Arief Rubianto adalah salah satu pembicara di Wildlife Conservation Network Expo di San Francisco, 3 Oktober 2010.
Sebagai kepala dari Unit Penegakan Hukum dan Intelijen dengan International Rhino Foundation (IRF) di Pulau Sumatera, Arief mempunyai kehidupan yang akan membuat penulis Law and Order iri. Dia membagi waktunya antara kantor dan lapangan: mengelola operasi anti-perburuan di lapangan sembari bekerja bersama petugas pemerintah, petugas penegakan hukum, dan pengacara untuk menemukan, menangkap, dan menghukum pelaku-pelaku kejahatan yang berhubungan dengan hewan-hewan liar. Yang dipertaruhkan adalah punahnya beberapa hewan yang sangat terancam, sebagian darinya hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Arief Rubianto, kepala satuan anti-perburuan di Pulau Sumatera, Indonesia, mendeskripsikan kehidupan sehari-harinya dengan ini: “seperti Mission Impossible”. Tidak percaya? Rubianto telah bertarung melawan penebang liar, baku tembak dengan pemburu, berhasil bertahan selama 4 hari di hutan tanpa makanan, dan bahkan menyamar sebagai pembeli produk hewan liar ilegal – untuk memasuki operasi perburuan. Ketika banyak konservasionis bekerja dari kantor-kantor – kadang kala ribuan mil dari wilayah yang mereka perjuangkan untuk dilindungi – Rubianto bekerja di lapangan (di hutan, di banjir hujan, di bebatuan, di lautan yang tak terprediksi, dan di jam kapanpun dalam sehari), sering kali meresikokan keselamatan hidupnya sendiri untuk menyelamatkan hewan-hewan liar Sumatera yang luar biasa unik dan sangat terancam.
Dia mengatakan pada mongabay.com bahwa “prioritasnya adalah badak [yaitu Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)], karena badak lebih terancam punah dibandingkan dengan hewan-hewan liar lainnya di Indonesia. Mereka hidup sendiri di kedalaman hutan dengan kesulitan berkembang biak. Kami masih kekurangan informasi mengenai populasinya, perilakunya, dan sebagainya. Kami membutuhkan dukungan dari semua stakeholder [jika ingin menyelamatkan badak dari kepunahan].”
Satu dari mamalia tersulit ditangkap di dunia – dikenal tak mungkin terlihat di hutan – Rubianto telah beberapa kali bertemu dengan badak Sumatera dalam berbagai keadaan termasuk badak sekarat yang tertangkap di perangkap senar saat, sebelum pekerjaannya sekarang, dia bekerja sebagai kepala Rhino Protection Unit (RPU). Sementara senar jarang digunakan untuk badak, mereka menjadi ancaman khusus bagi spesies ini. Rubianto mengatakan pada sebuah patroli yang berkesan di hutan, kelompoknya mengumpulkan 600 perangkap.
Rubianto tidak berpura-pura mengenai masa depan hewan-hewan liar Sumatera: “Saya percaya hanya 40 % hewan liar Sumatera masih akan bertahan di 10 tahun ke depan, jika kita – pemerintah dan stakeholder – tidak mengubah perilaku kita segera.”
Bekerja dekat dengan masyarakat setempat untuk mencegah perburuan ilegal, menangkap pemburu, dan mendukung usaha konservasi merupakan kunci untuk usaha konservasi menurut Rubianto, yang juga berkata bahwa pejabat dan staff pemerintah harus berhenti menjadikan kepemilikan atau penggunaan produk hewan liar sebagai simbol status.
Dalam sebuah wawancara di bulan September 2010, Arief Rubianto berbicara mengenai tantangan harian melawan perburuan di Sumatera, termasuk hukum yang lemah, pesan campur-aduk dari pemerintah, dan konflik kekerasan dengan pelaku-pelaku. Dia juga membagi beberapa petualangannya dalam bekerja menyelamatkan sebagian mamalia yang paling terancam punah di dunia. Secara keseluruhan “beberapa program [konservasi] memiliki hasil yang baik. [Namun] kebanyakan daerah sangat buruk jika kita membandingkan populasi setiap hewan liar sejak 10 tahun yang lalu” Rubianto menyimpulkan, meski ini tidak melemahkan tekadnya untuk menyelamatkan spesies Indonesia.
LATAR BELAKANG ARIEF RUBIANTO
Mongabay.com: Apa latar belakang Anda?
Arief Rubianto: Saya sekolah untuk menjadi dokter hewan. Saya lahir dan besar di kota Bandung (ibukota Jawa Barat). Ayah saya bekerja sebagai tentara intelijen. Saya belajar mengenai intelijen dari beliau.
Mongabay.com: Bagaimana Anda bisa menjadi tertarik pada hewan liar?
Arief Rubianto: Sejak muda, saya beternak dengan banyak hewan. Saya suka berinteraksi dengan hewan. Di tahun 1993, saya mendapat kesempatan untuk bergabung dengan Proyek Survey Badak Sumatera dari Inggris. Saya sangat menikmati pekerjaan saya.
