,

Hutan Mangrove Jadi Kebun Sawit Capai 400 Ribu Hektare

KONVERSI hutan bakau menjadi perkebunan sawit makin luas, di enam provinsi saja, sudah lebih dari 400 ribu hektare (ha).  Kondisi ini, tak hanya membahayakan ekosistem juga makin menyulitkan kehidupan masyarakat di pesisir pantai.

Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) 2011,  konversi itu terjadi di Bangka Belitung 287.663 ha, Pulau Enggano (Bengkulu) 7.500 ha, dan pesisir Kabupaten Langkat dan Pulau Sedapan (Sumatera Utara) 20.100 ha. Lalu  Pulau Bawal (Kalimantan Barat)     3.500 ha, Pulau Seram (Maluku)30.000 ha serta Pulau Mentawai ( Sumatera Barat) 73.500 ha dengan total 422.263 ha.

Tajruddin Hasibuan, Presidium Nasional KNTI Regional Sumatera Utara (Sumut) mengatakan, konversi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit berimplikasi terhadap penurunan kualitas dan penghidupan keluarga nelayan di Langkat.

“Bahkan tak jarang mereka beralih profesi dan meninggalkan kampung halaman. Ini karena daya dukung lingkungan memburuk. Ini berimplikasi pada sulit mencari mata pencaharian,” katanya, Selasa(12/6/12).  “Lebih parah lagi, kini ada tujuh nelayan dikriminalisasi.”

Temuan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Sumut, sejak 2006, kawasan hutan mangrove seluas 16.446 ha dikonversi menjadi perkebunan sawit.  Alih fungsi ini, oleh tiga perusahaan sawit, yakni UD Harapan Sawita dengan 1.000 ha, KUD Murni 385 ha, serta PT Pelita Nusantara Sejahtera seluas 2.600 ha.

Dampak aktivitas tiga perusahaan ini, masyarakat nelayan di enam desa kesulitan mencari sumber kehidupan seperti menangkap ikan. Keenam desa itu yakni, Perlis, Kelantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua, Kelurahan Barandan Barat dan Kelurahan Sei Bilah.

Kesulitan tambah parah kala perusahaan menutup paluh atau anak sungai antara lain, Burung Lembu, Terusan Habalan, Napal, dan Tanggung dengan diameter tiga sampai empat meter meter. Padahal, anak sungai ini tempat beranak-pinak ikan kakap, ikan merah, ikan kerapu, ikan senangin dan lain-lain.

Bagi nelayan, hutan mangrove adalah kehidupan, sumber daun nipah, kayu bakau, tempat berkembang ikan dan kepiting.

“Kerusakan ekosistem bakau berarti terancam sumber-sumber kehidupan mereka,” kata Mida Saragih, Deputi Sumber Daya Kiara.

Hutan mangrove dibersihkan untuk pengembangan agrikultur. Foto: Rhett Butler

Nelayan yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pun merehabilitasi hutan mangrove pasca konversi di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat.

“Ini patut diapresiasi dan negara perlu melindungi mereka dari ancaman kriminalisasi dan intimidasi perusahaan sawit perambah hutan,” ucap Mida.

Reklamasi juga terjadi di 10 wilayah dengan luas ekosistem pesisir yang terancam musnah lebih dari 5.775 ha. Masing-masing di Pantai Utara Jakarta, Pesisir Kota Semarang, Pantai Kenjeran Surabaya, Pantai Kalasey (Sulawesi Utara), dan Pantai Manakara (Sulawesi Barat).

Kemudian,  Teluk Palu (Sulawesi Tengah), Pantai Losari (Sulawesi Selatan), Teluk Lampung (Padang Bay City (Sumatera Barat) dan, Teluk Balikpapan (Kalimantan Timur).

Kiara bersama dengan KNTI regional Sumut mendesak negara atau pemerintah memaksimalkan peran  dalam melindungi ekosistem hutan mangrove. “Ini penting bagi keberlanjutan sumber daya perikanan di pesisir. “

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,