,

Ketika Suara Warga Pulau Muda dan Teluk Meranti Diabaikan

“SEHUBUNGAN dengan surat ….perihal permohonan hutan Desa Pulau Muda dan surat…perihal permohonan hutan desa Teluk Meranti dan memperhatikan surat Dinas Kehutanan Kabupaten Palalawan, no…29 Mei 2012, bersama ini kami sampaikan bahwa areal yang dimohon saudara telah kami rekomendasikan untuk pencadangan izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) an PT Gemilang Cipta Nusantara sesuai dengan surat bupati….21 April 2011.”

Demikian isi surat Bupati Palalawan tertanggal 30 Mei 2012, kepada Kepala Desa Pulau Muda dan Lurah Teluk Meranti. Surat ditandatangani Bupati, H.M Harris.

Anehnya, permohonan PT Gemilang Cipta Nusantara (GCN) tahun lalu, bupati sebelum Harris, pernah ditolak menteri. Pada 17 Januari 2011, permohonan IUPHHK-RE PT GCN ditolak Menteri Kehutanan melalui Surat no: S.44/VI-BUHA/2011.

Namun, baru dua bulan Harris menjabat bupati, 1 April 2011,sudah merekomendasikan penerbitan izin IUPHHK-RE oleh PT CGN, anak perusahaan PT RAPP ini.

Kabar terbaru, surat rekomendasi Bupati Palalawan untuk pemberian IUPHHK-RE kepada PT CGN sudah sampai kepada Menteri Kehutanan (Menhut).

Pada 7 juni 2011, Hambali, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, juga mengeluarkan surat kepada bupati perihal pertimbangan teknis usulan penetapan hutan desa. Yakni, Desa Segamai seluas 2.000 hektare (ha) dan Serapung 2.000 ha.

Padahal, pencadangan hutan desa dari Menhut RI seluas 12.360 ha, sesuai usulan Hutan Desa oleh empat Desa di Pelalawan.

Muslim, Koordinator Jikalahari mengatakan, saat PT GCN, di Kabupaten Pelalawan mengajukan IUPHHK-RE seluas 19.674 ha, Bupati Pelalawan secepat kilat memberikan rekomendasi.  “Tak perlu menunggu lama, meski aturan dilabrak,” katanya, Senin(18/6/12).

Dalam catatan Jikalahari yang diolah dari data Kementerian Kehutanan (Kemenhut), dari 1,25 juta ha hutan yang dicadangkan hanya 0,99 persen (12.000 ha) khusus rakyat.

“Dari 12.000 yang dicadangkan untuk rakyat, 70 persen luasan kawasan  telah dirampok untuk kepentingan industri kertas dan perkebunan kayu,” kata Muslim.

Keadaan ini, mengindikasikan modus kejahatan korporasi kehutanan masih berjalan hingga detik ini di Pelalawan.  Pemerintah, tidak lagi berpihak pada masyarakat sekitar hutan. Padahal, salah satu tujuan REDD+ , alokasi hak kelola hutan untuk masyarakat sekitar hutan.

Hasil riset Transparency International Indonesia (TII) bertajuk Resiko Korupsi REDD+ tahun 2012 menyebutkan, penyimpangan alokasi konsesi untuk Redd+, salah satu terjadi saat  alokasi konsesi diberikan berdasarkan asosiasi pribadi atau jaringan politik.

Raflis dari TII Riau mengatakan, persoalan ini sangat terkait dengan beberapa risiko korupsi dalam REDD+. Antara lain, alokasi konsesi untuk REDD+, dan persiapan penggunaan lahan dalam REDD.

Praktik korupsi dominan dalam hal ini menciptakan sistem informasi dan pengambilan kebijakan yang tertutup, hanya bisa diakses oleh elit tertentu.

Menurut  Raflis, idealnya ketika ada alokasi ruang untuk konsesi harus diumumkan ke publik. Hingga setiap orang atau badan usaha dapat peluang yang sama dalam mengajukan perizinan.

Tak hanya itu. Sebagai prasyarat sebuah kawasan bisa diberikan izin konsesi harus terlebih dahulu  ada penegasan fungsi dan status kawasan hutan.

“Ini juga ditegaskan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pasal 1 point 3 UU No 41 tahun 1999 yang menjelaskan definisi kawasan hutan. Juga diperkuat Inpres No 10 tahun  2011 tentang Penundaan Izin Baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.”

Raflis menduga, praktik korup mungkin terjadi dalam hal ini adalah manipulasi informasi yang menguntungkan pihak tertentu, dalam kasus ini perusahaan dan merugikan pihak lain (masyarakat).

“Patut diduga ketika sebuah kebijakan yang dikeluarkan melanggar beberapa aturan berkorelasi kuat dengan praktik korup.”

Laporan Ringkas Center for International Forestry Research (CIFOR) November 2011 bertajuk Mencegah Risiko Korupsi pada REDD+ di Indonesia, juga  menulis kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadi korupsi, salah satu jaringan kelompok dengan kepentingan tertentu yang kuat.

“Akibatnya penguasaan keuntungan oleh kaum elit, pelanggaran atas hak-hak dan konflik atas lahan, perampasan lahan,  dan peningkatan deforestasi dan kinerja dan laporan pembayaran yang tidak jujur dalam sistem yang rumit.” Begitu tulis lembaga yang berkantor di Bogor itu.

Muslim menduga kuat REDD+ hanya dijadikan greenwashing oleh PT RAPP. “Seolah-olah dengan RE, mereka telah menyelamatkan hutan Riau. Padahal, PT RAPP salah satu perusahaan perusak hutan di Riau.”

Untuk itu, mereka mengimbau kepada Bupati Pelalawan, agar berpihak pada masyarakat.  “Bupati  bisa merekomendasikan menghentikan proses perizinan PT GCN.”

Muslim mencontohkan beberapa bupati yang sudah berpihak pada masyarakat terkait kasus hutan desa. Masyarakat mengusulkan kepada bupati penetapan areal kerja Hutan Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lancir, Kabupaten Banyuasin, Palembang, seluas 10.900 ha di lokasi PT Rimba Hutani Mas seluas 40.012 ha.

Bupati Musi Banyuasin, dengan tegas memenuhi usulan masyarakat dengan merekomendasikan sebagian areal yang direkomendasikan kepada PT Rimba Hutani Mas seluas 40.012 ha dikurangi 10.900 ha untuk kerja hutan Desa Muara Medak.

Salah satu pertimbangan bupati, guna mengurangi dampak kesenjangan sosial antara perusahaan besar dengan masyarakat sekitar hutan.  Contoh ini, ucap Muslim, bukti bupati bisa berpihak pada masyarakat.  “Ingat bupati dipilih oleh masyarakat, bukan dipilih oleh korporasi.”

Tengku Muhlis, asisten Bupati Palalawan tak mau berkomentar banyak kala dihubungi.  Menurut dia, ini masalah teknis khawatir salah komentar.  “Baiknya langsung hubungi Kadis Kehutanan Palalawan.” Mongabay pun menghubungi telepon seluler Kadis Kehutanan Palalawan, Hambali. Sayangnya, telepon Hambali tak aktif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,