TENTANG HEWAN LIAR SUMATERA
Mongabay.com: Saat ini Anda merupakan kepala Unit Penegakan Hukum dan Intelijen dengan International Rhino Foundation (IRF). Bagaimanakah sebuah hari yang normal untuk Anda?
Arief Rubianto: 1. Memastikan jaringan informan masih bekerja di lapangan. 2. Memastikan unit patroli bekerja efektif di wilayah target. 3. Melakukan pemeriksaan silang informasi dan mempersiapkan untuk operasi khusus untuk menangkap tersangka. 4. Berkoordinasi dengan Taman Nasional, Polisi Hutan dan Kehutanan, polisi, pemerintah setempat, jaksa, LSM lain, pers, dan lainnya. 5. Menulis laporan. 6. Mengunjungi lapangan untuk memeriksa silang kondisi dan dukungan terbaru untuk mengatasi hewan liar. 7. Mengunjungi warga dan kelompok petani untuk mendapat dukungan dari mereka untuk target jangka panjang konservasi.
Mongabay: Spesies apa yang ada fokuskan?
Arief Rubianto: Prioritasnya adalah badak [yaitu Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)], karena badak lebih terancam punah dibandingkan dengan hewan-hewan liar lainnya di Indonesia. Mereka hidup sendiri di kedalaman hutan dengan kesulitan berkembang biak. Kami masih kekurangan informasi mengenai populasinya, perilakunya dan sebagainya. Kami membutuhkan dukungan dari semua stakeholder [jika ingin menyelamatkan badak dari kepunahan]. Tentu saja, gajah, harimau, dan hewan lain mempunyai habitat yang sama dan harus dilindungi juga.
Mongabay.com: Apakah ancaman terbesar bagi hewan-hewan liar Sumatera?
Arief Rubianto: Ancaman terbesar adalah perburuan. [Ancaman lainnya meliputi] hilangnya habitat atau pengubahan fungsi hutan untuk pertanian; penurunan populasi genetik, perkawinan di dalam suatu lokasi dan ketidakberhasilan pengembangbiakan; serta program perlindungan terbatas dan jaringan kerja untuk hewan-hewan liar di Sumatera.
Mongabay.com: Anda bekerja dengan salah satu mamalia yang paling sukar ditangkap dan paling terancam punah: badak Sumatera. Apakah Anda pernah melihatnya di alam liar, bila ya, dapatkah Anda bercerita tentang pertemuan itu?
Arief Rubianto: Ya, saya pernah melihatnya lebih dari 5 kali. 1. 1993 di Taman Nasional Kerinci Seblat. Badaknya sedang berkubang. 2. 1997 di Taman Nasional Way Kamas. Badaknya sedang berkubang. 3. 1998 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS). Badaknya sedang berkubang. 4. 1999 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS). Badaknya sedang berkubang. 5. 2000 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS). Badak jantan dan betina sedang berjalan. 6. 2000 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS). Badaknya sedang sekarat karena terkena perangkap. 7. 2004 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS). Badaknya (Rossa, saat ini berada di Sumatran Rhino Sanctuary di Taman Nasional Way Kambas) selalu hidup bersama kami selama satu setengah tahun di hutan.
Mongabay.com: Sebelum menjadi kepala dari Unit Penegakan Hukum dan Intelijen untuk IRF di Sumatera, Anda mengepalai Unit Perlindungan Badak (Rhino Protection Unit / RPU). Apakah Anda memiliki momen-momen kenangan saat menghabiskan banyak sekali waktu dalam pengembaraan di hutan?
Arief Rubianto: Iya, ini seperti misi yang mustahil. RPU dengan sumber yang terbatas harus memiliki semangat yang tinggi dan kerja sama tim yang baik untuk mengerjakan tugas mereka: banyak musuh dan resiko besar untuk membangun konservasi di negara berkembang. Kami harus tahu bagaimana menyentuh perasaan masyarakat desa setempat karena mereka merupakan tenaga besar yang sangat potensial untuk mendukung konservasi. Juga, kami harus memberi dukungan ekonomi alternatif untuk mereka.
Ya, [saya memiliki] banyak pengalaman saat kami tinggal di hutan. Tiga kali kami harus memindahkan perkemahan dalam satu malam karena banjir besar. Kami menyeberangi wilayah yang tak dapat dipercaya di mana semua pohon rusak hingga kami melewati bukit keenam.
Dalam salah satu patroli kami menemukan 600 perangkap. Ketika tiga dari kami melakukan patroli dulu, kami menemukan dan melawan tujuh penambang ilegal. Kami memanjat tebing batu dengan peralatan terbatas dan dengan tas punggung besar – salah satu dari kami jatuh dan cedera. Juga, [kisah] bagaimana kami bisa bertahan selama empat hari tanpa makan karena kondisi lapangan yang tidak terprediksi.
TENTANG PERBURUAN
Mongabay.com: Pemburu, dengan kebiasaan mereka, bekerja secara rahasia dengan jaringan bawah tanah yang luas. Bagaimana Anda menangkap mereka? Teknologi apa yang Anda gunakan untuk membantu menemukan dan menangkap pemburu?
