Nadine Zamira: Perlu Perubahan Radikal Jaga Hutan

DIA bermimpi beli semua hutan di negeri ini. Hutannya akan dipagari agar jadi hutan lindung. “Jadi tak ada lagi yang bisa menebang dan menangkap satwa,” kata Nadine Zamira Sjarief, Miss Indonesia Earth 2009.

Nadine Zamira Sjarief kelahiran Jakarta 1984. Dia master Communication Studies dari London School of Public Relations, Jakarta. Dia mengatakan akrab dengan suasana ramah lingkungan sejak belia di Colorado, Amerika Serikat. Kedua orangtuanya mendidik Nadine peduli lingkungan.

Kehidupan masa kecil di Rocky Mountains, Colorado, membuat keluarga ini dekat dengan alam. Mereka kerap birdwatching, trekking atau bergabung dengan klub lingkungan yang tak jauh dari rumah.

Kecintaan terhadap lingkungan ini terus terpupuk.  Dari menjadi duta Profauna, lembaga non pemerintah yang konsern terhadap fauna, sampai duta produk tas daur ulang (BaGoes) – Greeneration.

Menurut dia, hampir 100 persen waktunya untuk kegiatan-kegiatan seputar perlindungan lingkungan. Dia juga mewakili Indonesia dalam ajang internasional: Miss Earth 2009. Lalu, Missosology.org’s People’s Choice Award for Miss Earth 2009. Semua gelar ini lekat dengan dunia lingkungan.

Nadine energik dan suka tantangan. Tak heran dia juga menjadi perserta The Amazing Race Asia musim keempat. Mongabay-Indonesia, mewawancarai Nadine seputar aktivitas dan pandangannya terhadap isu lingkungan di negeri ini.

Mongabay.co.id:  Indonesia menghadapi masalah krisis lingkungan. Hutan banyak rusak. Air, lingkungan juga tercemar polusi. Sebagai Miss Earth Indonesia 2009, bagaimana Anda ikut andil menjaga bumi Indonesia?

Nadine: Without real activism, a title is just a title. Peran yang saya mainkan adalah sebagai manusia Indonesia yang peduli. Karena itu, saya berusaha sejauh mungkin mecerminkan kepedulian ini dalam gaya hidup maupun usaha saya. Bisa dibilang, saya mendedikasikan hampir 100 persen waktu dalam misi perlindungan lingkungan. Kalau tidak sedang sibuk menangani LeafPlus, konsultan komunikasi lingkungan yang saya dirikan, saya bisa ditemui seliweran di berbagai gerakan dan kampanye lingkungan publik. Saya merasa beruntung mendapat kepercayaan berbagai entitas sebagai resource person, public speaker, dan motivator untuk isu-isu lingkungan.

Penggemar olahraga alam. Foto: Dok Pribadi

Mongabay.co.id: Yang Anda lihat, sejauh ini, bagaimana peranan pemerintah, pengusaha juga lembaga non pemerintah dalam memperbaiki kondisi hutan dan lingkungan yang rusak?

Nadine: Saat ini, di dunia terdapat sense of urgency untuk melakukan perubahan radikal dalam cara kita bernegara, berbisnis, maupun melangsungkan kehidupan sehari-hari.  Karena fakta menunjukkan pola-pola lama telah menghasilkan kerusakan lingkungan yang hebat dan mengancam kehidupan manusia sendiri. Saya rasa, mayoritas orang sudah mengetahui hal ini, tapi apakah artinya mereka mau berubah? That’s a different story. Dalam konteks Indonesia yang menjadi concern adalah kecenderungan kita untuk mengikuti jalur development ala barat yang sudah terbukti tidak sustainable dan mengorbankan lingkungan.

Tren green economy yang menjadi agenda internasional saat ini menawarkan banyak mekanisme maupun skema inovatif yang dapat melindungi kepentingan pembangunan dan kelestarian lingkungan sekaligus. Indonesia-pun sudah menyadari bargaining position dan nilai hutannya dalam usaha perlindungan lingkungan dunia. Tentu, masing-masing aktor punya perannya sendiri, but now is the age of partnership terutama untuk masalah yang kompleks seperti lingkungan, menanganinya harus ‘keroyokan’.

Mongabay.co.id: Upaya memperbaiki lingkungan tentu bukan hanya tugas pemerintah tapi masyarakat secara luas. Menurut Anda, bagaimana caranya agar masyarakat ikut peduli lingkungan?

Nadine: Ha…ha…ha… pertanyaan yang selalu muncul tetapi selalu paling sulit dijawab. Kalau saya boleh nanya balik, “How can we NOT care?” Tetapi memang mengubah diri sendiri adalah hal yang sulit, apalagi mengubah orang lain. Apalagi mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat. Yuk mari, PR kita bersama. Manusia modern memang sepertinya sulit membedakan yang mana perceived reality dan yang mana realitas sesungguhnya.

