,

Hukum Lemah, Negara Rugi 321 Triliun Di Kalimantan

Kerugian negara akibat penebangan liar di Kalimantan diperkirakan mencapai 321 Triliun Rupiah sepanjang 2011 silam, hal ini diakibatkan lemahnya penegakan hukum di lapangan, seperti diungkapkan beberapa aktivis lingkungan.

Berdasar data dari Kementerian Kehutanan, dua organisasi yaitu Indonesia Corruption Watch dan Save Our Borneo, dalam pernyataan bersamanya mengatakan bahwa Propinsi Kalimantan Tengah kehilangan hampir setengah hutan mereka karena banyak perusahaan perkayuan yang beroperasi di wilayah ini ‘cacat izin’.

ICW dan Save Our Borneo menyatakan bahwa 282 perusahaan perkebunan dan 629 perusahaan tambang bertanggung jawab atas terjadinya deforestasi di wilayah seluas 7 juta hektar di propinsi Kalimantan Tengah.

“Dari kalkulasi yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, dengan asumsi bahwa setiap hektar hutan bisa menghasilkan 100 kubik kayu, dan dengan ditambah biaya reforestasi 16 dollar serta ganti rugi kayu senilai Rp 60.000 per meter kubik, jumlah total kerugian yang harus ditanggung negara adalah Rp 158 triliun,” diungkapkan dalam pernyataan tersebut.

Dalam pernyataannya mereka juga mengungkapkan kerugian serupa senilai Rp 121.4 triliun di Kalimantan Barat, Rp 31.5 triliun di Kalimantan Timur dan Rp 9.6 triliun di Kalimantan Selatan.

Kalimantan Tengah menjadi sebuah kasus istimewa, seperti diungkapkan dalam pernyataan ICW dan SOB, karena lahan seluas 200.000 hektar yang sudah ditebang di wilayah konsesi 15 perusahaan dimiliki oleh salah satu bupati di propinsi ini beserta keluarga dan kroninya. kepemilikan perusahan ini termasuk kakak dan adik bupati tersebut dan bahkan supirnya.

“Save Our Borneo dan ICW sudah melaporkan hal ini tahun 2011 ke KPK,” sambung pernyataan itu. Masalah muncul, ketika hal ini berjalan, kendati banyak laporan pelanggaran yang sudah dikumpulkan, namun sangat sedikit tindakan yang sudah diambil untuk menyelesaikannya.

Penegakan hukum belum terlaksana optimal karena masih berdasar pada peraturan sektoral seperti Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perkebunan. “Jika hal ini masih terus seperti ini, maka kejahatan kehutanan masih terus akan terjadi, terutama pemberian izin ilegal, yang sangat sulit untuk diungkap,” sambung isi pernyataan bersama tersebut.

Kerugan material belum termasuk hilangnya spesies lokal seperti orangutan yang tidak ternilai harganya. Foto: Rhett A. Butler

Untuk menjerat pelaku kejahatan lingkungan dan kehutanan ini, Save Our Borneo dan ICW menyarankan untuk menggunakan Undang-Undang Anti-Korupsi dan Undang-Undang Anti-Pencucian Uang. Hal yang paling memungkinkan dalam menggunakan kedua UU tersebut adalah terbukanya kemungkinan menuntut aparat yang menerbitkan izin ilegal dan denda serta hukuman yang lebih berat dibanding UU lainnya.

“Undang-Undang Anti-Korupsi juga bisa digunakan untuk menjerat individu dan perusahaan, lalu bisa untuk mencairkan aset dan mengembalikan aset, dan bisa digunakan untuk menjerat orang-orang yang menghalangi proses investigasi,” Ungkap ICW.

Menutup pernyataan mereka, ICW dan SOB menyatakan bahwa kendati KPK dan Kejaksaan Agung sudah menggunakan undang-undang ini untuk menjerat kasus kehutanan, namun tingkat penuntutan masih terbilang sangat rendah.KPK sejauh ini hanya melakukan proses penyidikan terhadap 6 orang, dari 21 orang yang diajukan untuk diperiksa.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,