Jalan Panjang Konflik Petambak Dipasena

FADILASARI gusar. Berita-berita yang muncul di berbagai media kebanyakan memojokkan petambak (petani udang) plasma di PT Dipasena. Masyarakat disajikan berita unjuk rasa petambak terus menerus, baik di Lampung maupun di Jakarta. Seolah petani udang asal Lampung itu orang-orang antikemapanan.

Berangkat dari kegelisahan itu, Fadilasari membuat buku Dipasena : Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang. “Di balik kisruh Dipasena, ada cerita panjang terangkai,” katanya dalam peluncuran buku, Selasa(5/6/12).

Fadilasari mengatakan, sejak awal Dipasena dibuka, ribuan petambak merasa ditipu oleh perusahaan mitra, baik dari segi finansial maupun sosial. Kondisi tambah parah, kala pemerintah selama ini tidak tidak tegas dan kurang berpihak pada ribuan petani udang itu.

“Berita tentang Dipasena memang melulu soal konflik yang tak berkesudahan. Bahkan akibat keributan ini, sejumlah petani udang dipenjarakan.”

Dia berharap, dengan buku itu publik tahu apa yang terjadi di Dipasena. Selama ini, pemberitaan banyak memojokkan petambak plasma.

Dia mencontohkan, tudingan perusahaan mitra, PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) hengkang karena aksi premanisme para pengurus Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW). Organisasi itu dituding kerap membuat kekisruhan dalam proses revitalisasi. “Kesan ini muncul seolah-olah iklim investasi di Lampung tidak kondusif dan tidak aman.”

Data dari Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan, luas wilayah pertambakan udang 16.250 hektare (ha), terdiri dari 16 blok  dengan delapan kampung. Petambak plasma ada 7.512 orang.

Koordinator Program Kiara, Abdul Halim mengatakan, pemerintah atau Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) absent dalam penyelesaian konflik pertambakan udang eks-Dipasena.

KKP hanya memberikan bantuan berupa benur, genset, dan hal-hal bersifat teknis. “Namun tidak membantu penyelesaian akar konflik yaitu kemitraan antara petambak plasma dengan perusahaan inti, PT AWS,” katanya.

Penyelesaian sengketa pun dipaksakan melalui pengadilan tanpa ada itikad baik dilakukan di luar pengadilan.

Konflik sengketa ini,  dimulai dari pertama kali perjanjian kemitraan di tandatangani dengan PT. Dipasena Citra Darmadja. “PT. AWS melakukan pelanggaran terhadap kewajiban melakukan revitalisasi pertambakan. Padahal ini krusial agar ada usaha budidaya,” ujar dia.

PT. AWS memadamkan listrik sejak 7 Mei 2011 di pertambakan udang. AWS ini hingga saat ini wanprestasi dengan tidak membayarkan sisa hasil usaha hak petambak plasma.

Menurut dia, pada mediasi pertama Agustus dan 20 Desember 2011, PT. AWS tidak hadir. “Pada Januari 2012 malah mengajukan gugatan wanprestasi terhadap 200 petambak plasma dan disusul 200 petambak lain.”

Lalu, dalam mediasi Komnas HAM 4 Mei 2012, baru perusahaan inti ini hadir. “Namun tetap bersikukuh mengajukan gugatan ke pengadilan.”

PT Dipasena merupakan produsen udang terbesar kedua di dunia tahun 1990. Devisa negara dari  PT Dipasena pada tahun itu mencapai US$3 juta.  Pada 1991 sebesar US$10 juta. Lalu, US$30 juta tahun 1992.  Capaian tertinggi tahun 1995 hingga 1998 menghasilkan US$167 juta.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,