragaman hayati laut, berlawanan dengan konvesi internasional yang sudan ditandatangani pemerintah,” tambahnya.

Pemerintah seharusnya juga melindungi hak konstitusional nelayan, termasuk melindungi akses mereka untuk mendapat sumber daya di laut. Mahkamah Konstitusi dalam judicial review yang dilakukan tahun 2010 atlas UU No 27/2007 tenting Manajemen Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengangkat isu soal hak dasar komunitas nelayan traditional. MK telah memutuskan bahwa memberikan lisensi kepada pihak swasta untuk mengelola daerah pesisir dan pulau-pulau kecil akan mematikan hajat hidup nelayan tradisional.

Sugeng Nugroho misalnya, nelayan dari Surabaya ini menyatakan bahwa kerusakan alam di wilayah pesisir menyebabkan cuaca ekstrem dan mempersulit para nelayan tradisional di Anyer, Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Bahkan di Surabaya, nelayan kini tidak lagi bisa pergi ke Selat Madura sejak daerah itu terdampak polusi basil buangan dari lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dulu, para nelayan di area ini bisa membawa penghasilan setidaknya Rp 150.000 setiap hair, kini penghasilan hanya cutup untuk membeli bahan bakar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,