Terumbu karang ibarat hutan bagi lautan dunia. Sama seperti di daratan, terumbu karang juga berbeda di daerah tropis dan sub-tropis, memberi sokongan hidup bagi alam liar bawah laut dan kondisinya kini terus berkurang jumlahnya dalam tingkat yang semakin mengerikan.
Para ahli biologi kelautan di seluruh dunia bekerja keras untuk melindungi terumbu karang yang tersisa dari dampak pemanasan global dan pengambilan ikan yang merusak. Ada yang berupaya membangun repositori dari spesies-spesies terumbu karang yang terkenal -agar anak cucu kita bisa menikmatinya di aquarium dan laboratorium- dan peneliti lain membangun karang buatan di area-area yang mengalami kerusakan signifikan.
Manusia telah berupaya menciptakan terumbu karang sejak ribuan tahun silam untuk meningkatkan perikanan mereka. Namun di era 1970-an, beberapa perubahan signifikan terjadi lewat teknologi sederhana.
Metode biorock dibangun oleh arsitek dan pakar kelautan Wolf Hilbertz dan pakar kelautan Tom Goreau. Mereka menemukan bahwa dengan menyalakan arus listrik yang lemah di dalam air laut, cangkang keras yang mengandung kalsium karbonat akan menjadi katoda. Anda kemudian bisa menanam terumbu karang asli di dalam struktur tersebut. Terumbu karang tampaknya betah di lahan buatan ini, dan mereka biasanya tumbuh lima kali lebih cepat dibanding biasanya. Saat ini ada lebih dari 20 proyek biorock di seluruh dunia, namun yang terbesar dan paling inovatif, ada di Indonesia.
“Saat ini kami memiliki 62 struktur biorock di seputar kepulauan ini,” ungkap Delphine Robbe, salah satu pekerja proyek biorock di Gili Trawangan, NTB. “Di tahun 2012 ini kita seharusnya bisa mencapai target hingga seratus.” Delphine yang datang ke Gili Trawangan sejak 2005 untuk mendapat sertifikat menyelam, kini justru terlibat dalam berbagai program lingkungan di sini.
Trawangan adalah salah satu dari tiga karang atol di lepas pantai Lombok, Indonesia dan menjadi salah satu tujuan wisata terkenal di dunia selain Bali, wilayah ini memiliki pantai yang putih, area snorkeling dan menyelam dan aman dari anjing dan kendaraan bermotor. Namun, terumbu karang murni, sangat sulit ditemui. “Mungkin sekitar 70-80% dari terumbu karang di perairan dangkal sudah hancur oleh penangkapan ikan dengan dinamit,” kata Robbe. “Sebenarnya, nelayan lokal yang memulai gerakan lingkungan disini, saat mereka melakukan patroli dan menghentikan penangkapan ikan dengan bom.”
Perhatian Goreau terpaku pada area Gili, yang membuatnya terkesan dengan keanekaragaman hayatinya dan kualitas airnya. Dirinya bersama Hilbertz telah memilih desa kecil di Pemuteran, Bali utara sebagai wilayah kerja yang kini menjadi proyek biorock terbesar di dunia dan kini tengah mencari area untuk berekspansi untuk mengembangkan terumbu karang buatan. Robbe bertemu dengan Goreau di konferensi pertama biorock dan seminar di Trawangan bulan November 2005, dan sejak itu Robbe bergabung. “Tahun depan, saya akan memimpin seminar dan berhasil membawa operator selam yang terkenal sebagai sponsor,” jelasnya. “Sebagai gantinya, mereka mendapat biorock mereka sendiri di depan toko selam mereka.”
Selain merangsang keanekaragaman hayati, struktur biorock juga memerangi erosi, yang menjadi masalah serius dengan kehancuran terumbu karang alami. Seiring waktu, biorock juga menjadi atraksi bagi para wisatawan -terutama sejak artis Inggris dan aktivis lingkungan Celia Gregory bergabung dalam proyek ini.
Gregory, selain menjadi artis mozaik dan pemahat adalah juga seorang penyelam, ia mengontak Tom Goreau setelah melihat proyek biorock di Pemuteran. “Apa yang mereka lakukan sangat menginspirasi bagi saya, dan hal itu memberi saya ide tentang seni dengan konservasi terumbu karang,” jelas Celia Gregory. “Selain itu, saya juga menjadi saksi hidup dari pemboman ikan, saat bom itu meledak saat kami menyelam. Kami melihat secara langsung terumbu karang berantakan dan ikan-ikan mati.”
Para penyelam dan snorkeler kini bisa melihat ukiran bawah laut yang terdiri dari ikan pari, lumba-lumba, gurita, ular, bulan, miniatur kapal phinisi dan bahkan komodo. Gregory kini bekerjasama dengan desainer pemenang penghargaan bernama Tom Dixon yang ingin menciptakan baju selam dalam tiga bagian, sementara fotografer Amerika Serikat yang bermukim di Bali, Dustin Humphrey kini sedang berpikir untuk menenggelamkan motor-motor tua dan melakukan pemotretan bawah laut dengan menggunakan model.
Sementara itu, Robbe juga sedang berusaha membangun sebuah energi alternatif untuk melakukan instalasi biorock. “Memasang kabel bawah laut dengan menggunakan generator diesel tidak ramah lingkungan,” ungkap Robbe. “Jadi kami berupaya membangun turbin energi dan menggunakan alat yang jauh lebih besar di bulan Nobember 2012, pada saat seminar kami berikutnya. Robbe juga berhasil mendapat sponsor untuk proyek turbin ini, perusahaan minyak Total bersedia mendanai pembuatan turbin ini, sementara Malaysia Airlines berencana memasang ukiran pesawat di bawah laut.
Namun semuanya tidak selalu berjalan lancar. Meningkatnya populasi di Gili dengan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya menjadi salah satu halangan dalam jangka panjang. Pertambahan populasi dan pembangunan yang marak memberikan tekanan bagi pulau kecil yang berdiameter 12 km ini, dan mengimpor segala sesuatunya dari daratan uatama, termasuk air bersih.
Di belakang pantai kuno menghadap fasad hotel, terletak sebuah tempat pembuangan terbuka di mana sebagian besar sampah di pulau itu berakhir. Meskipun Robbe baru-baru ini membuat sebuah sistem daur ulang dengan bantuan sebuah perusahaan yang berbasis di Bali, hotel-hotel seringkali memiliki sistem pengolahan air limbah yang belum sempurna, sehingga limbah biologis langsung masuk ke laut, di mana ia dapat menciptakan alga yang beracun bagi karang.
Biorock, kini menjadi jawaban yang terbaik bagi Indonesia, untuk menyelamatkan dan membangun kembali terumbu karang yang hilang. Masih belum terlambat untuk menciptakan kembali sebuah ‘kehidupan’ bawah laut yang sehat, agar bisa dinikmati generasi mendatang anak-anak Indonesia.