,

Kasus Padang Halaban, Ingin ‘Hijau’ Kala Masih ‘Hitam”

KONFLIK pertanahan antara petani dan perusahaan di Padang Halaban, Kabupaten Labuan Ratu, Sumatera Utara (Sumut) Senin(4/6/12) hingga terjadi penangkapan dan penembakan warga dinilai sebagai dualisme Golden Agri-Resorces (GAR).

Satu sisi perusahaan ini ingin tampak ‘hijau’ dalam penyelamatan iklim dan pelestarian lingkungan, tetapi masih ‘hitam’ dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM).

Demikian diungkapkan koalisi masyarakat pendamping warga dalam jumpa pers, Kamis(7/6/12). Koalisi ini terdiri dari Walhi, Elsam, YLBHI, Sawit Watch, Pilnet, Lentera Rakyat, KontraS, KPA, Rumah Tani Indonesia dan Kelompok Tani Padang Halaban.

Wakil Direktur YLBHI, Gatot Riyanton meminta, Kapolri dapat memberikan perhatian terhadap masalah ini karena ada keterlibatan polisi. Polisi yang melakukan penangkapan petani, bahkan ada yang tertembak. Warga yang tinggal pun ketakutan. “Segera tarik polisi dari sana,” katanya, Kamis(7/6/12).

Kepemilikan lahan perkebunan sawit di Padang Halaban ini terjadi saat orde baru berkuasa. PT Smart Tbk, mendapatkan hak kelola lahan seluas 7.464,92 hektare (ha). Lahan ini dulu eks Plantagen AG, perusahaan perkebunan semasa kependudukan Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, perkebunan dikuasakan kepada masyarakat dengan pemberian pendaftaran pendudukan tanah (KTPPT) oleh kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah Wilayah Sumatera Timur. Lalu, pemilik kartu membayar pajak kepada negara melalui Iuran Pendapatan Daerah (Ipeda) Kabupaten Labuan Batu.

“Pengalihan hak kelola Plantagen AG kepada Smart tak serta merta memberikan hak istimewa kepada perusahaan bertindak seenak hati.”

Gatot mengatakan, tuduhan terhadap petani (warga) di sana pun dipolitisasi sedemikian rupa hingga mematikan hak hidup warga. Padahal, mereka sudah tinggal di sana turun menurun.

Seharusnya, pemenuhan hak rakyat dalam penyediaan ruang produktif menjadi perhatian utama dalam pembangunan. “Hendaknya pemenuhan hak warga ini didukung semua pihak termasuk aparat keamanan.”

Mukri Friatna dari Walhi mengatakan, konflik ini terjadi karena arogansi aparat keamanan dan ketiadaan niat baik PT Smart dalam mengupayakan penyelesaian masalah yang sudah berlangsung lama ini.

Koalisi pun meminta, segera bebaskan 10 petani yang ditangkap karena bertentangan dengan pemenuhan hak hidup rakyat. Warga telah dirugikan dengan keberadaan PT Smart di lahan yang telah dikuasakan kepada masyarakat melalui KTPPT.

“Menuntut Kapolri atau Kapolda menindak pelaku penembakan dan kekerasan terhadap warga.”

Koalisi juga mendesak Komnas HAM menyelidiki dan mengambil langkah yang diperlukan bersama kementerian dan pemerintah daerah. “Agar kejadian seperti ini tak terulang.”

Front Mahasiswa Nasional (FMN) dalam siaran pers juga mengecam tindak kekerasan dan penangkapan oleh aparat keamanan terhadap petani di Padang Halaban.

L. Muh. Hasan Harry Sandy Ame, Sekretaris Jenderal FMN mengatakan, perampasan tanah dalam berbagai bentuk terus meluas dan tak terhindarkan bagi kaum tani. “Jalan-jalan kekerasan, sudah menjadi jalan utama bahkan tradisi dalam praktik perampasan tanah rakyat oleh swasta ataupun pemerintah.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,