Tanah Suku Moi Dijual Murah, Pemerintah Jangan Diam Saja

 

PEMERINTAH diminta tak diam saja melihat perkebunan sawit yang sebagian saham dimiliki Norwegia hanya membayar pemilik lahan milik suku Moi, di Papua US$0,65 (Rp 6.000) per hektare (ha).

“Meskipun kala transaksi warga suku Moi penuh kesadaran, tapi pemerintah harus melihat lebih jauh bagaimana kehidupan masyarakat di sana ke depan,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan, Mei 2012.

Jadi, pemerintah baik pusat maupun daerah jangan menutup mata dengan alasan proses penjualan tanah sudah sesuai mekanisme pasar. “Bagaimana alam Indonesia, alam Papua. Jangan diremehkan.”

Sudah begitu banyak masalah menimpa rakyat Papua. Hutan dan lahan sudah terkuras untuk tambang emas, rencana pengembangan Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFFEE).

“Jikapun nanti warga dilibatkan, pemerintah harus menyadari, sudah begitu banyak kasus perusahaan inti dan petani plasma gagal.”

Dalam laporan terbaru, Eksploitasi Kesat Mata, Telapak bersama dengan Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkap bagaimana PT Henrison Inti Persada (PT HIP) membayar dengan rendah dan memarjinalisasi masyarakat adat Moi untuk lahan dan kayu.

Didapat bukti berupa salinan ‘kontrak’ antara PT HIP dengan kepala marga masyarakat adat Moi yang memuat secara rinci pembayaran US$923 untuk 14,2 meter kubik lahan hutan atau sekitar US$0,65 (Rp 6.000) per ha.

Di saat grup konglomerat Hongkong, Noble Grup membeli mayoritas saham PT HIP pada 2010, pemerhati industri memperkirakan perkebunan sawit itu akan bernilai US$162 juta jika dikembangkan. Berdasarkan perhitungan US$5,000 per ha – atau 7,812 kali harga yang diterima oleh pemilik lahan masyarakat adat Moi per ha.

Ekploitasi Kesat Mata juga memberikan secara rinci pembayaran serendah US$25 per meter kubik pada pemilik lahan untuk kayu yang didapat dalam proses pembukaan hutan mereka. Termasuk kayu merbau bernilai tinggi.

Penelusuran ini memperlihatkan, perusahaan mengekspor merbau dengan harga US$875 per meter kubik menghasilkan keuntungan berjuta-juta dolar.

Telapak bersama EIA lebih jauh menemukan sejarah dari penyimpangan hukum dalam perkembangan perkebunan dan pengambilan kayu – pelanggaran tidak pernah ditindak aparat. Aparat seharusnya bertugas melindungi hutan dan masyarakat Papua Barat.

Pelanggaran hukum meliputi pembukaan lahan hutan dan penggunaan kayu tanpa izin serta kegagalan pengembangan sistem kebun plasma sesuai persyaratan resmi.

Keuntungan pembangunan seperti rumah, kendaraan, dan pendidikan yang dijanjikan untuk pemilik lahan yang miskin juga tidak pernah direalisasikan oleh perusahaan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,