Sementara kita asyik dengan segala kenyamanan hidup dan menikmati fasilitas kita suka lupa dengan dampak yang disebabkan. Padahal informasi ada di mana-mana. Saya seriiiiiing sekali mengatakan kepada siapa saja (kepada yang mau mendengar ataupun yang tidak) bahwa segala yang kita konsumsi itu pasti berdampak pada lingkungan. Jadi kita harus bisa bijak melihat apa yang bisa kita adjust dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan kata lain bukan hanya mempertimbangkan harga, suka tidak suka, atau kebutuhan saja, juga perihal dampak lingkungan dalam decision making kita.

Saya tidak punya formula bagaimana membuat orang peduli. Tapi gini deh, coba mulai dengan lebih banyak berinteraksi dengan alam, luangkan waktu liburan berikutnya untuk ke nature destination dan coba hargai berkah lingkungan hidup sekitar. Buka mata pula pada permasalahan lingkungan yang ada. Orang-orang yang paling peduli adalah mereka yang menjadi saksi. Tumbuhkan kembali sensitivitas pada alam dan Anda akan menemukan bahwa melindungi adalah hal yang paling alami.

Nadine pecinta alam. Foto: Dok Pribadi

Mongabay.co.id:  Menggerakkan atau menyadarkan masyarakat agar andil dalam menjaga lingkungan bisa dari hal-hal kecil. Tindakan-tindakan kecil seperti apa?

Nadine: Pada dasarnya segala permasalahan lingkungan dapat dilacak kembali kepada pola konsumerisme dan gaya hidup. Kalau begitu artinya kita berbicara mengenai level individu. Saya rasa kita semua tahu lah apa yang bisa dilakukan, informasi juga sangat mudah didapatkan, but will we do it? Maukah anda menolak plastik dan styrofoam, melakukan composting dan memasang sumur tadah hujan di rumah. Memilih produk ramah lingkungan yang mungkin sedikit lebih mahal, menahan keinginan berbelanja jika tidak diperlukan, setia pada produk makanan lokal, dan seterusnya? Please say yes! Lalu mungkin gaungkan semangat itu ke level komunitas atau kelompok peduli lingkungan dan level lebih besar lagi dimana memungkinkan.

Mongabay.co.id: Isu lingkungan seakan tak diminati atau tak menjadi isu tren bagi kawula muda. Padahal, di tangan mereka keberlangsungan alam ini ke depan. Bagaimana menurut anda?

Nadine: Yah, inilah yang memang menyedihkan. Kembali lagi kepada masalah ‘memilih untuk tidak peduli’ walaupun fakta sudah di depan mata, suatu logika berpikir (or absence of) yang tidak masuk akal untuk saya. Sepertinya terlalu banyak distraction bagi anak muda zaman sekarang yang menjauhkan mereka pada hal-hal penting yang justru perlu perhatian seperti kondisi lingkungan. Tapi di lain pihak anak-anak muda cerdas yang memilih peduli makin berani menyuarakan aksi dan makin memahami arti penting berkolaborasi untuk perubahan lebih berarti. Semoga tren terakhir ini yang mewabah.

Mongabay.co.id: Upaya apa agar insan-insan muda ini bisa peduli dan tertarik dengan isu-isu lingkungan?

Nadine: Well, the message of environmentalism harus dikemas secara menarik, practical, dan fun. Tidak boleh terlalu menakut-nakuti atau menggurui tetapi lebih bersifat melibatkan. Lalu sedapat mungkin kaitkan dengan konteks yang membumi atau yang relevan dengan kehidupan mereka. I know I’m not doing a good job in that sense through this interview ha…ha…ha. Tapi ya, saya mencoba menerapkan dalam program-program lingkungan untuk sekolah yang saya kelola bersama LeafPlus maupun strategi komunikasi secara umum. Platform seperti sosial media dan online media juga ampuh dalam menyebarkan message dan menjaring interest anak-anak muda. The dream is to make environmental awareness a social epidemic.

Akrab dengan lingkungan sejak belia. Foto: Dok Pribadi

Mongabay.co.id: Media menjadi salah satu pilar penting yang harus mengambil peran dalam menjaga kelestarian alam. Mongabay-Indonesia hadir sebagai media online khusus berita kehutanan dan lingkungan. Bagaimana pendapat Anda?

Nadine: Setuju, saya menyambut dengan sangat antusias media online lingkungan seperti Mongabay-Indonesia. Justru universal consciousness akan kondisi sosial-lingkungan yang tumbuh saat ini merupakan akibat dari terjadinya revolusi dalam teknologi komunikasi. Jejaring komunikasi terutama pemberitaan melalui media online telah membantu memunculkan kesadaran etis dari komunitas yang skalanya tidak lagi lokal tetapi global.

Dengan makin bertumbuhnya netizens, demand akan informasi yang cepat dan akurat juga bertambah, dan tentu berita mengenai kondisi lingkungan dan hutan menjadi penting diangkat. Dengan adanya Mongabay-Indonesia bertambah satu lagi referensi lingkungan informatif bagi masyarakat Indonesia. Semoga dengan kehadiran Mogabay-Indonesia makin banyak orang yang memahami posisi penting kehutanan Indonesia dalam perlindungan lingkungan global. Suka juga sama pilihan bahasa Jawanya, mantep rek!

Artikel yang diterbitkan oleh