KALANGAN organisasi lingkungan menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), tak memberikan jaminan perbaikan pada masyarakat sekitar tambang.
Andrie S Wijaya Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, keputusan MK itu tak memberikan jaminan masyarakat akan lepas dari kekerasan, pelanggaran HAM, atau kerusakan lingkungan dampak pertambangan.
MK, Senin(4/6/12) memutuskan penetapan wilayah pertambangan (WP) tak memerlukan persetujuan tertulis warga, tetapi lebih menekankan kepada terlaksananya kewajiban menyertakan pendapat masyarakat.
Ketua MK, Mahfud MD seperti dikutip dari Bisnis.com, mengatakan, bentuk keikutsertaan secara aktif dari masyarakat berupa keterlibatan langsung dalam pemberian pendapat dalam proses penetapan WP yang difasilitasi oleh negara.
Menurut dia, hal itu merupakan bentuk konkrit dari pelaksanaan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Penetapan itu lebih bernilai daripada sekadar formalitas belaka yang dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dan belum tentu dibuat oleh yang bersangkutan sendiri.
Wujud pelaksanaan kewajiban menyertakan pendapat masyarakat itu, kata Mahfud, harus dibuktikan secara konkrit dengan difasilitasi pemerintah. Mahkamah berpendapat bukti konkrit ini bisa mencegah konflik antarpelaku usaha pertambangan dengan masyarakat dan negara yang ada dalam WP itu.
Mahfud memaparkan, pemerintah sepenuhnya memiliki kewenangan mengatur mekanisme lebih lanjut mengenai kewajiban menyertakan pendapat masyarakat. Juga siapa saja yang termasuk dalam kelompok masyarakat. Lalu, kelompok masyarakat yang wilayah maupun tanah milik yang akan masuk dalam wilayah pertambangan serta masyarakat yang akan terkena dampak.
“Lagi-lagi ini keputusan mengecewakan bagi masyarakat yang saat ini ruang hidup sudah dirampas industri pertambangan,” kata Andrie kepada Mongabay.
Penetapan MK ini, tidak memutus rangkaian kekerasan, pelanggaran HAM dan penyiksaan yang diterima masyarakat di sekitar wilayah tambang. “Ini bukti Indonesia masih memberikan pelayanan luar biasa kepada investor tambang.”
Andrie masih akan mempelajari keputusan dari MK ini. Namun, yang pasti, di lapangan, penolakan masyarakat terhadap industri tambang makin besar dan massif.
Penolakan atau konflik antara warga dan perusahaan tambang bukan tanpa sebab. Masalah timbul dari konflik agraria, tambang mencemari lingkungan sampai perusahaan tak memberikan sesuai janji.
Untuk itu, dia meminta pemerintah tak mengaggap sepele masalah ini. “Meminta pemerintah memutus rangkai kekerasan pada warga negara atas nama industri pertambangan,” ucap Andrie.
Pemerintah, diminta tak mengedepankan tindakan represif, seperti menurunkan Brimob, ke wilayah konflik. Jatam juga meminta pemerintah daerah, provinsi maupun kabupaten tidak menjadikan keputusan MK ini sebagai satu-satunya landasan.
“Pemerintah harus tetap melihat fenomena di lapangan hingga potensi konflik yang bisa diminimalisir sejak awal.”
Dua opsi
Pius Ginting, Manajer Kampanye Bidang Tambang dan Energi Walhi mengatakan, putusan MK ini tetap tak memastikan hak warga atas lingkungan yang sehat terpenuhi. Jadi, Walhi mendesak pemerintah segera menindaklanjuti putusan ini dengan memberikan dua opsi.
Pertama, dengan mengubah peraturan pemerintah (PP) nomor 22 Tahun 2010, tentang Wilayah Pertambangan. “Dalam PP itu tidak ada penjabaran bagaimana persyaratan persetujuan rakyat,” kata Pius.
Kedua, pemerintah membuat PP baru tentang mekanisme persetujuan rakyat terdampak dalam rencana penetapan wilayah pertambangan.
Jika pemerintah mengabaikan masalah ini, sama saja dengan pelanggaran konstitusi hak rakyat.