Arief Rubianto: 1. Kami harus tahu situasi lapangan, habitat, distribusi hewan, hukum, budaya masyarakat setempat, orang kunci dari institusi lain di penegakan hukum, dan sumber-sumber kami. 2. Membangun jaringan informan yang mencakup seluruh habitat. 3. Kami harus tahu jaringan mereka dan orang yang terlibat di perburuan serta perdagangan ilegal. 4. Pemeriksaan silang dari informasi yang didapat dari informan lain atau jaringan pasar ilegal. 5. Observasi semua bukti untuk mendukung kasusnya. 6. Mempersiapkan operasi dan berkoordinasi dengan institusi lain. 7. Bangun kepercayaan pedesaan setempat. 8. Pemantauan dan mendukung kasus setelah menangkap tersangka, proses pengadilan, hingga hukuman.
Kami menggunakan GPS, walky-talky, telepon selular pribadi, kamera, dan sejak tahun 2010 kami menggunakan kamera pengawasan di jam tangan.
Mongabay.com: Anda pernah menyamar dalam pekerjaan Anda untuk memasuki kelompok pemburu. Apakah Anda pernah merasa dalam bahaya?
Arief Rubianto: Ya, sering kali kami harus melawan mereka. Kebanyakan dari mereka menggunakan pistol dan pisau. Kadang kala kami baku tembak di lapangan.
Kadang saya harus menyamar untuk melakukan transaksi dengan broker, namun yang paling berbahaya adalah saat kami harus menangkap tersangka di rumahnya di dekat hutan. Kami harus menangkapnya dari jam 3-5 pagi saat mereka tidur. Kami menggunakan mobil, motor, atau kapal pinjaman untuk menyeberangi laut di malam hari dengan kondisi yang tidak terprediksi.
Mongabay.com: Apakah menurut Anda perburuan di Sumatera makin buruk atau makin baik?
Arief Rubianto: Saya kira di setiap wilayah memiliki situasi yang berbeda dan kondisi selalu berubah. Beberapa program telah berhasil dengan baik. [Namun] kebanyakan wilayah lebih buruk jika kita membandingkan dengan populasi setiap hewan liar sejak 10 tahun yang lalu.
Mongabay.com: Dalam pandangan Anda, apakah hukuman yang ada cukup kuat untuk menghukum pemburu?
Arief Rubianto: Kebanyakan hukuman tidak cukup bagus. Yang kami alami yaitu bahwa jika kasus memiliki publikasi lokal yang baik dan kami mendapat dukungan dari LSM, press dan institusi lain, ini akan meningkatkan hukuman bagi pemburu. Dengan hukuman tertinggi [saat ini dalam hukum], akan menghilangkan resiko aktivitas perburuan dan ilegal lain untuk 3 tahun ke depan.
Mongabay.com: Hukum tambahan apa yang dapat membantu Anda dan rekan-rekan untuk meningkatkan penegakan hukum tentang hewan liar di Sumatera?
Arief Rubianto: 1. Hukuman dan hadiah untuk staff pemerintah yang mendukung/tidak mendukung kasus tersebut dan konservasi. 2. Dibutuhkan hukuman lebih tinggi dalam hukum konservasi. 3. Seperti hukum narkoba, dengan bukti minimum dapat membawa tersangka ke penjara, sebagai contoh seseorang yang memiliki bagian tubuh hewan liar.
Mongabay.com: Apakah publik di Sumatera sadar akan bahaya yang mengancam hewan-hewan liar unik mereka?
Arief Rubianto: Beberapa dari mereka mengetahui tentang konservasi hewan liar di Sumatera, tapi tidak ada tindakan yang cukup dari mereka. Yang paling penting adalah dukungan dan contoh tindakan dari pemimpin pemerintahan dan staff mereka, karena sebagian dari mereka masih menggunakan bagian tubuh hewan-hewan tersebut sebagai [simbol] prestis pada publik. Beberapa kelompok pemburu dan pedagang ilegal mendapat dukungan dari staff pemerintah. Situasi ini akan menjadi makin buruk jika penduduk setempat mengikuti contoh tersebut.
TENTANG MASA DEPAN
Mongabay.com: Dengan adanya banyak tekanan pada hewan liar di Sumatera seberapa optimiskah Anda bahwa spesies ini akan bertahan?
Arief Rubianto: Saya percaya hanya 40 % hewan liar Sumatera masih akan bertahan di 10 tahun ke depan, jika kita – pemerintah dan stakeholder – tidak mengubah perilaku kita segera. Untuk saat ini, hanya sedikit sumber program perlindungan bagi mereka yang bekerja di hutan.
Mongabay.com: Saya membaca sebuah artikel bahwa istri dan anak Anda hidup di Jawa. Apakah masih seperti itu? Seberapa sering Anda bisa bertemu keluarga Anda?
Arief Rubianto: Sejak menikah di tahun 1996, saya telah duabelas kali memindahkan rumah kami di tiga propinsi. Sejak tahun 2010 keluarga saya tinggal di Jawa, karena pendidikan untuk anak kami sangat penting. Saya kembali bersama keluarga saya setiap satu atau dua bulan, untuk tujuh atau delapan hari, tergantung situasinya.