,

5 Perusahaan Raih Sertifikat FSC

Walhi mengingatkan, perusahaan yang mendapatkan sertifikasi harus dipastikan bisa mengelola hutan dan lingkungan dengan baik.

LIMA  perusahaan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) menjalin kerja sama dengan The Borneo Initiative (TBI), Selasa (12/6/12), di Jakarta. Kerja sama ini bertujuan untuk memenuhi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHPL) dengan skema Forest Stewardship Council (FSC).

FSC merupakan organisasi internasional yang didirikan sejak tahun 1993 untuk mempromosikan manajemen hutan yang berkelanjutan dan “baik.” Badan yang bermarkas di Jerman ini menekankan arti penting sertifikasi hutan karena membantu membedakan antara kayu “baik” dengan kayu dari sumber yang patut dipertanyakan.

Direktur TBI Jessy Kuijper seperti dikutip dari National Geographic Indonesia mengatakan skema FSC yang mereka gunakan  diharapkan bisa memaksimalkan produksi perusahaan.

Dengan tambahan lima perusahaan ini, total ada 31 pemegang IUPHHK yang bekerja sama dengan TBI sejak 2010. Menurut dia, konsumen di seluruh dunia wajib tahu produk dari hutan berkelanjutan.

“Perusahaan yang tergabung ini wajib diberi applause karena sudah memiliki insitiatif untuk keberlangsungan hutan,” kata Kuijper.

Kelima perusahaan ini yaitu PT Mitra Pembangunan Global yang memiliki lahan 83.950 hektare di Papua Barat; PT Bina Balantak Utama dengan lahan seluas 298.710 hektare di Papua. Lalu, PT Telagabakti Persada degan lahan 63.405 hektare di Maluku Utara; Perum Perhutani KPH Banten dengan lahan 80.162 hektare di Jawa Barat; dan PT Manokwari Mandiri Lestari yang memiliki lahan 83.240 hektare di Papua Barat.

Dengan luasan hutan yang dimiliki perusahaan-perusahaan itu, sertifikasi kayu memegang peran krusial bagi keberlangsungan hutan Indonesia. Sebab, di Indonesia, 1,8 juta hektare hutan hujan tropis lenyap per tahun untuk kepentingan industri, perkebunan, atau terdegradasi.

“Penebangan yang tidak terkendali bisa menyebabkan konsekuensi serius bagi Indonesia.”

Selain hilangnya paru-paru dunia, penebangan hutan bisa menyebabkan habitat hewan berujung pada kematian. Manusia yang hidup bergantung pada hutan akan kehilangan mata pencaharian.

Bayu Krisnamurthi sebagai Wakil Menteri Perdagangan mengatakan, ada atau tidak regulasi kayu di negara lain, Indonesia akan jadi faktor utama bagi produksi dan perdagangan kayu dunia.

“Karena kita menghasilkan produk-produk hutan dengan memperhatikan aspek lingkungan.”

Hutan Papua. Foto: Rhett Butler

Juru Kampanye Hutan Walhi, Deddy Ratih mengatakan, sertifikasi yang diberikan harus jelas. Sebab, masalah yang sering lalai dalam sertifikasi tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan permasalahan sosial.

“Kebanyakan sertifikasi itu hanya melihat hal-hal teknis dan administrasi. Sedang isu lingkungan dan sosial dengan masyarakat sekitar tak menjadi perhitungan utama,” katanya, Jumat(15/6/12).

Dalam melihat perusahaan yang dianggap memiliki kepedulian terhadap lingkungan pun, tak bisa hanya dari program yang mereka miliki seperti corporate social responsibility (CSR) atau community development. “Pihak penilai harus melihat langsung bagaimana pengelolaan di lapangan.”

Tak hanya itu. Bagi perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan (HPH), yang medapatkan label mengelola secara lestari, seharusnya juga dilihat bagaimana daur produksi dan tingkat produksi per hektare.

Sebab, daur produksi dari blok ke blok dan tingkat produksi per ha itu menunjukkan bagaimana perusahaan mengelola hutan. Sebab ini, berkaitan dengan pemenuhan pasokan kayu ke pasar.

Di Indonesia, produksi kayu di hutan tanaman industri (HTI) rendah. Saat ini, kebanyakan di bawah 100 meter kubik per ha, bahkan ada yang hanya 45 meter kubik per ha. “Tidak bisa disebut lestari juga kalau pasokan kayu mereka rendah.”

Menurut Deddy, biasa sertifikat yang diberikan itu hanya mengacu aspek-aspek tertentu, misal dari sisi manajemen atau administrasi perusahaan. “Perusahaan manajemen bagus, banyak.” Terpenting, perusahaan dengan manajemen bagus dan tata kelola hutan termasuk lingkungan dan sosial.

Dia berharap, ke depan sertifikasi dengan melihat tata kelola perusahaan secara keseluruhan atau komprehensif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,