ADA dua pameran di Galeri Nasional yang mencerminkan dua pandangan berbeda tentang satwa liar. Raden Saleh, pelukis Jawa abad ke 19, menggambarkan perburuan singa, harimau, rusa. Dia juga memperlihatkan alam Jawa dulu berhutan dan ada harimau.
Maju 200 tahun. Di Galeri Nasional juga, pelukis Jawa, Taufan, dari abad ke 21, menggambarkan bagaimana satwa liar ini punah satu demi satu. Lukisan-lukisan Taufan ingin mengungkapkan kegelisahan, kemirisan, kekhawatiran, dan ketakutan alam Jawa, maupun Indonesia, mengalami kerusakan.
Raden Saleh, lahir 1807 dari pasangan Sayyid Husen bin Alwi bin Awal bin Yahya dan Mas Adjeng Zarip Hoesen. Mereka tinggal di Terboyo, dekat Semarang. Raden Saleh sekitar 20 tahun tinggal di Eropa.
Dikutip dari Wikipedia, di Batavia, Raden Saleh, tinggal di rumah di sekitar Cikini. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, Raden Saleh menyerahkan sebagian dari halaman yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Rumah dia menjadi Rumah Sakit Cikini, Jakarta.
Tahun 1875, dia berangkat lagi ke Eropa bersama istri, baru kembali ke Jawa tahun 1878. Lalu menetap di Bogor sampai meninggal 23 April 1880.
Raden Saleh melukis bagaimana harimau dan singa diburu. Tak hanya tentang perburuan. Raden Saleh melukis keindahan hutan Jawa nan lebat dengan harimau tengah minum. Kini harimau Jawa telah punah. Adajuga lukisan jalanan di Jawa abad 19, kiri kanan masih rimbun dengan hutan.
Taufan lahir di Jakarta Agustus 1956. Dia menceritakan nasib satwa liar kini.
Ada lukisan owa Jawa bersedih karena habitat hancur. Hutan terbakar, asap di mana-sana. Sang owa seorang diri menanti kematian. “Owa ini hewan yang setia dengan habitat. Itulahnya, ia tak akan meninggalkan tempat tinggal sampai titik darah terakhir,” kata Taufan Sabtu sore (9/6/12).
Digambarkan juga harimau Sumatera yang berjalan di antara hutan-hutan rusak. Potongan kayu berserakan. Pengembangan perkebunan dan pengolahan kawasan hutan telah merampas hutan lebat sebagai rumah aman mereka yang dahulu.
Badak Jawa yang terancam juga tak luput dari sorotan Taufan. Dia mengambarkan dua badak berdiri di bawah tanah berbara api—yang sewaktu-waktu dapat jatuh dan menewaskan badak ini. Badak Jawa hanya ada di Ujung Kulon, perkiraan tersisa 50 ekor.
Ada juga dua komodo di pulau Padar. Mengapa komodo di Pulau Padar? Menurut Taufan, lukisan itu ingin mengingatkan bahwa Pulau Padar dulu salah satu pulau yang banyak komodo. “Sekarang? Di pulau itu sudah kosong, tak ada komodo?”
Taufan penasaran. Dia pun datang ke Flores, mengunjungi Pulau Padar. Ternyata, di pulau itu, komodo kehabisan pasokan makanan. “Mengapa? Padahal, komodo mendapatkan bantuan dari Unesco?” Taufan bertanya-tanya.
Rupanya, warga di sana kekurangan pasokan makanan. Mata pencaharian sulit. Hingga komodo berbagi jatah makan dengan manusia. Makanan komodo pun berkurang. Kini, komodo di pulau Padar, tinggal kenangan.
Ada lukisan beberapa tarsius spectrum, di Sulawesi Selatan disebut balao cengke. Primata kecil ini hidup di malam hari. Makanan utama satwa ini serangka besar, yang makin berkurang karena penggunaan pestisida di perkebunan sawit.
Tarsius ada di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Taufan memberi judul lukisan ini late again. “Karena makanan banyak kena pestisida, tarsius jadi sulit cari makan dan makin jauh mengembara mencari makan hingga terlambat pulang.
Orangutan Sumatera pun tak luput dari bidikan Taufan. Homeless, begitu judul lukisan yang memperlihatkan satu keluarga orangutan di samping sebatang potong yang habis ditebang. Berikut aneka burung seperti elang bondol yang menjadi maskot Jakarta tetapi makin langka. Ada juga elang Jawa di batang flamboyan. Lukisan ini ingin menceritakan elang yang kehilangan hutan dan habitat.
Idealnya, elang Jawa hidup di hutan tropis hijau di atas ketinggian 2.200 hingga 3.000 meter di atas permukaan laut. Kini, hutan telah terkonversi menjadi hutan industri, pertanian maupun perkebunan. Ekosistem rusak. Elang Jawa pun harus kehilangan hunian hangat mereka.
Ada satu hal lagi yang berbeda dari dua pameran di gedung sama tetapi ruang lain ini. Pameran Raden Saleh begitu ramai pengunjung. Parkiran Galeri Nasional penuh kendaraan. Pengunjung yang ingin mencatat buku tamu pun antri.
Sedang, Wildlife Art, hanya terlihat beberapa orang. Apakah ini mencerminkan kekurangpedulian masyarakat terhadap isu satwa liar, isu lingkungan? Entahlah. Saya membayangkan lukisan ini 200 tahun yang akan datang? Semoga, satwa-satwa dalam lukisan ini tak hanya tinggal kenangan.